"udah sehat Sya?" Noah menyambut kedatangan Rahsya. Di parkiran mobil dengan pertanyaannya, ia sengaja berdiam diri di sana untuk menanti kehadiran Rahsya di sekolah.
"Alhamdulillah No" jawab Rahsya dengan tersenyum.
Al yang baru turun dari mobil langsung berpamitan dengan kedua remaja itu untuk terlebih dahulu masuk ke kelasnya.
"Sorry ya, kemarin gue gak ikut ke rumah Lo. Gue ada urusan mendadak soalnya" ucap Noah tersenyum segan.
"Urusan apa?" Tanya Rahsya dengan raut penasaran.
"Ada lah, gak terlalu penting kok" jawab lelaki itu seraya tersenyum menyakinkan kepada Rahsya.
Sedangkan Rahsya hanya mengangguk. Masa bodoh dengan urusan Noah. Lagi pula, orang itu tidak menceritakan pada Rahsya. Pikirnya.
Di koridor sekolah, mereka melihat Gibran, Irsyad dan Angga yang tengah bercengkrama dengan duduk di kursi panjang. Lalu Rahsya langsung mendudukkan tubuhnya di antara Gibran dan Irsyad.
"Lo udah sembuh Sya?" Tanya Gibran dengan tangan yang terangkat untuk menyentuh kening Rahsya.
"kalau gue masih sakit, gue gak bakal ada di sini kali." Balas Rahsya seenaknya.
"Syukur deh kalo Lo udah sembuh. Ntar bilangnya gak papa, eh tau-tau nya tumbang juga." Irsyad mengatakan dengan nada yang disamakan seperti gaya bicara Rahsya.
Rahsya hanya merotasikan bola matanya malas mendengar ocehan Irsyad. Lalu ia memilih bangkit dan meninggalkan keempat remaja itu yang tengah kebingungan.
"Lo sih Syad! Ngambek kan dia!" Ujar Gibran sedikit jengah dengan kelakuan Irsyad yang memang selalu menggoda Rahsya hingga anak itu berakhir marah.
"Aduhhh gue lagi yang disalahin. Orang gue ngomongnya bener" belanya dengan muka melas.
"Bodo!" Balas Gibran lalu ia bergegas menyusul Rahsya ke kelas. Angga dan Noah pun sudah berjalan tergesa mengikuti langkah kaki Gibran.
"Bisa-bisa dapat kultum nih gue dari Ustadz Gibran." Monolog Irsyad, ia berlari menyusul keempat temannya yang sudah mulai menghilang dari pandangannya.
o0o
"ayolah Sya, gue minta maaf." Sejak memasuki kelas, Irsyad tak henti-hentinya mengajukan permohonan maaf kepada Rahsya.
Namun anak itu hanya diam dan tetap fokus pada buku matematikanya. Sebenarnya ia tidak serius untuk marah dengan Irsyad. Rahsya hanya merasa tidak enak saja karena ia terkadang menjadi beban untuk keempat temannya.
"Rahsya, gue bener-bener minta maaf. Sumpah gue gak ada maksud apa-apa tadi." Irsyad masih tak henti-hentinya meminta maaf kepada Rahsya hingga membuat anak itu jengah.
"Iya-iya, udah sana balik ke tempat Lo. Pusing gue dengerin ocehan Lo dari tadi." Setelah bermenit-menit Rahsya mengatakan permintaan maafnya, akhirnya Rahsya pun mengabulkannya.
"Lo pusing Sya?" Tanya Gibran yang baru saja duduk disamping Rahsya.
"Dikit" jawab Rahsya dengan senyum tipisnya.
"Mau dikit ataupun banyak. Namanya juga pusing, ke UKS aja sana!" Peringat Gibran yang hanya dibalas gelengan oleh Rahsya.
"Baru juga gue berangkat sekolah, udah disuruh ke UKS aja. gak mau gue!" Tolak Rahsya dengan tegas.
Gibran ingin membalas ucapan Rahsya lagi sebelum sebuah suara penggaris yang diketukkan ke meja terdengar di kelas unggulan itu.
"Denger ya guys. Hari ini pak Agung gak masuk, tapi beliau gak ngasih tugas. Jadi kita disuruh belajar sendiri, dan tetap stay di kelas." Zaki, ketua kelas yang tegas baru saja mengumumkan perihal Jan pelajaran matematika yang kosong.
Semua murid kelas itu pun langsung bersorak gembira karena terbebas dari pelajaran matematika dadi jam pertama hingga jam ketiga.
"Ke ruangan Ayah gue aja yuk. Pada mau gak?" Ujar Rahsya karena merasa kepalanya bertambah pusing dan ia tak mau tiba-tiba pingsan di kelas akibat menahan pening di kepalanya.
"Okelah" balas Gibran lalu ia meminta izin kepada Zaki untuk pergi ke ruangan Ayahnya Rahsya bersama ketiga sahabatnya.
o0o
Rahsya mengembuskan nafas dengan kasar ketika baru saja memasuki ruangan Ayahnya. Ia merebahkan tubuhnya pada sofa besar yang ada di pojok ruangan.
Anak itu juga terlihat mengelus-elus dadanya, seraya bernafas menggunakan mulut.
"kenapa Sya?" Gibran yang pertama kali melihat Rahsya langsung menghampiri sahabatnya dengan raut khawatir.
"Se-sek Gib, g-gue gak bi-sa na-fas" tak disangka sesak nafasnya semakin parah. Bahkan Rahsya juga sudah membuka mulutnya agar oksigen dapat masuk ke dalam paru-parunya. Tangannya yang semula memukul-mukul dadanya kini di genggam oleh Gibran.
"Nafas yang bener Sya, jangan panik ya." Gibran masih berusaha untuk menenangkan Rahsya, tangan satunya yang tidak didengar oleh Rahsya ia gunakan untuk mengelus pekan dada anak itu.
"Biar gue panggil Bu Sri" ujar Irsyad yang langsung berlari keluar menuju ruang kesehatan.
Rahsya masih terus berusaha memasukkan oksigen yang seakan menghilang dari jangkauannya. Gibran dan Angga juga sedang menenangkan Rahsya agar tidak sampai pingsan.
Hingga kurang dari lima menit, Irsyad datang membawa tabung oksigen portabel serta disusul oleh Bu Sri.
"Nafas pelan-pelan aja Nak. Ayo kamu pasti bisa" Bu Sri berupaya untuk membuat Rahsya bernafas dengan tenang, ia juga sudah memasangkan masker oksigen pada Rahsya.
Namun setelah lima menit Rahsya memakai masker oksigen itu, tiba-tiba ia memuntahkan darah dari mulutnya yang masih tertutupi alat bantu pernafasan itu hingga membuat semua orang yang ada disana menjadi sangat panik.
"Rahsya!!" Gibran terkejut ketika melihat sahabatnya itu semakin kesusahan bernafas.
Tanpa pikir panjang, Angga keluar untuk memanggil petugas kesehatan sekolah agar bisa cepat membawa Rahsya ke rumah sakit.
Brakkk.
Pintu itu terbuka secara kasar hingga orang-orang yang berada di dalam ruangan itu terkejut.
Al berlari kesetanan setelah mendapat telfon dari Angga yang mengatakan jika adeknya tengah kesakitan.
"Adek!!" Kedua manik Al sudah berkaca-kaca ketika melihat sosok itu terbaring di atas sofa dengan wajah yang tertutup masker oksigen dan cairan merah yang sudah akan mengering berada di bawah mulutnya.
"Ka-kak" balas Rahsya dengan suara yang sangat lemas. Tangan yang awalnya meremat jemari Gibran kini berpindah untuk digengam Al.
"adek tahan ya, kita ke rumah sakit sekarang." Setelah mengatakan itu, pintu terbuka menampilkan Irsyad beserta pada tenaga kesehatan yang membawa brankar.
Lalu Al bergegas memindahkan Rahsya untuk dibaringkan diatas brankar tersebut yang langsung didorong oleh para tenaga kesehatan.
Di dalam ambulance, Al tak henti-hentinya mengajak Rahsya untuk berbicara agar anak itu masih sadar.
Hingga ketika ambulance itu memasuki area rumah sakit, kedua mata Rahsya terpejam dengan nafas yang putus-putus serta detak jantung yang sangat lemah.
"Adekkk!!!".
o0o