CINTA 24: Cerita Raisa

1 0 0
                                    

"Makasih lo udah ngebolehin gue main," ucap Raisa yang saat ini sedang duduk di sofa di kamar Kayla. Pemilik kamar itu baru saja keluar dari kamar mandi setelah berganti pakaian.

"Ya elah, Rai. Pake makasih segala," kata Kayla, "lagian. Kayak baru pertama kali aja ke sini."

Sekarang Raisa memang sedang berada di indekos Kayla. Karena pembicaraan di kampus tadi, Kayla memberi usul agar mereka bisa lanjut bicara di sana. Gadis itu juga memikirkan kenyamanan Raisa yang sudah mulai terbuka tentang cerita hidupnya.

"Jadi gimana? Gue nggak mau neken lo—pokoknya cerita senyaman lo aja, ya? Gue pasti ngertiin," kata Kayla diikuti senyum dan berhasil membuat Raisa juga ikut tersenyum.

Raisa mengambil bantal kecil di dekatnya untuk dipeluk. "Euhm ... gue ...."

Kayla sudah sangat serius menunggu Raisa melanjutkan ceritanya, tapi setelah itu berakhir tertawa geli. Karena Raisa baru saja mengatakan.

"Gue bingung, Kay."

Kayla yang masih tertawa geli, kemudian berpindah duduk di sebelah Raisa—sebelumnya duduk di kasur. Gadis itu menepuk pundak Raisa dan berkata, "Santai ... dibawa santai aja. Mungkin setelah lo ceritain hal ini ke gue, beban lo bisa berkurang, Rai," katanya.

"Euhm ... mungkin, sih," jawab Raisa.

"Nah, jadi gimana?"

Raisa menarik dan mengembuskan napasnya pelan, lalu beralih melihat Kayla. Masih dalam keadaan memeluk bantal, Raisa memberanikan diri untuk memulai cerita yang selama ini dia simpan seorang diri.

"—gue ngerasa nggak dianggap sama keluarga gue sendiri, Kay—kecuali satu orang, Bunda gue," ucap Raisa, "gue ngerasa kalau keluarga gue cuma Bunda."

Kayla sempat terkejut saat mendengar ucapan Raisa, tapi di sisi lain gadis itu juga sudah sempat mengira kalau permasalahan keluarga Raisa seperti itu. Sebelumnya Kayla pernah melihat foto keluarga Raisa dan anehnya, Raisa justru tidak ada di sana.

Gue kira itu cuma kebetulan, batin Kayla.

Kayla beralih mengusap punggung Raisa. Dia masih belum menemukan kalimat yang tepat untuk merespons ucapan Raisa. Kayla ingin mendengar sampai Raisa merasa lega karena sudah menceritakan semuanya.

"—menurut lo gimana, Kay? Gue kasian banget, ya? Gue pura-pura kuat di luar, tapi kenyataannya rapuh. Gue bisa hancur kapan aja," kata Raisa diikuti senyum miris.

"R-Rai—jangan ngomong gitu," balas Kayla, "lo hebat. Lo cewek kuat—gue bener-bener bangga banget punya temen kayak lo."

Raisa mengembuskan napas berat. "Gue cuma butuh penjelasan. Kenapa bokap dan kedua saudara laki-laki gue sampe bersikap kayak gitu? Gue salah apa?" tanyanya.

Kayla pada akhirnya menarik tubuh Raisa ke pelukannya. Karena gadis itu baru saja menyadari kalau kedua mata Raisa sudah berkaca-kaca.

"R-Rai, ada gue—ada gue di sini. Bukan cuma Bunda yang lo punya," katanya, "lo juga punya gue. Gue udah nganggep lo kayak keluarga sendiri. Lo bisa luapin semua emosi lo ke gue—gue gak papa."

Detik itu juga Raisa sudah tidak bisa menahannya. Raisa benar-benar menangis di pelukan temannya, sedangkan Kayla hanya bisa berusaha membuat gadis itu merasa lebih tenang.

^^^

Marka sekarang sedang duduk di antara kedua temannya. Namun, laki-laki itu tidak bisa melepaskan pikirannya dari Raisa. "Eh."

Vino dan Rehan sontak menoleh, padahal sebelumnya mereka sedang bermain game. Mereka berdua sama-sama mengerutkan kening karena mendapati Marka yang tidak melihat ke tempat mereka.

"Si Marka tadi ngomong, 'kan?"

"Kenapa malah ngeliat ke tempat lain?"

"Jangan-jangan yang tadi bukan suara si Marka."

