CINTA 22: Dilema

1 0 0
                                    

"Kayaknya gue udah ngelakuin kesalahan besar."

Raisa sesekali mengusap wajahnya sembari berjalan menuju ke halte bus biasa di dekat kompleks perumahannya. Pagi itu Raisa merasa tidak tenang karena terus saja memikirkan Marka.

Memikirkan dalam artian yang tidak terlalu bagus.

Raisa mengusap wajahnya sekali lagi. "Gue halu—bisa-bisanya gue ngomong mau ngasih kesempatan ke Marka—k-kayak ... buat apa?" tanya gadis itu.

Untung saja keadaan halte bus pada pagi hari ini sepi walaupun memang pada hari-hari biasanya gadis itu hanya berdiri seorang diri di sana. Raisa benar-benar tidak tahu harus berbuat apa setelah melakukan hal bodoh itu.

Hal bodoh? Berarti gue yang bodoh?

"Selamat pagi, Cantik."

Raisa terkejut seraya menoleh dan langsung mendapati sosok Marka yang sudah berada di sebelahnya. Lebih tepatnya duduk di atas motor yang dia berhentikan tepat di sebelah trotoar.

"L-lo ngapain di sini???"

Marka tertawa. "Ya ampun, Rai ... pertanyaannya nggak ada yang lain, apa? Lo sering banget nanyain itu setiap ketemu gue," katanya diakhiri senyum.

"Karena memang cuma pertanyaan itu aja yang cocok buat lo. Jawab!"

Marka tertawa lagi. "Astaga ... nggak malu marah-marah gitu?"

Raisa melihat sekitar. Dia disadarkan kalau sekarang dia sedang berada di tempat umum. Setelah itu Raisa melihat Marka menyodorkan helm kepadanya. Karena tidak kunjung mendapat respons dari Raisa, Marka memberikan helm itu dengan sedikit memaksa.

"Ayo. Ntar lo telat."

"Ck. Apa, sih? Orang gue lagi nunggu bus, jugaan."

Marka mengembuskan napas berat. "Rai ... lagian nggak ada ruginya juga kalau lo bareng sama gue. Kampus kita sama," ucapnya.

"Ya terus? Nggak ada ruginya juga kalau gue nggak bareng sama lo."

"Ya rugilah! Kalau sama gue kan lebih cepet—tinggal ngueeeng," balas Marka dengan raut wajah serius, tapi ucapannya berhasil membuat Raisa tersenyum geli.

Marka sedikit terkejut saat melihatnya. "Nah, gitulah—senyum. Kan jadi bener kata-kata gue tadi," katanya, "Selamat pagi, Cantik."

"Diem atau gue berubah pikiran," ucap Raisa sembari memakai helm pemberian Marka.

Terlihat laki-laki itu mengangguk, kemudian membuat gerakan tangan seakan-akan menguncing mulutnya. Raisa hanya bisa geleng-geleng kepala dan menaiki jok belakang motor Marka.

Pada saat itu, Raisa belum menyadari kalau dia baru saja melakukan hal bodoh lainnya. Gak pa-pa, Rai. Ceritanya jadi panjang.

^^^

Kayla terus saja mengalungkan tangannya di pundak Raisa sepanjang jalan sejak keduanya bertemu di pintu masuk gedung fakultas. Pada saat itu, Raisa tidak menyadari keberadaan temannya yang diam-diam melihat kedatangan Raisa bersama Marka.

"Lo biasanya dateng telat. Kenapa tiba-tiba udah nongol di depan gedung, sih?"

Kayla sontak melihat Raisa. "Astaga, Rai. Gue dari tadi udah nungguin cerita dari lo, tapi lo malah nanyain sesuatu yang nggak penting—"

"Penting. Karena kalau lo telat seperti biasa, lo nggak bakalan bersikap kayak gini dan gue nggak bakalan ribet," potong Raisa sembari melihat Kayla yang masih saja belum menjauhkan tangannya dari pundak gadis itu.

"Kabarnya bakalan cepet tersebar, Rai. Mau gue telat atau enggak."

Mendengar ucapan Kayla berhasil membuat Raisa berpikir. Sepertinya gadis itu tidak memikirkan kemungkinan kalau kedekatannya dengan Marka akan mengundang perhatian orang-orang.

"H-hah? Apa-apaan? Memangnya gue abis ngapain?" tanya Raisa santai walau sebenarnya dia sedang merasa gugup.

"Abis berangkat bareng sama satu-satunya Marka yang kuliah di Universitas Karisma Jaya. Mau apa, lo?" balas Kayla, "Marka tuh populer, lho."

"Kalau itu gue juga udah tahu, Kay."

"Nah, makanya lo harus siap-siap, deh. Gue nggak bisa bantu apa-apa karena lo juga nggak cerita—tiba-tiba aja begini," kata Kayla, membuat Raisa melihatnya.

Apa yang mau diceritain, Kay? Lo bakalan kaget kalau tahu gue juga tiba-tiba kayak gini, ya ... tiba-tiba aja, kata Raisa dalam hati.

"Kenapa lagi, nih? Malah diem," tanya Kayla diikuti tepukan di pundak Raisa.

Raisa menggeleng cepat. "A-ah, enggak—udah, yuk. Nggak nyampe-nyampe ke kelas jadinya," ucapnya seraya berjalan lebih dulu karena Kayla sudah melepaskan tangannya dari pundak gadis itu.

^^^

"Kita memang udah biasa ngeliat lo seneng—t-tapi kali ini kelewatan, woy!"

Marka terlonjak karena seruan dari salah satu temannya. "E-eh, apa-apa??"

Vino melihat Rehan dengan sorot mata tajam. "Aba-aba, Han. Gue juga hampir aja kena serangan jantung, nih," omel laki-laki itu.

"Abisan ... gue takut, Vin."

"Takut? Ada apaan, sih?" tanya Marka yang sepertinya belum menyadari kalau saat ini sedang menjadi bahan pembicaraan kedua temannya.

"Gue malah ikutan seneng juga, Han—ya walaupun bener kata lo. Kali ini udah kelewatan," kata Vino, "untung aja pas di kelas tadi lo nggak kena tegur, Mar."

Marka menaikkan sebelah alisnya. "Memangnya gue kenapa, sih? Perasaan gue cuma senyum-senyum aja, deh," jawab laki-laki itu.

Vino dan Rehan tampak saling memandang satu sama lain. "J-jadi dia juga sadar kalau dari tadi 'cuma senyum-senyum'?? E-eeh, tapi lo bilang apa, tadi? Cuma? CUMA LO BILANG??" tanya Rehan.

Vino dengan cepat menahan pundak Rehan yang sepertinya terbawa suasana.

"E-eh-eh. Memangnya ada yang salah? Gue kan cuma senyum," balas Marka.

Vino memutar bola matanya malas dan berucap, "Bisa, nggak? Stop bilang 'cuma senyum'. Udah bagus ad ague yang nahan Rehan biar nggak nampol lo," kata Vino, sedangkan Rehan terlihat berusaha keras mengontrol diri.

"Lagian aneh, lo pada. Nggak seneng banget ngeliat temennya seneng ...."

"Astaga ... siapa yang bilang nggak seneng, sih??" tanya Vino.

"Y-ya itu—galak banget," jawab Marka.

Rehan yang sudah terlihat lebih tenang, kembali bersuara. "Tapi lo sama sekali belom cerita—kita aja tahu dari anak-anak yang ngomong soal lo dan Raisa berangkat bareng ke kampus," kata laki-laki itu.

"Iya. Gue juga kaget pas denger—tapi kan nggak mungkin anak-anak ngomong soal sesuatu yang nggak terjadi," lanjut Vino.

"Jadi lo sempet meragukan kalau omongan anak-anak bohong?"

"Ya ... gitu."

Marka mendengkus sebal. "Sial, lo."

"E-eh, tapi gimana? Ayo ceritalah ... cerita atau nggak kita restuin, nih."

Marka yang tadinya sudah berniat untuk beranjak, tiba-tiba melihat temannya. "Lah? Lo siapa? Nggak butuh juga restu dari lo," kata Marka, "tanpa restu kalian juga, hubungan gue sama Raisa udah selangkah lebih maju."

Marka mengatakannya dengan perasaan bangga. Senyum di wajahnya masih tergambar jelas, berbeda dengan raut wajah kedua temannya yang masih tampak tidak percaya.

"Raisa kesambet apa, ya Vin?" tanya Rehan.

"Iya. Gue jadi kasian," kata Vino, "semoga aja cepet sadar."

Ekspresi Marka berubah kaget saat mendengar ucapan kedua temannya.

"BISA-BISANYA KALIAN NGOMONG KAYAK GITU?!"

Vino dan Rehan berbalik terkejut karena tidak menyangka kalau reaksi Marka akan sangat berlebihan sampai berseru seperti itu. Keduanya hanya bisa terdiam karena tidak mau membuat Marka lebih murka.

<...>

Dari Raisa untuk CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang