"Bun." Di tengah Rahsya memakan sarapannya, dia teringat dengan kata-kata sang Ayah semalam. Tentang operasi pada esok hari. Bukannya pesimis, hanya saja ia merasa ragu.
"Iya dek? Kenapa? Ini makan lagi. Ngobrolnya nanti selesai makan" balas Bunda dengan suara khas yang lembut. Wanita itu selain berkata lembut dengan dirinya, gak pernah marah apalagi berkata kasar padanya.
Rahsya lalu mengangguk dan menerima kembali suapan bubur yang disuapkan sang Bunda. Rasa bubur itu hambar, hanya ada sedikit rasa dari sayur sebagai lauknya.
Hingga pada suapan kelima, anak itu menyerah dan menggeleng kepala. "udah ya Bun, adek kenyang".
Wanita bernama Salma itu mengangguk lalu mengambil segelas air putih yang sudah dilengkapi dengan sedotan untuk memudahkan sang anak meminumnya. Serta beberapa obat yang senantiasa Rahsya konsumsi untuk memperpanjang kontrak hidupnya.
"Alhamdulillah, mau rebahan atau gini aja?" Tanya Bunda setelah tangannya mengembalikan gelas kaca yang hanya tersisa seperempat air.
"gini aja Bunda. Capek tidur mulu" balas Rahsya lalu tangannya mulai sibuk mengutak-atik ponselnya.
"Seger" gumam Ayah yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk yang masih tersampir di pundaknya.
"Anak Ayah udah makan?" Tanya pria itu setelah meletakkan handuk pada tempatnya.
"Udah" balas Rahsya singkat.
"Udah minum obat?" Tanya Ayah lagi kemudian ia duduk di kursi samping brankar Rahsya.
"Udah Ayahhhh" jawab Rahsya sebal. Saat ini anak itu tengah asyik bermain game di ponselnya namun pria itu malah mengganggu konsentrasinya dalam menembak lawan.
"Jangan main game terus dek, nanti pusing" ujar Ayah seraya mengacak-acak rambut Rahsya setelah sang istri memangilnya untuk sarapan bersama di sofa pojok ruangan.
Rahsya hanya merengut kesal lalu kembali fokus dengan ponselnya. Tidak peduli dengan perkataan Ayah barusan.
Beberapa menit berlalu Rahsya masih asyik memainkan ponsel dengan duduk bersandar pada kepala ranjang. Sedangkan kedua orang tua nya sedang sarapan.
"Bunda!!!" Tiba-tiba anak itu berteriak memanggil Bunda dengan ponselnya yang sudah tidak dalam genggaman.
Dengan cepat Ayah dan Bunda menengok dan menghampiri Rahsya setelah mendengar teriakan itu. Untungnya kedua orang dewasa itu sudah selesai makan, jadi tidak ada yang tersedak akibat teriakan melengking si bungsu.
"Kenapa dek? Ada yang sakit?" Tanya Bunda yang sudah duduk di pinggiran brankar Rahsya dan mengusap lembut pipi si bungsu.
Anak itu hanya memperlihatkan deretan gigi putihnya dengan kedua mata yang menyipit. "Adek pengen jalan-jalan".
Ayah dan Bunda saling pandang dengan kerutan halus yang timbul di kening mereka.
"Jalan-jalan kemana dek? Kan adek masih sakit." Ucap Bunda memandang lekat kedua iris Rahsya yang tampak sayu.
"Kemana aja Bun, Rahsya bosen di kamar terus." Balas Rahsya dengan tatapan memohon kepada orang tuanya.
Setelah beberapa detik berlalu akhirnya kedua orang dewasa itu mengangguk dan memperbolehkan si bungsu untuk keluar kamar.
"Tapi pake kursi roda" ujar Ayah mutlak dan Rahsya hanya mengangguk antusias.
o0o
Suasana pagi ini terasa hangat karena sang mentari yang sudah mulai menyebarkan sinarnya ke bumi. Banyak pasien yang juga datang ke taman rumah sakit untuk sekedar menikmati panas matahari di pagi hari.
Rahsya menghirup udara sebanyak mungkin setelah dirinya sampai di taman rumah Sakit dengan duduk di kursi roda yang didorong oleh Ayah. Beberapa hari dirinya terkurung di kamar rawat, membuat dia merindukan sengatan matahari yang menerpa kulit pucatnya.
"Ke sana aja Yah." Ujar Rahsya menunjuk salah satu kursi taman yang di dekatnya ada sebuah tanaman bunga matahari.
Pria itu mengangguk lalu kembali mendorong kursi roda itu sampai ke tempat si bungsu inginkan.
"Ayah duduk aja kalo capek." Ucap Rahsya setelah dirinya sudah berada di dekat bunga matahari.
"Emang adek gak mau pindah lagi?". Tanya Ayah.
Rahsya menggeleng lalu tersenyum. Sedangkan pria itu sudah duduk di sebuah kursi dengan melihat tingkah anak bungsunya.
"Ayah".
"Hmm?".
"Ayah tau gak kenapa bunga ini namanya matahari?" Tanya Rahsya dengan kedua tangan yang masih menyentuh kelopak bungsu kuning itu.
"Karena bunga matahari selalu tumbuh dengan mengarah pada sinar matahari. Jadi namanya bunga matahari dek" balas Ayah yang dibalas anggukan antusias dari Rahsya. Lalu anak itu menyeringai pelan.
"Satu lagi Yah, kenapa namanya matahari?" Sesekali anak itu memberi pertanyaan-pertanyaan unik kepada sang Ayah.
Ayah lantas tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala. "kamu ini ada-ada aja dek. Ayah gak tau, emang kenapa?".
"Karena jadi matanya hari. Coba deh ayah bayangin kalo hari gak ada mata, pasti kan gelap. Kayak adek" balas Rahsya dengan gumaman pelan diakhir kalimatnya. Ia menunduk, meremat celana pasien rumah sakit yang terlihat kebesaran di tubuh kurusnya.
Kedua matanya juga sudah berkaca-kaca. Mungkin jika dia berkedip sekali saja, air bening itu akan langsung jatuh dari kelopak matanya.
Ayah yang merasa gelagat putranya berubah, lalu berjongkok di depan kursi roda dan membawa tubuh anak itu ke dalam pelukannya.
Ia selalu menjadi pria paling lemah jika dihadapkan dengan takdir yang seolah mempermainkan putra bungsunya.
"Sssttt, udah jangan nangis dek. Nanti sesek" ujar Ayah seraya mengusap-usap punggung si bungsu yang bergetar.
Pria itu merenggangkan pelukannya lalu menatap lekat wajah putra bungsunya yang terlihat kacau. Namun ia langsung mengernyit ketika si bungsu tiba-tiba menyipitkan kedua matanya dengan tangan yang meraba-raba wajah sayang Ayah.
Kedua bola mata remaja itu juga bergerak-gerak seolah tengah mencari sesuatu yang entah apa.
"A-ayah gelap" gumaman itu sukses membuat Ayah kembali membawa tubuh kurus putranya ke dalam pelukan. Rahsya kembali menangis sesenggukan di dada bidang sang Ayah karena ia merasa dunianya sangat gelap sekarang. Semua terlihat hitam bahkan wajah tampan Ayahnya pun tak bisa ia lihat sedikitpun.
"Iya, ini Ayah. Kita ke kamar ya istirahat lagi, pasti adek capek" ujar Ayah lalu perlahan melepaskan pelukannya kemudian mengecup kening si bungsu yang terasa hangat.
"Y-yah, adek takut" Rahsya masih bergumam pelan dengan kedua mata yang tertutup rapat.
"Gak papa, ini Ayah. Gak usah takut, kita langsung ke kamar aja ya" balas Ayah yang dijawab anggukan pelan oleh Rahsya.
Ketika kursi roda itu mulai didorong oleh sang Ayah, Rahsya mencoba memberanikan diri untuk sedikit membuka kedua matanya. Namun bukannya sudah kembali normal, penglihatannya justru semakin gelap bahkan tidak ada sedikit cahaya pun yang dapat ditangkap oleh retinanya.
Lalu anak itu kembali menutup rapat kedua matanya berharap saat dirinya terbangun, gelap itu sudah pergi dari penglihatannya.
o0o