Hari ini ruangan rawat Rahsya tampak ramai dengan canda tawa dari keempat remaja yang salah satunya tengah duduk bersandar pada brankar rumah sakit.
Satu hari Rahsya tidak berangkat sekolah membuat ketiga remaja itu merasa sangat rindu katanya. Terlalu lebay menurut Rahsya, tapi itulah persahabatan mereka. Jika sehari saja tidak bertemu, makan akan ada sesuatu yang kurang dalam diri mereka.
"Aduh Sya, sehari Lo gak masuk berasa kayak sayur tanpa garam gue." Ujar Irsyad lalu memeluk tubuh Rahsya yang masih nyaman bersandar.
"Lebay Lo, terus Lo anggap gue garam gitu?" Ketus Rahsya yang tidak terima dengan ucapan temannya.
"Ya elah bukan gitu kali, sensi banget dah." Balas Irsyad dengan memajukan sedikit bibirnya yang malah membuat ketiga remaja itu merasa jijik.
Hal itu justru membuat yang lain tertawa geli karena melihat Irsyad memonyongkan bibirnya seperti bebek.
"Gib, maaf ya" ujar Rahsya ketika sudah meredakan tawanya.
Gibran yang sedari tadi berdiri agak jauh dari jangkauan Rahsya lantas mendekat kemudian duduk di sebuah kursi yang baru saja ditempati Angga.
"Kenapa minta maaf?" Dengan tangan yang sudah terangkat mengusap kening Rahsya, Gibran bertanya sembari menggenggam tangan Rahsya.
"Lo pasti kena marah Kak Al." Jawab Rahsya dengan kepala yang menunduk dalam.
Namun tak ada suara yang membalasnya hingga beberapa saat. Dan sebuah pelukan erat menyadarkan anak itu lantas mendongak guna melihat siapa orang yang sudah mendekapnya.
"Lo gak perlu minta maaf dek, gue rela ngelakuin apapun buat Lo, biar Lo bisa seneng. Lo sahabat gue, adek gue" tak terasa setetes air jatuh dari pelupuk mata indah milik Rahsya dan langsung mengenai bahu tegap Gibran.
"Makasih kak, makasih dan maaf" jawab Rahsya setelah terlepas dari pelukan Gibran.
Keempat remaja itu masih saling melempar candaan setelah Rahsya dan Gibran menyelesaikan acara pelukannya. Hingga suara pintu terbuka mengalihkan atensi mereka.
Terlihat Ayah, Bunda, Al, dan Dokter Rafi masuk kedalam ruangan itu.
o0o
"Om, pulanggg" rengekan itu keluar dari mulut Rahsya ketika baru saja diperiksa oleh Dokter Rafi.
Rahsya itu sebenarnya penakut. Ia sangat takut dengan yang namanya jarum suntik, mungkin kalau dalam keadaan sadar. Kemarin ia tak akan mau untuk dipasangkan infus, juga tidak betah untuk berlama-lama di tempat ini meskipun ruangan ini VVIP karena pemilik rumah sakit itu adalah Opa nya sendiri.
"Jangan sekarang ya Sya, kamu masih butuh perawatan di sini." Tolak Dokter Rafi dengan sehalus mungkin.
Rahsya hanya menggelengkan kepala, bahkan kedua manik indah itu sudah berkaca-kaca. Kemudian Bunda mendekat dan membawa Rahsya ke dalam pelukannya.
Rahsya itu cengeng, ia sebenernya mudah menangis. ketiga sahabatnya pun sudah mengetahui semua yang ada dalam diri Rahsya.
"jelek banget Lo, kalo nangis dek." Sebuah suara mengalihkan atensi mereka untuk melihat siapa sosok yang berbicara itu. Dan ternyata Al pelakunya. Rahsya juga tidak menyadari kalau kakaknya itu berada di dalam kamar rawatnya.
"Gak malu sama temen-temennya tuh?" Al mulai menggoda adeknya. Karena baginya menjahili Rahsya adalah kegiatan yang menyenangkan bagi Al.
"Kakak!!" Bentak Rahsya namun masih dengan suara sesunggukan karena baru saja menangis dalam pelukan sang Bunda.
Sedangkan ketiga sahabatnya hanya tersenyum. Mereka sudah hafal dengan tingkah Rahsya. Kadar manjanya akan berkali-kali lipat saat sedang sakit. Dan mereka memakluminya karena Rahsya memang yang paling muda dari mereka, serta Rahsya adalah sosok yang harus dilindungi dan disayangi.
"Kakak udah jangan godain adeknya, lagi sakit juga." Ucap Ayah. Jika Ayah sudah turun tangan dipastikan Al langsung menurut dengan perintah Ayah.
o0o
Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya siang ini Rahsya sudah diperbolehkan pulang dengan catatan harus menuruti semua perintah sang Dokter.
"Ingat Rahsya, jangan kecapean, jangan banyak pikiran, terus jangan lupa makan yang teratur sama obatnya juga diminum. Oh ya satu lagi, jangan sekolah dulu sampai dua hari. Kalau kamu gak nurut, Ayah kamu akan langsung seret kamu kesini lagi." Perintah serta ancaman dari Dokter Rafi.
Sedangkan Rahsya, ia hanya menganggukkan kepalanya dengan malas karena mendengar nasehat dari Dokter yang sudah seperti amanat pembina upacara.
"Adek!" Bunda yang melihatnya merasa kesal sendiri dengan putranya itu karena tak membalas apapun ucapan dari Dokter Rafi.
"Iya, iya om. Rahsya bakal nurut semua apa yang om bilang." Ucap Rahsya yang sudah akan bangun dari duduknya.
"Pake kursi roda aja ya dek. Masih lemes gitu" ujar Ayah yang membantu Rahsya untuk berdiri.
"Gak mau Yah, nanti malah tambah lemes." Tolak Rahsya dengan kedua kaki yang sudah berdiri sempurna namun masih sempoyongan. Hingga beberapa detik kemudian tubuhnya limbung ke samping dan langsung ditangkap oleh Dokter Rafi yang kebetulan berada disampingnya.
Dengan atau tanpa persetujuan dari Rahsya, anak itu langsung didudukkan di atas kursi roda yang sudah tersedia. Lalu Ayah mendorong kursi roda tersebut meninggalkan ruangan serba putih yang sudah menjadi rumah kedua bagi Rahsya.
o0o