Pulang? Taufan tak mengerti arti dari kata pulang. Ia hanyalah seorang anak yang kini tengah mencari jati dirinya, yang ia ketahui ia hanya hidup sendirian tanpa orang tua dan saudara.
Namun siapa sangka ternyata ia memiliki seorang keluarga, hanya...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Malam itu hujan berbadai, petir petir menggelegar keras dan angin yang berhembus menerjang pepohonan diluar sana.
Diantara deras nya hujan suara mobil memasuki garasi rumah. Langkah jenjang nya membuka knop pintu untu memasuki kediamannya.
Clak.
"Oh, sudah pulang ya?"
Ia terkejut kala melihat pemuda yang kini berdiri di hadapannya. Ruangan itu gelap gulita namun sinar dari petir yang melewati jendela dengan tirai yang terbuka lebar membawa netra aquamarine yang bersinar.
"Ice, ini sudah tengah malam." Ia berujar berusaha menyembunyikan rasa panik nya.
Ice menatap tajam, ia mendengus kasar.
"Memang nya kenapa jika sudah tengah malam." Suara dingin keluar dari pasang bibir nya.
"Jam untuk tidur, Ice."
Ice terkekeh pelan, kekehan yang membawa suasana dingin disana. Netra itu menatap tajam dan dingin yang menusuk pada pria ber-stelan jas hitam.
"Aku sedang menunggu ayah ku pulang, dari kerja nya." Ice berujar datar menekan kata kerja di akhir kalimatnya.
Amato tersentak menatap Ice dengan terkejut lantas menghela napas pendek.
"Tidak seharusnya saat ini kan? Kita bisa bicara besok." Amato berusaha membujuk, ia lelah sehabis menyelesaikan pekerjaan nya lalu harus berhadapan dengan salah satu anak nya yang memiliki kepekaan yang benar benar tinggi.
"Besok? Kau bercanda?" Suara ketus itu, Amato mendesis lara, putra nya ini memang sudah membencinya.
"Jam 3 pagi saja kau sudah tidak ada dirumah, lalu kapan lagi bicara jika bukan tengah malam." Suara yang tenang namun mampu menghanyutkan segala hal yang mendengarnya.
"Aku tanya untuk kesekian kalinya, Tuan Ravendra. Apa yang kau sembunyikan tentang Bunda dan Kakak ketiga ku."
Pertanyaan yang langsung pada intinya. Amato sudah tak bisa menghindar, ia sudah tak memiliki alasan apapun untuk tidak menjawab pertanyaan putra nya.
Hening.
Kesunyian membuat mereka berdua hanya mendengar suara derasnya hujan di luar sana.
"Menyerah lah, Ice. Ayah tidak akan memberitahukan apapun padamu."
Ice tersenyum tipis saat Amato berkata seperti itu. Tangan nya merogoh kantong Hoodie yang ia kenakan.
Srak!
"Kalau begitu, jelaskan yang ini, Ayah."
Mata Amato melebar menatap terkejut pada kertas yang berada di genggaman Ice.
"Ice, kau.. bagaimana bisa?!"
Ice tersenyum lebar, lebih tepatnya seringaian dengan kedua netra aquamarine yang mengkilat tajam.