Jarum jam sudah berhenti tepat diangka tujuh, terlihat seorang remaja laki-laki baru saja memasuki rumahnya dan langsung disambut oleh sang Bunda.
"Sayang, adek dari mana aja? Bunda khawatir banget. Ayah juga udah uring-uringan dari tadi, apalagi kakak" wanita itu berucap seraya kedua tangannya masih memeluk erat anak bungsunya.
Rahsya memang tidak langsung pulang ke rumah setelah selesai sekolah. Ia bersama ketiga sahabatnya memilih untuk berkunjung ke panti asuhan yang dimiliki oleh keluarga Karunasankara.
Namun karena Rahsya tidak ingat untuk mengisi daya baterai handphonenya, anak itu tidak bisa memberi kabar kepada keluarganya.
"Baru pulang Lo! Ke mana aja? Belum juga seminggu pulang dari rumah sakit udah kelayapan aja. Untung masih ada temen-temen Lo yang bisa gue hubungi." Suara itu, berasal dari seorang laki-laki yang masih berjalan menuruni anak tangga dan menghampiri adeknya.
"Gue gak kelayapan! Dan handphone gue lowbat, gue cuma ke panti. Salah?" Jawab Rahsya suara yang cukup lantang.
Bunda segera menarik Rahsya untuk menjauh dari Al, kemudian mendudukkan anak itu di atas sofa ruang tengah yang sudah ada Ayah di ruangan itu.
"Rahsya" panggil Ayah dingin tak seperti biasanya.
Rahsya yang dipanggil itu hanya mendongak lalu menundukkan kepalanya lagi ketika melihat sorot tajam dan kecewa manik Ayahnya.
"Kamu dari mana? Kenapa baru pulang?" Tanya Ayah dengan suara yang mulai melembut karena takut anaknya akan tertekan.
"R-rahsya dari panti Yah, maaf." Anak itu masih enggan untuk menatap Ayahnya.
"Rahsya, lihat Ayah." Ucapnya dengan mengangkat dagu Rahsya agar mau menatapnya.
"Kamu tau kalau kamu itu gak boleh kecapean. Terus kamu inget kalau kamu baru aja keluar dari rumah sakit kemarin? Kamu mau drop lagi?" Ayah bertanya dengan nada yang lembut. Ia tak mau sedikitpun menambah beban Rahsya yang sudah keberatan dengan beban hidupnya sendiri.
"maaf" hanya kata itu yang dapat keluar dari mulut Rahsya.
Lalu Bunda menuntun Rahsya ke kamar setelah Ayah menyuruhnya untuk beristirahat.
"Kamu jangan terlalu kasar sama adek kamu kak, kasihan dia." Ucap Ayah ketika Bunda dan adek sudah tak terlihat.
"Maaf Yah, kakak cuma takut adek kenapa-kenapa." Jawabnya dengan menundukkan kepala.
"Iya, Ayah ngerti. Ya udah Ayah mau ke kamar adek dulu." Pamit Ayah lalu berjalan agak tergesa menuju lantai dua tempat Rahsya berada.
o0o
Rahsya terus memuntahkan semua isi perutnya setelah dua jam ia tertidur. Sudah lima belas menit ia berdiri di depan wastafel dalam kamar mandi pribadinya.
Bahkan anak itu kini sudah terduduk lemas dengan bersandar pada dinding kamar mandi. Nafasnya pun kini sudah mulai putus-putus.
Ia butuh sesuatu yang dapat menyelamatkan kesadarannya. Obat, hanya itu yang kini tengah berada dalam pikiran Rahsya. Namun kembali lagi pada keadaan jika tubuhnya sudah terasa lemas. Jangankan untuk berjalan ke kamar, berdiri pun dia sudah tidak kuat.
Rahsya berharap Tuhan mengirim seseorang untuk datang ke kamarnya dan melihatnya tengah berada diambang kesadaran di dalam kamar mandi.
Hingga samar-samar ia mendengar suara pintu terdorong kasar dan teriakan histeris dari seorang wanita yang sangat ia cintai.
"Adekkk!!!" Suara itu masih sanggup didengar oleh Rahsya, sebelum semuanya terlihat gelap dan tubuhnya terjatuh salah pelukan sang Bunda.
o0o
"Gimana keadaan anak gue Fi?" Dokter Rafi sengaja dipanggil untuk datang ke rumah itu, Ayah memang tidak membawa Rahsya ke rumah sakit karena ia tau Rahsya sangat tidak menyukai tempat itu. Apalagi baru beberapa hari lalu, anaknya itu keluar dari sana. Jadi tak mungkin Rahsya mau dibawa kesana lagi.
"Rahsya cuma kecapean, tapi---".
"Tapi apa Fi?" Ayah langsung memotong perkataan dokter itu.
"Kayaknya anak Lo lagi banyak pikiran jadi gampang drop, untung aja gak sampai collapse. Oh ya satu lagi, jangan terlalu membuat Rahsya merasa terkekang. Penderita kanker bukan cuma harus dijaga fisiknya, namun psikis nya juga penting." Jawab Dokter Rafi seraya ia bergegas keluar dari kamar Rahsya setelah merapikan semua barang-barangnya.
Setelah kepergian dokter itu, Ayah langsung menghampiri Bunda yang tengah duduk di tepi kasur Rahsya seraya mengelus Surai hitam Rahsya.
Di samping Rahsya juga sudah ada Al yang juga tengah tertidur miring menghadap Rahsya.
"Yah, adek gak papa kan?" Tanya Bunda ketika merasa bahunya disentuh oleh Ayah.
Ayah menghela nafas lemah lalu mendudukkan dirinya di kursi belajar Rahsya.
"Adek gak papa Bun. Anak kita kan kuat" balas Ayah pada istrinya.
"Lantas, Ayah mengajak Bunda untuk keluar dari kamar Rahsya dan membiarkan kedua anaknya untuk beristirahat.
o0o
Pukul 01.40, Rahsya membuka kedua matanya ketika merasakan ada sesuatu yang bergejolak dalam perutnya. Lalu ia berusaha untuk mendudukkan tubuh lemasnya dan ternyata ada seseorang yang juga tidur disampingnya.
"Kenapa dek?" Baru saja Rahsya berhasil mendudukkan tubuhnya, suara berat sang kakak sudah terdengar. Ia memang sengaja tidak membangunkan Al karena masih kecewa dan marah dengan ucapan kakaknya semalam.
"hei Sya!" Sebelum membalas ucapan Al, anak itu sudah berlari menuju kamar mandi. Kemudian Al memilih untuk menyusul sang adek dan mendapati Rahsya tengah berdiri di depan wastafel dengan keringat sebesar biji jagung mengalir pada pelipisnya. Serta mulut anak itu terus mengeluarkan cairan-cairan putih dari dalam lambungnya, mengingat Rahsya tidak memakan apapun setelah pulang dari panti kemarin.
"Kalau udah gak ada yang keluar, jangan dipaksain. Nanti malah sakit dek" ujar Al dengan tangannya yang sudah lebih dulu mengurut bagian leher belakang Rahsya.
"Mu-al Ka--" belum sempat Rahsya menyelesaikan ucapannya, anak itu sudah mengeluarkan cairan lagi dari perutnya.
Setelah Kira-kira lima belas menit kedua remaja itu berdiri di depan wastafel, akhirnya Rahsya sudah tidak merasa mual lagi. Dan saat ini Rahsya tengah tertidur di kasurnya dengan Al yang masih sibuk mengolesi minyak telon pada tangan serta perutnya.
"Maaf dek, gue belum bisa jadi kakak yang baik buat lo." Monolognya lalu ia ikut membaringkan tubuh lelahnya di samping sang adek.
o0o