"selamat datang Tuan Fathir Karunasankara!".
Al dan Ayah baru saja hendak memasuki bangunan itu sebelum pintu besar itu terbuka dari dalam serta menampilkan sosok pria yang berpakaian serba hitam.
Ayah membulatkan kedua bola matanya ketika sudah melihat jelas siapa sosok pria itu.
"Ma-maxime?" Al mendengar jika Ayahnya menggumamkan sesuatu yang ia yakini itu adalah nama dari sosok pria tersebut.
"Ayah kenal sama dia?".
"Anakmu yang pertama ini memang sangat pintar. Tapi kenapa anak bungsumu penyakitan?" Pria yang bernama Maxime itu melontarkan kalimat yang membuat Ayah tersulut emosi.
Sebuah Bogeman mentah Ayah berikan kepada sosok pria itu. "Jaga bicara anda, sekarang katakan dimana anak saya!".
"Tenang, anak anda sedang bermain-main dengan temannya." Balas Maxime lantas berlalu meninggalkan kedua laki-laki tersebut.
Al dan Ayah saling pandang, mereka bingung siapa yang dimaksud teman oleh Maxime tadi. Tanpa pikir panjang Ayah dan Al mengikuti langkah kaki pria itu, sesampainya mereka di sebuah ruangan, kedua netra Al membulat sempurna kala melihat pemandangan yang sangat mengenaskan. Di depan matanya, Rahsya duduk terikat dengan wajah yang sudah penuh dengan muka memar. Bahkan kedua mata anak itu juga terpejam.
Dan yang lebih mencengangkannya lagi, di samping adeknya. Terlihat seorang remaja yang tengah berdiri dengan tersenyum remeh kepadanya.
"Bangsat! Lo apain adek gue anjing!!" Al langsung menodongkan pertanyaan kepada remaja itu.
Noah masih terdiam dan sama sekali tidak ingin bergerak dari posisinya. Rautnya juga tidak menampilkan rasa bersalah sedikitpun.
"Mau anda apa sampai melakukan ini semua pada anak saya?!!" Setelah terdiam cukup lama, Ayah menatap tajam ke arah sosok pria itu.
"Mau Saya, serahkan semua aset anda ke saya. Dan anda jangan mentang-mentang pemilik perusahaan besar, anda bisa seenaknya memecat saya waktu itu menjebloskan saya ke penjara!" Balas Maxime juga dengan menatap tajam ke arah Ayah.
"bukannya anda memang pantas mendapatkan itu? Anda yang berbuat dan anda juga yang harus bertanggung jawab!" Jawab Ayah.
"Bangsat!!!".
Dengan gerakan cepat, Maxime mengeluarkan sebuah pistol dan mengarahkan di dekat kepala Al.
"Serahkan semua harta anda atau anak anda yang akan jadi gantinya!"
Dorr.
Sebelum Ayah membuka suara,sebuah ledakan terdengar nyaring dalam ruangan itu. Beberapa polisi memasuki ruangan itu setelah menembakkan sebuah peluru ke atas. Mereka juga terlihat sudah terlebih dahulu menangkap Noah dan Maxime sebelum kedua orang itu melarikan diri.
"Dek! Adek bangun dek! Kakak mohonnn!!!" Al menggoyang-goyangkan tubuh lemas adeknya, berharap kedua mata sosok itu dapat terbuka. Ia juga sudah melepaskan semua tali yang mengikat tubuh adeknya ketika para polisi itu datang.
"Rahsya!" Gibran dan kedua temannya yang lain baru memasuki ruangan itu dan mereka terkejut ketika melihat keadaan Rahsya yang jauh dari kata baik-baik saja.
Lalu Ayah membopong tubuh lemas Rahsya dan berlari menuju tempat mobilnya berada.
Di dalam mobil pun Ayah tak henti-hentinya mencium wajah lebam sang putra. Bahkan kedua pipinya sudah basah sejak dirinya mengangkat tubuh Rahsya.
"Bangun dek, maaf. Maafin Ayah, ini semua salah Ayah".
Al pun sama. Ia juga sudah menangis sejak tadi, bahkan dirinya gak berhenti menyuruh pak Tejo untuk mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
o0o
Rahsya koma.
Perkataan Dokter Rafi tak berhenti memenuhi pikiran Al. Ia yang tengah duduk dengan ketiga sahabat Rahsya di ruang tunggu itu hanya bisa menunduk dengan air mata yang tak henti keluar dari kelopaknya.
Bunda juga sudah datang ke rumah sakit. Wanita itu tampak kacau ketika mendengar kabar bahwa putra bungsunya dinyatakan koma.
Dan sekarang kedua orang tua Al tengah berada di ruangan Dokter Rafi untuk membicarakan kondisi Rahsya.
"gue gak nyangka ternyata Noah sejahat itu." Di tengah kesunyian itu, Gibran berucap dengan pandangan lurus ke depan.
"Gue takut adek gue nyerah" ujar Al masih dengan lelehan air mata yang membasahi kedua pipinya.
"Ssstttt udah ya kak, adek Lo kuat. Gue takut Rahsya pasti bangun lagi buat Lo. Buat kita semua" Angga berusaha untuk menenangkan kakak dari sahabatnya itu.
Ia tahu, memang tidak mudah melihat seseorang yang sangat kita cintai berjuang melawan maut seorang diri. Dan kita hanya bisa menyaksikan tanpa bisa membantu sedikitpun keduaku dengan doa. Tapi mereka harus yakin kalau sosok itu tidak akan pernah mau pergi sebelum sang takdir yang menjemputnya.
o0o
Al menarik nafas panjang dan mengembuskan nya kasar ketika kedua kakinya telah memasuki ruangan itu. Suara bedside monitor langsung menyambutnya.
Langkahnya ia bawa mendekat pada Rahsya yang masih enggan untuk membuka kedua matanya. Wajah anak itu sangat pucat ditambah ada beberapa lebam yang juga menghiasi paras tampan adeknya, pun ventilator yang tertancap pada mulutnya .
"dek" tangan Al terangkat untuk mengusap pelan kening adeknya. Bahkan gerakannya sangat pelan dan penuh kehati-hatian. Takut bila kasar sedikit saja akan membuat adeknya merasakan sakit.
"Bangun dek, maaf gara-gara kakak. Adek jadi gini" untuk kesekian kalinya air mata Al tak dapat dibendung lagi agar tidak keluar.
Ia menyesal kalau saja waktu itu dirinya tidak berlatih basket dahulu, mungkin adeknya tidak akan diculik dan berakhir seperti ini. Dan kalah saja dirinya bisa datang lebih awal untuk menyelamatkan Rahsya, mungkin keadaan anak itu tak separah ini.
Tangannya menggenggam jemari Rahsya yang entah mengapa terasa sangat dingin. Ia eratkan genggaman itu berharap dengan cara tersebut, adeknya bisa merasakan kehangatan dari tubuhnya.
"Dek, maaf. Maafin kakak, tapi please ayo bangun. Jangan kayak gini" tutur Al lembut dengan sebelah tangan yang mengelus pipi putih kemerah-merahannya.
"Ini pasti sakit ya? Maafin kakak ya dek, kakak telat nolongin adek tadi".
Pemuda itu masih saja mengajak sosok yang terbaring lemah itu berbicara. Meskipun adeknya tidak merespon sedikitpun, ia tidak henti-hentinya berucap agar adeknya dapay bangun dari komanya.
Hingga beberapa saat, terlihat orang tuanya memasuki ruangan itu. Bunda langsung mendekap tubuh Al yang tengah duduk di samping brankar.
"Bun... Maafin kakak".
Wanita itu menggeleng dengan air mata yang mengalir terus.
"Gak, kakak gak salah. Ini udah takdir dari Allah sayang." Balasnya lantas menatap kedua mata anak sulungnya yang tampak merah.
Lalu Ayah membawa keduanya itu masuk kedalam pelukannya. Ia sebagai kepala rumah tangga harus lebih kuat dari yang lainnya. Jika ia terlihat lemah, kamu siapa yang akan menguatkan orang-orang disekelilingnya.
"Ayah yakin adek pasti baik-baik saja".
o0o