25

669 62 9
                                    

Kelima remaja SMA itu tiba di kamar rawat Rahsya saat anak itu tengah duduk bersandar pada kepala brankar rumah sakit. Awalnya Rahsya terkejut karena kedatangan dua siswi itu, namun setelahnya ia justru merasa senang karena sudah dijenguk Nala.

"Gimana keadaan Lo Sya?" Tanya Nala yang saat ini sedang duduk di kursi samping brankar.

"Baik. Apalagi sekarang udah dijengukin sama Lo" balas Rahsya yang membuat kedua pipi Nala bersemu merah.

"Masih aja gombal, lagi sakit juga" celetuk Irsyad yang sedang sibuk mengupas kacang.

Rahsya tidak menanggapi, ia hanya tersenyum lalu memejamkan matanya ketika rasa sakit itu kembali hadir.

Anak itu mengigit bibir bagian dalamnya agar rintihan kecil tak dapat keluar dari mulutnya.

"Lo kenapa Sya?" Adara yang sedari tadi fokus dengan ponselnya tak sengaja memandang Rahsya singkat dan ternyata anak itu terlihat tengah kesakitan.

Ketiga remaja yang semula duduk di karpet itupun lalu bergegas mendekati Rahsya. Kedua orang tua Rahsya dan kakaknya sedang keluar, jadi anak itu adalah tanggung jawab mereka.

Gibran mengisyaratkan Nala agar gadis itu berpindah dari posisinya, lalu laki-laki itu duduk di kursi yang ditempati Nala tadi.

Rahsya masih setia memejamkan kedua matanya dengan kerutan halus yang muncul dikeningnya. Keringat dingin juga terlihat mengalir dari pelipisnya.

"Sya, Lo denger gue kan?" Tangan Gibran bergerak mengelus rambut lepek Rahsya sedangkan tangannya yang lain menggenggam jemari Rahsya yang sedari tadi meremat selimut.

"Ssshhhhh s-sa-kitt" rintihan itu akhirnya keluar dari mulut yang sudah pucat bahkan tangan yang tertancap jarum infus itu sudah bergerak menjambak rambutnya sendiri.

"Heiii Rahsya, jangan dijambak rambutnya" Gibran berusaha setenang mungkin menghadapi Rahsya yang tengah kesakitan.

Bahkan sekarang Gibran sudah berpindah duduk di atas brankar dan memeluk Rahsya dengan erat. Ia menenggelamkan Rahsya didada bidang miliknya. Untung saja anak itu sudah tak memakai alat bantu pernafasan, jadi Gibran lebih mudah ketika memeluknya.

Keempat remaja yang lain itu masih mematung di tempatnya. Bahkan tak ada satupun dari mereka yang bergerak, hingga satu teriakan dari Gibran membuyarkan lamunan mereka semua.

"Panggil dokter!!!".

o0o

Nala dan Adara sudah pulang terlebih dahulu memakai taksi  online setelah Rahsya tertidur akibat pengaruh obat yang diberikan oleh dokter. Sedangkan ketiga sahabat Rahsya yang lain masih duduk diluar kamar rawat Rahsya.

Tadi ketika Irsyad berlari keluar untuk memanggil dokter yang tak segera datang, dirinya berpapasan dengan Al dan kedua orang tua Rahsya. Lalu tiga orang itu bergegas menuju kamar rawat Rahsya dan menemukan anak itu sudah tak sadarkan diri di pelukan Gibran.

Dan setelah dokter Rafi keluar dari ruangan rawat Rahsya, dirinya mengajak Bunda dan Ayah untuk ke ruangannya itu guna membicarakan kondisi Rahsya yang semakin menurun.

Dokter Rafi mengatakan jika memungkinkan, lusa akan dilakukan operasi untuk mengangkat sel kanker itu.

Hari sudah semakin petang namun sepertinya Rahsya masih betah menutup matanya. Bahkan ia tidak terusik sedikitpun ketika Al memainkan poni rambutnya yang sudah memanjang.