Marka mendengkus sebal. Barulah laki-laki itu melihat kedua temannya. "Gue cabut aja, deh. Dari tadi gue juga cuma diem aja," katanya seraya bangkit dari tempat duduk.

"Lah? Memangnya dari tadi kita nahan? Enggak, ya Han?" tanya Vino.

Rehan mengangguk. "Tahu. Siapa juga yang nyuruh lo ikut nongkrong di sini? Nggak ada, Mar," balas laki-laki itu.

"Nggak usah jujur-jujur bangetlah—jadi temen nggak peka banget," katanya, "a-ah, au ah." Laki-laki itu beranjak pergi sambil menenteng helm, membuat kedua temannya hanya bisa mengedikkan bahu.

"Temennya siapa, sih?" tanya Vino.

"Temen lo," jawab Rehan.

Vino mengembuskan napas pelan. "Btw, gak pa-pa, tuh? Kayaknya dia mikirin si Raisa, deh," ucapnya, sedangkan Rehan tampak mengedikkan bahu lagi.

"Mikirinnya si Raisa, 'kan? Kenapa kita yang repot," jawab Rehan yang sudah kembali sibuk melihat layar ponselnya.

Vino menyikut lengan Rehan dan berkata, "Ish, elo."

"Tapi dia bakalan ke mana, tuh?" tanya Vino lagi.

"Ke mana lagi? Paling pulang," jawab Rehan, "udahlah. Lo mau lanjut main lagi nggak, sih??"

"E-eh, iya-iya," sambar Vino.

Marka sudah duduk di motornya dan memakai helm, tapi mesin motornya masih belum menyala. Laki-laki itu sedang berpikir. "Udah dikasih lampu ijo gini, gue jadi mau makin frontal—nggak bia sebentar aja nggak denger suara dia—soalnya kalau mau ngeliat dia terus, susah," jawab Marka.

Laki-laki itu mengeluarkan ponselnya dan langsung menghubungi Raisa tanpa berpikir lama. Dia menunggu jawaban karena panggilan teleponnya sudah tersambung. Namun, Raisa tidak menjawab panggilan teleponnya.

Marka mengerutkan kening. "Kenapa nggak dijawab, ya? Apa dia lagi sibuk?"

Tidak menyerah, Marka beralih mencari kontak Kayla untuk mencari tahu. Dia berharap kalau Kayla mengetahui sesuatu karena setelah mereka berpisah tadi, gadis itu masih bersama dengan Raisa.

Kayla temennya Raisa

Raisa jangan diganggu dulu, Mar

Gue mohon banget, nih

Kening Marka berkerut saat membaca balasan pesan dari Kayla. Namun, laki-laki itu tidak langsung terima dan beralih membalas pesan itu. Dia harus tahu.

Marka

Emangnya Raisa kenapa?

Lo lagi sama Raisa?

Gue samperin, ya?

Kayla temennya Raisa

Bentar

"B-bentar?" tanya Marka yang tampak bingung.

Namun, rasa bingungnya langsung terjawab saat melihat nama Kayla muncul di layar ponselnya. Tanpa pikir panjang Marka langsung menjawab panggilan telepon itu.

"—Raisa kenapa, Kay?? Kasih tahu—"

"Aduh, Mar. Lo jangan banyak tanya dulu, deh. Pokoknya jangan ganggu Raisa dulu—masa lo nggak bisa ngertiin situasi dia, sih?" jawab Kayla dan berhasil membuat Marka terdiam.

Marka masih terdiam untuk beberapa saat, kemudian bicara lagi. "T-tapi ... ada apa? Pantesan aja dari tadi gue kepikiran dia terus—nggak ada yang kebetulan kalau gini, Kay," lanjutnya.

"Iya-iya. Gue ngerti lo khawatir, tapi jangan sekarang. Gue mohon banget."

"T-terus gue harus apa? Gue nggak bisa tenang kalau nggak denger suara dia ... atau minimal lo kasih tahu gue dia kenapa—please, Kay," pinta Marka.

"Ng—kalau gue kasih tahu lo, lo pasti nggak bakal nyerah buat nyari tahu lagi ke Raisanya langsung, makanya gue minta lo kasih ruang dulu biar Raisa tenang sendiri," balas Kayla.

Marka terdiam. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Perasaannya tidak bisa tenang karena walaupun Kayla tidak menjelaskan kejadian sebenarnya, Marka jelas mengetahui kalau Raisa tidak dalam keadaan baik-baik saja.

Jika seperti ini, seharusny Marka ada di sisinya, bukan?

<...>

Dari Raisa untuk CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang