Seorang wanita berhijab yang masih terlihat cantik diusianya meskipun sudah menginjak usia kepala empat, terlihat sedang membangunkan seorang remaja laki-laki yang masih terlelap di atas ranjang king size berwarna monokrom. Tangannya terangkat mengusap keringat yang bermunculan didahi sang putra.
"Adek bangun sayang". Wanita itu masih setia mengelus kepala anak bungsunya dan membuat laki-laki tersebut lantas mendekatkan wajahnya pada sang Bunda.
Satu kecupan hangat didaratkan oleh Bunda pada kening putranya yang terasa sedikit hangat.
Eughhhhh.
Lenguhan itu membuat wanita cantik itu menarik kedua sudut bibirnya.
"Bundaa". Pemandangan yang sangat cantik menyambut manik elang Rahsya ketika pertama kali membuka mata.
Meskipun hanya putih, hitam dan abu-abu yang terlihat dipandangan Rahsya, itu tetap meresponnya dengan senyuman hangat. Meskipun terkadang pusing langsung menyerang kepalanya, ia hanya bisa merasakan dan berharap masih bisa melewati hari ini hingga petang tiba.
"pusing?" Tanya Bunda yang langsung menyodorkan pertanyaan itu ketika melihat Rahsya memijat pelan pangkal hidungnya.
Sebuah anggukan lemah membuat Bunda langsung membaringkan kembali tubuh putra bungsunya itu.
"Gak usah sekolah dulu ya dek". Ucap Bunda ikut memijat pelan kening putranya. Ibu dua anak itu selalu merasa khawatir ketika dihadapkan dengan kondisi Rahsya yang terkadang naik turun.
"Rahsya gak papa Bun". Balas Rahsya lalu berusaha duduk dengan bersandar pada kepala ranjang.
"Bunda". Tangan Rahsya tergerak menggenggam telapak tangan Bunda lantas menuntun kedalam dada bidangnya bermaksud menyakinkan wanita itu supaya tidak mencemaskan dirinya.
Bunda hanya mengangguk karena bagaimana pun ia menolak keinginan Rahsya, anak itu akan tetap pada pendiriannya.
Kemudian Rahsya beranjak dari tempat tidur dan bersiap untuk berangkat ke sekolahnya.
o0o
Tidak ada yang menginginkan untuk hidup dalam kehidupan yang sama sekali tak pernah ada warna. Meskipun berulang kali Ayah dan Bunda berusaha agar Rahsya dapat hidup normal seperti yang lainnya, namun takdir memang tak akan berubah karena sudah ketetapan dari yang Kuasa.
"Adek udah bangun Bun?" Tanya Ayah kemudian meletakkan tab yang semula dipegangnya.
"Udah Yah, tadi sempat pusing, tapi disuruh gak usah berangkat gak mau." Balas bunda lalu meletakkan secangkir kopi di meja makan kehadapan suaminya.
Sang kepala keluarga itu lantas hanya menghela nafas, "Bunda kayak gak tau Adek aja".
"Iya keras kepala kayak kamu." Jawab Bunda meledek suaminya.
"Ehh--"
"Pagi Ayah, pagi Bunda." Ucapan Ayah terpotong langsung dengan sapa'an dari kedua putranya.
Keluarga kecil itu lantas melaksanakan rutinitas mereka di pagi hari sebelum melakukan aktivitas masing-masing.
"Adek kok gak pake kaca mata?" Setelah Rahsya menghabiskan semua obat yang harus diminumnya, dan sebelum putra bungsunya itu beranjak untuk menuju ke sekolah, Bunda lebih dulu bersuara menanyakan keberadaan kaca mata putranya itu. Kava mata yang dapat membantu Rahsya untuk melihat warna meski tetap tak seindah yang dilihat oleh orang-orang normal.
Rahsya lantas hanya tersenyum lalu menuntun telapak tangan Bunda untuk diciumnya.
"Rahsya lebih nyaman kayak gini Bun. Tenang aja, aku kan cuma buta warna" ucapan terlewat santai itu dikeluarkan dari mulut mungil si bungsu.
Setelah itu, Bunda memilih diam lalu mencium puncak kepala Rahsya. Al juga ikut berpamitan pada kedua orang tuanya, kemudian kakak beradik itu berjalan keluar dan memasuki sebuah mobil mewah keluaran terbaru untuk menuju ke sekolah.
Dulu, sebelum Rahsya divonis kanker. Mereka lebih sering menaiki motor sport dengan Al sebagai pengemudi dan Rahsya adalah penumpang setianya. Namun sekarang Al lebih memilih untuk menggunakan mobil agar adeknya tidak terlalu banyak terkena terpaan angin.
"gak kena angin aja gue udah penyakitan".
Ucap Rahsya tepat seminggu setelah vonis itu datang dan saat itulah ia selalu diajak oleh kakaknya untuk menaiki mobil saja ke manapun tujuannya.
Selalu seperti itu, keistimewaan yang tersarang dalam tubuhnya membuat anak itu mendapat sikap overprotektive dari siapa saja. Namun Rahsya tak pernah ingin menyerah, meskipun penyakit buta warna yang tidak mungkin sembuh serta kanker yang akan menggerogoti tubuhnya perlahan, tetapi ia akan tetap berjuang untuk tetap hidup dan mengukir kenangan bersama orang-orang tersayangnya.
o0o
Karunasankara High School sekolah swasta elit dengan segala fasilitasnya itu merupakan salah satu aset yang dimiliki oleh orang tua dari Rahsya dan Al.
Setelah memarkirkan mobilnya, Al serta Rahsya turun dari mobil itu dan langsung disambut dengan teriakan histeris oleh siswa siswi yang ada disekolah tersebut.
"Rahsya!" Teriakan itu membuat pemilik nama menengokan wajahnya dan dilihat Gibran yang berlari menuju tempatnya berdiri.
"eh Lo Gib".
"Ke kelas yok." Ajak Gibran yang merupakan salah satu sahabat Rahsya serta teman sebangkunya.
"Duluan ya Kak, Lo gak papa kan sendiri?" Pamit Rahsya pada kakaknya yang masih bersandar di depan mobil.
"Ah elah Lo kira gue bocah. Udah sana masuk, nanti pulangnya Lo duluan aja minta jemput pak Tejo atau gak istirahat aja di ruangan Ayah. Gue ada ekskul basket" pesan Al kepada Rahsya yang hanya dibalas dengan anggukan malas oleh anak itu.
Kakak beradik itu memang sangat terkenal di sekolahnya. Bukan karena mereka adalah anak dari pemilik sekolah, namun karena prestasi mereka yang sangat membanggakan.
Al yang merupakan kapten basket selalu mendapat pujian-pujian dari hampir seluruh warga sekolah. Sedangkan Rahsya yang tadinya ingin meneruskan jejak sang kakak harus terpaksa mengubur keinginan itu karena penyakitnya yang tidak membolehkannya kelelahan. Namun ia masih bisa mengukir prestasi lewat olimpiade-olimpiade yang sering dimenangkannya.
o0o