Siang nanti Rahsya akan mengikuti salah satu pengobatan yang sudah direncanakan beberapa Minggu lalu. Bagusnya kemoterapi itu akan dilaksanakan tiga hari yang lalu, namun karena ada kejadian itu semua rencana bagus ditunda dari jadwal aslinya.
Rahsya tengah duduk bersandar di atas ranjang rumah sakit dengan semangkok alpukat campur susu di pangkuannya. Tangan kanannya bergerak perlahan untuk menyuap sedikit demi sedikit buah itu ke dalam mulutnya.
Ayah menghela nafas ketika melihat cara makan anaknya yang sangat lambat. Sebenarnya pria itu sudah memaksa Rahsya agar mau untuk disuapi, tapi anak itu lebih banyak punya cara untuk menolak.
"Biar Ayah yang suapin dek" untuk kesekian kalinya pria itu mencoba membujuk anak bungsunya.
Rahsya menelan alpukat yang sudah dikunyahnya, lalu menatap sinis ke arah Ayahnya. "Adek punya tangan Yah".
"Ayah gak sabar liat kamu makan lama banget.
"Ya udah jangan diliatin, suruh siapa ngeliatin Rahsya" balas Rahsya dengan tatapan sengit.
"Untung anak gue" batin Ayah.
Beberapa menit hening menguasai ruangan itu hingga suara sendawa dari Rahsya membuat Ayah sedikit terkejut.
"Alhamdulillah, udah kenyang dek?" Tanya Ayah yang dibalas anggukan oleh Rahsya.
"Ayah".
Ayah yang baru saja menaruh bekas makan Rahsya di nakas itu langsung menoleh ketika di bungsu memanggilnya.
Rahsya masih terdiam dengan kedua tangan sibuk memilin selimut yang menutupi sebagian tubuhnya. "Sakit gak Yah?".
Ayah mengernyit bingung dengan pertanyaan ambigu dari Rahsya.
"Apanya dek?".
"Sakit gak kalo kemo?" Tanya Rahsya dengan kedua mata yang memandang lekat kedua iris pekat sang Ayah.
Kedua tangan Ayah meraih jemari Rahsya yang lebih kecil darinya lalu menggenggamnya erat. "Gak papa, kan ada Ayah, ada Bunda, ada Kakak".
"Kalau dibatalin aja gimana?" Ucap Rahsya dengan kepala tertunduk dalam.
"Adek takut" cicitnya pelan.
Sebelah tangan Ayah terangkat untuk mengelus kening Rahsya.
"hei katanya mau sembuh. Mau ya diobatin biar gak sakit lagi" balas Ayah dengan suara yang lembut agar si bungsu tidak merasa takut.
Seketika satu sisi kelopak mata Rahsya mengeluarkan setetes air mata yang langsung diusap Ayah perlahan.
"Kok nangis? Anak Ayah ini kan kuat" ucap Ayah lalu membawa tubuh kurus Rahsya ke dalam pelukannya. Pria itu juga mengusap pelan punggung Rahsya yang terlihat bergetar.
"Adek itu kuat, Ayah sayang adek" bisik Ayah di telinga adek.
o0o
"Pukul 13.00, Al beserta ketiga sahabat Rahsya sudah datang ke rumah sakit. Mereka sampai sekitar lima menit setelah kedatangan Bunda.
Hari ini sekolah dibubarkan lebih cepat karena akan ada dapat para guru beserta kepala sekolah. Sehingga mereka bisa lebih cepat datang ke rumah sakit untuk menemani Rahsya sebelum anak itu mengikuti prosedur pengobatan kemoterapi.
"Gib" Gibran yang sedang membalas satu pesan di gawainya itu langsung melihat Rahsya ketika merasa dirinya dipanggil.
"kenapa Sya?" Balas Gibran lalu mendekati Rahsya dan duduk di pinggiran brankar anak itu.
"Noah?" Tanya Rahsya.
Gibran menghela nafas sekali lalu kedua tangannya menggenggam erat jemari Rahsya yang terlihat lebih kurus. "Noah udah aman di penjara, jadi Lo gak perlu khawatir".
Rahsya mengedipkan kedua matanya dengan polos. "Gue kasian sama dia".
"Udah gak usah dipikirin. Inget nanti sore Lo mau kemo, gak usah macem-macem." Balas Gibran.
"Kalo lagi kemo gue gak kuat terus tiba-tiba meninggal gimana?" Ucap Rahsya polos.
"Ngaco Lo, udah sana istirahat. Ngelantur mulu dari tadi ngomongnya." Ujar Gibran yang sudah jengah dengan ucapan aneh Rahsya.
"Dek, makan buah dulu" ucap Bunda yang baru saja selesai memotong apel untuk dimakan Rahsya. Sedangkan Angga, Irsyad dan juga Al tengah asyik dengan game mereka.
"Gak mau Bunda" tolak Rahsya lirih.
"Dikit aja ya" bujuk Bunda lalu wanita itu duduk di kursi yang berada di samping ranjang Rahsya.
Gibran juga sudah beranjak untuk bergabung bersama tiga remaja yang terlihat sangat serius dengan game nya.
o0o
Sudah dua jam setelah Rahsya menjalani kemoterapi dan sekarang anak itu sedang memudahkan isi lambungnya yang tidak seberapa. Bahkan sejak selesai kemo tadi, anak itu belum memakan apapun namun perutnya terasa mual dan terus memuntahkan cairan putih dari lambungnya.
Dengan telaten sang Bunda memijat pelan tengkuk leher Rahsya. Serta Ayah yang menyangga tubuh anak itu agar tidak terjatuh, juga Al yang sejak tadi memegangi sebuah wadah stainless untuk tempat muntahan Rahsya.
Bunda juga mengoleskan minyak telon pada di dada dan perut Rahsya. Agar anak itu tidak terlalu merasa mual.
"S-sa-kitt" sebuah liquid bening turun dari kelopak mata Rahsya. Anak itu menangis karena sudah tidak kuat menahan rasa sakit yang menyerang seluruh tubuhnya. Bahkan sekarang Rahsya merasa sangat kedinginan. Hingga dirinya menggigil dengan tangan yang meremat jemari besar sang Ayah.
"Tidur aja ya biar sakitnya ilang." Ucap Bunda dengan tangan yang setia mengelus kening Rahsya. Sedangkan Al sedang membersihkan muntahan Rahsya tadi.
Rahsya terus menangis hingga dirinya merasakan sesak yang tiba-tiba datang dan membuat anak itu kepayahan untuk meraup oksigen.
"Hah...hah... Se-sak Bun-daa".
Al yang baru keluar dari kamar mandi dan melihat keadaan adeknya itu langsung berlari keluar untuk memanggil dokter Rafi serta Bunda bergegas memencet tombol yang ada di sisi brankar Rahsya.
Hingga tak lama dokter itu datang berserta kedua suster yang langsung memeriksa keadaan Rahsya. Salah satu suster itu langsung memasangkan alat bantu pernafasan untuk Rahsya agar anak itu tidak kesulitan bernafas.
"Rahsya tenang ya, jangan nangis nanti tambah sesak." Ujar Dokter Rafi lembut dengan mengelus dada Rahsya yang terlihat naik turun tak beraturan.
"Sa-kit sshhhh" ucap Rahsya pelan di balik masker oksigen yang dipakainya.
Bunda yang menyaksikan itu dari pojok ruangan menangis hiteris lalu dirinya dipeluk oleh Ayah agar wanita itu tidak melihat kondisi kacau si bungsu. Bahkan Al juga ikut meneteskan air mata namun dirinya mencoba terlihat baik-baik saja.
"Ya Allah sembuhkanlah anakku." Batin Ayah, lalu membawa tubuh Bergetar Al kedalam pelukannya.
o0o