"Bangun dek, gak baik tidur waktu maghrib." Ujar Al yang saat ini sedang memainkan tangan Rahsya.

Beberapa jam lalu ia dibuat jantungan dengan pemandangan Rahsya yang sudah pingsan dalam dekapan Gibran. Wajah anak itu memucat dengan keringat dingin yang membanjiri keningnya.

Al beralih mencubit pelan pipi adeknya yang sudah tak se chubby dulu. "Emang hobi banget Lo ya bikin gue jantungan, bisa mati muda gue lama-lama".

Eughhhhh.

Rahsya melenguh pelan kala Al mencium keningnya. Kedua matanya masih mengantuk namun sepertinya sang kakak sengaja melarangnya tertidur.

"Bangun dek. Udah Maghrib jangan tidur." Ucap Al yang dibalas Rahsya dengan menguap.

Ceklek.

Kedua orang dewasa itu tersenyum ketika melihat dua putranya sudah berinteraksi seperti biasa.

"Kakak udah shalat belum?" Tanya Bunda yang melihat Al masih memainkan anak rambut Rahsya.

Al hanya menyengir kuda lalu menggeleng pelan. Seketika remaja itu berlari menuju kamar mandi untuk berwudhu.

o0o

Pagi ini Gibran dan kedua temannya berangkat bersama ke sekolah. Ketiga remaja tampan itu berjalan santai melewati koridor sekolah dan sesekali tersenyum ramah dengan murid lain.

"Gibran!!!" Ada suara cempreng dari seorang gadis berambut panjang yang berlari menghampiri ketiga remaja itu.

Gadis itu menormalkan kembali pernafasannya setelah dirinya tiba di hadapan Gibran.

"Rahsya gimana?" Tanya gadis itu langsung setelah dia sudah bisa bernafas dengan normal.

Gibran tersenyum melihat ekspresi gadis itu yang baru saja berlari tergopoh-gopoh menghampirinya. "Udah gak papa. Besok mau operasi, doain ya".

"Besok?".

Gibran mengangguk lalu pamit untuk berjalan ke kelas mereka dengan kedua temannya.

Setelah kepergian Gibran cs. Nala masih mematung di tempatnya, ia masih tak menyangka kalau sosok yang selama ini dia kagumi ternyata menderita penyakit separah itu.

Bahkan Rahsya masih saja tetap tersenyum meskipun terkadang anak itu tiba-tiba kambuh.

"La!" Nala terkejut dan kembali sadar dari lamunannya ketika sebuah tangan menepuk bahu sebelah kanannya. Pelakunya tidak lain dan tidak bukan adalah Adara. Sahabatnya dari kecil.

"Masih pagi La, ntar kesambet." Ujar Adara menatap Nala yang sedari tadi berdiri mematung.

"Besok Rahsya Operasi." Pelan ucapan Nala membuat Adara mengernyit bingung.

"Rahsya besok mau di operasi Dar" ulang Nala membuat kedua bola mata Adara membulat sempurna.

"Hah? Serius Lo?!!".

"Dan gue gak yakin Dar. Kata bokap gue, operasi buka tengkorak itu resiko nya besar" balas Nala yang saat ini sudah meneteskan air matanya.

Adara mengangguk lalu membawa tubuh bergetar Nala ke dalam pelukannya. Tangannya mengusap pelan punggung kecil Nala yang semakin bergetar akibat menangis.

"Rahsya itu kuat. Gue yakin pasti dia berhasil" ujar Adara pelan di telinga Nala agar gadis itu dapat tenang.

Tanpa mereka ketahui ada sosok laki-laki yang sedari tadi memperhatikan dua gadis itu. Siswa itu tampak tersenyum sangat tipis lalu menghela nafas lelah.

"Lo kuat dek. Adek Kakak pasti bisa!" Ucap Al dalam hati lalu bergegas menuju ke kelasnya ketika bel sudah berbunyi.

o0o

Karunasankara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang