CINTA 26: Bukan Pertanda Baik

3 0 0
                                    

Basket.

Sepertinya Marka tahu kalau satu hal yang tidak pernah membuat Raisa kecewa adalah basket. Jadi, ketika sebelumnya laki-laki itu dibuat bingung harus melakukan apa, dia langsung teringat dengan kegiatan favorit gadis yang dia sukai.

"Tiba-tiba banget? Dan lagi ... kan tadi gue bilang kalau gue cape, Mar."

"Eh? Jadi gue salah, nih?" tanya Marka pelan, padahal dia baru saja mengambil bola basket yang memang disediakan untuk para penyewa lapangan.

"Apa?" Raisa bertanya karena tidak mendengar ucapan Marka dengan jelas.

Marka menggeleng. "Ng—temenin gue, ya? Sekalian latih tanding—lo nggak lupa kalau pertandingan semifinal udah di depan mata, 'kan? Baru tahun ini, lho, tim cewek sama cowoknya bisa barengan masuk semifinal," kata laki-laki itu.

Untung aja gue langsung keinget sama pertandingan kita. Huft ... selamet, kata Marka dalan hati diikuti embusan napas lega.

Raisa sempat mendengkus pelan walau setelahnya terlihat melepaskan tas yang tadi membebani bahunya. Gadis itu mengambil alih bola basket di tangan Marka. "Ya. Lo ada benernya juga," balas Raisa, mulai melakukan dribel.

Marka tersenyum seraya mengambil posisi. Karena bola berada di tangan Raisa, laki-laki itu berada di posisi bertahan. Walaupun menjaga Raisa bukan hal yang sulit, tapi Marka juga tidak bisa menganggap remeh kecerdikan gadis itu.

Namun, tiba-tiba Raisa menghentikan dribelnya, membuat Marka melihat gadis itu dengan raut wajah bingung. "Ada apa, Rai?" tanya Marka.

"G-gue harus pulang," jawab Raisa.

Marka makin dibuat bingung karena Raisa terlihat sangat terburu-buru ketika mengambil tasnya. Gadis itu bahkan tidak berkata apa-apa lagi dan langsung pergi dari lapangan privat yang Marka sewa.

Tentu saja Marka tidak diam saja. Laki-laki itu bergegas mengejar Raisa untuk meminta penjelasan. Dia berhasil menahan langakah kaki Raisa karena sudah lebih dulu memegang pergelangan tangan gadis itu.

"R-Rai, tunggu—"

"M-Mar, maaf, t-tapi gue beneran harus pulang sekarang," ucap Raisa, berusaha melepaskan tangan Marka dari pergelangan tangannya.

"Ya udah. Gue yang anter, ayo," balas Marka yang sekarang tangannya sudah turun untuk menggandeng tangan Raisa. Hal itu sempat membuat Raisa terkejut, tapi tidak membuat gadis itu melakukan hal selain membiarkan Marka terus menggandeng tangannya hingga ke area parkir.

^^^

Raisa sepanjang perjalanan hanya diam sehingga Marka pun diam. Laki-laki itu hanya merasa ragu kalau pertanyaannya akan membuat Raisa tersinggung walaupun pertanyaannya sesederhana 'memangnya ada apa sampe harus cepet pulang, Rai?'.

Namun, saat motor yang dikendarai Marka sudah memasuki komplkes, tiba-tiba Raisa menepuk bahunya. "M-Mar, kenapa lo masuk?? Gue turun di sini aja," ucapnya.

"E-eh? Kenapa, Rai? Kan tanggung."

"Ng—gak pa-pa. Gue turun di sini aja—makasih, ya," jawab Raisa sembari melepaskan helm yang tadi dia pakai dan mengembalikannya kepada Marka.

Sayangnya, Raisa tidak menduga kalau tempat mereka berhenti sekarang terlalu terbuka, sampai-sampai membuat kemungkinan orang yang dikenalnya melihat mereka berdua di sana.

Sebuah mobil berhenti tempat di sebelah motor Marka. Raisa tampak terkejut, sedangkan Marka hanya memperlihatkan raut wajah bingung sembari melihat mobil tersebut.

Saat kaca mobil turun, kedua orang itu baru bisa melihat sosok yang duduk di kursi pengemudi. Sosok laki-laki yang sedang tersenyum miring kepada mereka—lebih tepatnya kepada Raisa.

"Woah ... jadi sekarang tuan putri udah ketemu sama pangerannya, ya? Nice-nice," ucap laki-laki itu seakan-akan baru saja mendapat kabar besar. Tanpa berucap apa-apa lagi, dia kembali menaikkan kaca dan melajukan mobilnya pergi.

Mungkin hanya Marka yang bingung saat ini. Namun, ketika sebuah tanya baru ingin diucapkan, pandangannya terhenti karena melihat Raisa yang tampak menahan diri. Gadis itu bahkan mengepalkan kedua tangannya.

"R-Rai—"

"Lo bisa pergi sekarang, Mar. Makasih udah nganterin gue," potong Raisa yang langsung pergi meninggalkan Marka dengan langkah cepat.

Niat Marka yang masih ingin menahan Raisa langsung hilang. Laki-laki itu tahu kalau sekarang bukan waktunya untuk terus mencari perhatian Raisa. Ditambah lagi dia masih tidak tahu tentang laki-laki yang beberapa menit lalu menangkap basah dirinya dan Raisa.

Saat Marka sudah menyalakan mesin motornya, dia teringat sesuatu. "A-apa ... apa mungkin yang tadi itu abangnya Raisa?" tanya laki-laki itu.

^^^

Sekarang perasaan bingung benar-benar membuat Raisa tidak bisa berpikir. Dia yang masih berdiri di depan gerbang rumahnya. Gadis itu melihat mobil sang kakak sudah terparkir dengan manis di garasi.

"G-gue harus gimana ...? Kalau sampe Bang Arya ngasih tahu Papa soal Marka ... bisa gawat," kata Raisa, kemudian menggigit bagian bawah bibirnya.

Pada saat itu, Raisa justru melihat sang ibu baru saja keluar dari rumah sambil membawa kantung sampah. Sira mengerutkan kening karena menemukan putrinya di luar gerbang.

"Lho? Kamu ngapain di situ, Sayang?"

Raisa segera tersadar sebelum sang ibu menyadari kebingungannya. "E-eh, iya. Aku baru mau masuk, Bun—s-sini. Biar Raisa aja yang buangin," kata gadis itu seraya mengambil alih kantung sampah yang tadi dipegang Sira.

Sira tersenyum, kemudian menunggu putrinya kembali agar mereka bisa masuk bersama. "Tadi nggak papasan sama Arya? Dia juga baru nyampe rumah," tanya Sira.

Mendengar nama kakaknya berhasil membuat Raisa terdiam, tapi tidak lama. "I-iya. Tadi sempet liat mobilnya, kok," jawab gadis itu, "ng—terus Bang Arya gimana, Bun?"

Sira menaikkan sebelah alisnya. "Gimana maksudnya?"

"A-ah, itu ... ngomong apa-apa sama Bunda?" tanya Raisa.

Sira langsung menggeleng seakan-akan tidak perlu mengingat. Karena memang putranya yang satu itu jarang sekali bicara kepadanya—kecuali dalam keadaan penting.

Raisa bisa mengembuskan napas pelan—lega. Walaupun begitu dia juga tidak bisa benar-benar tenang. Tiba-tiba dia teringat kalau kakaknya bukanlah kakak yang baik.

"Ada apa, Rai?" tanya Sira, "kayaknya ada yang ganggu pikiran kamu?"

Raisa sontak melihat sang ibu, kemudian menggeleng. "Eh? Enggak, Bun ... aku cuma cape aja—aku langsung ke kamar, ya?"

Sira sebenarnya tidak terlalu yakin dengan ucapan putrinya, tapi pada akhirnya hanya bisa mengangguk. "Ya udah. Selamat istirahat, Sayang," ucap Sira, mengusap pundak putrinya.

"Makasih, Ma."

Langkah demi langkah menuju ke kamarnya, Raisa masih berpikir. Bahkan dia sempat melihat ke kamar sang kakak yang memang dalam keadaan tertutup. Gadis itu tidak bisa memikirkan hal baik. Karena memang tidak ada satu hal baik yang bisa dia ingat dari sang kakak.

"Dia pasti ngerencanain sesuatu. Gue nggak bisa percaya sama dia."

Gue kayaknya harus bersiap buat kemungkinan terburuknya, batin Raisa.

Dari Raisa untuk CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang