Duapuluhsatu.

128 18 0
                                    

>>>>>>>>

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.







>>>>>>>>





Matahari mulai terbenam dan berganti pada terangnya bulan di malam hari, udara terasa dingin dan nyaman untuk di nikmati. Terkadang, malam menjadi momen terpenting untuk merenungkan masalah yang telah di lewati. Dengan secangkir teh mungkin itu sudah lebih dari cukup.

Asahi tampak terdiam menatap langit malam yang cerah karena bintang yang bertebaran di mana-mana. Terlihat cerah dan sempurna.

Secangkir teh mampu membuat tubuhnya menghangat dan mengalahkan dinginnya udara malam seketika, sedikit demi dikit ia minum dan sesekali di tiup jika asap yang selalu menari-nari bebas dalam udara.

Embusan napas yang tampak panjang dengan sorot mata yang tampak kosong membuktikan wajah khawatir dari dirinya.

Malam begini...kenapa mereka belum pulang sama sekali?

Asahi sangat khawatir pada Haruto dan Mashiho yang tidak bisanya akan pulang selarut ini. Ia hanya bisa menepiskan pikiran tak enaknya dengan cara duduk dan secangkir teh yang akan menemaninya hingga saudaranya pulang dengan selamat.

Matanya berkeliling menatap seisi rumah yang sangat hening, hanya ada dirinya sendiri di dalam bangunan yang kokoh itu.

Terkadang, Asahi merindukan momen-momen dimana Yoshi membuat makanan di malam hari serta melarang dirinya untuk memakan mi instan yang tidak baik untuk tubuhnya.

Asahi akui kalau dirinya sangat menyesal, bahkan rasa semangat untuk sembuh kembali mulai hilang begitu saja. Tanpa adanya sandaran untuk menumpahkan segala hal yang sangat menyakitkan bagi Asahi.

"Asa bakal sehat, kalau Kakak selalu ada di sisi Asa—Kakak nggak akan tinggalin Asa sendirian kan?"

Kata-kata pada hari terakhir ia melihat kakanya, begitu teringat senyuman manisnya yang bisa merasakan rasa tenang dengan hanya melihat wajahnya.

"Asa nggak bisa sembuh Kak..." gumam Asahi berusah payah untuk melontarkan kata-kata itu, air mata mulai menutupi penglihatannya dengan rasa sesak pada dadanya.

Asahi menggelengkan kepalanya perlahan, satu tangannya meremat cangkir teh dengan kuat, seperti menyalurkan rasa sakitnya pada cangkir teh tersebut.

"Kak..." suara samar-samar itu perlahan terdengar dengan suara langkah kaki yang sangat cepat.

"Kak Asa—ini Ruto...Kak..." Haruto memegang kedua bahu Asahi dari belakang, ia sangat khawatir jika akan terjadi yang tidak-tidak pada kondisi Asahi saat ini.

Asahi mendongakkan kepalanya perlahan, memperlihatkan Haruto yang tengah mengusap bahunya seakan mengisyaratkan bahwa dirinya harus kuat dalam menghadapi hal apapun.

Sorry For Everything✔️ (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang