14

616 61 3
                                    

Sesosok pria berbaju hitam polos terlihat duduk di atas sofa empuk di dalam sebuah ruangan yang sangat hening. Di depannya, pemuda seusia sekolah menengah atas juga terlihat tengah menikmati keheningan yang mereka ciptakan. Hingga salah satu dari mereka membuka suara untuk memecah keheningan itu.

"Sejauh mana kamu tau tentang anak itu?" Tanya pria yang lebih tua.

"Anak itu penyakitan, buta warna. Tapi aku heran, gak ada satupun yang gak sayang sama dia." Balas pemuda itu.

"Kamu sendiri masih betah Deket-deket sama dia?" Ujar pria paruh baya itu dengan senyuman smirk diakhir kalimatnya.

"Aku cuma nurutin apa kata Om. Kalau gak karena om, mana mau aku deket-deket sama dia. Apalagi tekenan" balas pemuda itu dengan raut wajah yang menahan amarah.

Seketika suara tawa menggema dalam ruangan itu. Pelakunya yang tak lain adalah sosok pria berbaju hitam dengan puntung rokok yang tetapit di kedua jari tangannya.

"Keponakan om ini emang berbakat kalau disuruh akting. Kamu pengen jadi aktor?"  Tanya pria itu itu dengan tersenyum meledek.

"au ah, aku mau ke kamar." Balas pemuda itu lalu pergi meninggalkan om nya itu.

Selepas kepergian remaja laki-laki itu, sosok pria tersebut tersenyum dengan senyuman yang sulit diartikan. Kemudian tangannya terangkat mengambil sebuah benda pipih dan mengetikkan sesuatu pada handphone canggihnya.

o0o

Sore ini, Rahsya sudah diperbolehkan untuk pulang. Tentunya dengan segala peraturan yang sudah ditetapkan oleh Dokter Rafi. Apalagi dirinya akan menjalani pengobatan kemoterapi dua Minggu lagi. Tentunya penjagaan terhadap anak itu harus lebih ketat.

Di sepanjang perjalanan pulang dari rumah sakit, Rahsya terlihat hanya diam dengan pandangan kosong yang mengarah ke luar jendela samping kirinya. Ia bahkan hanya menjawab singkat ketika Bunda bertanya apakah dirinya lapar atau tidak.

"kenapa?" Tanya Al saat mobil mewah itu sudah melaju dengan kecepatan sedang.

"Gak papa" balas Rahsya singkat.

"Pusing?" Pertanyaan itu hanya dijawab dengan gelengan pelan dari Rahsya.

"Adek tidur aja. Nanti kalau udah sampe, Bunda bangunin" ucap Bunda tangannya sambil mendekap tubuh Rahsya agar dapat bersandar pada tubuhnya.

Bunda tau Rahsya pasti sedang memikirkan tentang kemoterapi yang akan dijalaninya. Bunda juga mengerti pasti Rahsya tengah merasa takut dengan pengobatan itu.

Sebagai seorang ibu, sebenarnya ia tidak tega dengan bungsunya yang harus berperang melawan penyakit yang tidak pernah tau bagaimana sakitnya sel kanker itu menggerogoti tubuh anaknya secara perlahan. Bahkan ia juga tidak paham bagaimana caranya dan tidak menyakiti bungsunya lagi.

Tak lama, mobil itu memasuki sebuah perkarangan rumah megah yang di dalamnya sudah berjejer para asisten rumah tangga pemilik kediaman itu.   Ayah yang baru pulang dari kantor juga terlihat keluar dari rumah untuk menyambut kedatangan mereka.

Sebenarnya pria itu memaksa untuk ikut menjemput Rahsya. Namun, Rahsya melarangnya karena ia tau jika sore ini Ayahnya itu akan ada pertemuan penting dengan rekan bisnisnya.

"Adek kenapa?" Pertanyaan itu muncul dari kedua belah bibir Ayah ketika ia melihat anak bungsunya tengah terpejam erat.

"Adek cuma tidur Yah. Gak usah dibangunin ya, biar kakak yang gendong." Balas pemuda itu lalu mengangkat tubuh adeknya yang perlahan semakin kurus.

Ayah mengangguk lalu ikut memasuki rumah dengan tangan yang menggandeng istri tercintanya. Ia juga menyuruh semua asisten rumah tangganya untuk kembali bekerja.

o0o

"Dek, bangun." Sepuluh menit lagi adzan Maghrib akan berkumandang. Rahsya yang dari tadi tertidur belum juga bangun. Hingga Al memutuskan untuk membangunkan adeknya itu.

"eughhhh" anak itu terlihat bergeliat sembari kedua kelopaknya mulai terbuka. Hak pertama yang ia lihat adalah langit-langit ruangan kamarnya. Ia mengernyit bingung, Al yang mengerti pun lantas menjelaskan kepada adeknya mengapa anak itu bisa ada di kamarnya.

"Lo kan tadi ketiduran di mobil. Gue gak enak banguninnya, jadi gue bawa aja ke kamar." Ujar Al lalu Rahsya hanya menguap lebar seraya mengangguk bingung.

"Udah sana wudhu dulu, bentar lagi adzan Maghrib. Gak usah mandi!!" Sambung Al tersenyum jahil lalu menyempatkan diri untuk mencubit kedua pipi tirus milik adiknya.

"Kakak!!" Pekikan itu tak dihiraukan oleh Al karena sosok itu telah berlari keluar dari kamar adeknya.

Dengan perlahan Rahsya turun dari kasurnya, lalu anak itu berjalan ke arah kamar mandi untuk sekedar berwudhu. Ia juga tidak memiliki niat untuk mandi karena dingin katanya.

Seusai melaksanakan ibadahnya, Al bergegas turun ke bawah untuk menuju ruang makan yang pasti sudah dipenuhi oleh seluruh anggota keluarganya.

"Ayah Bunda" panggil Rahsya yang langsung mengundang tatapan tanya dari ketiga orang di ruangan itu.

"Iya dek, kenapa?" Balas Ayah dengan tatapan yang mulai khawatir.

Rahsya terlihat meremat ujung celana pendeknya di bawah meja. Ia juga menggigit bibir bagian bawahnya.    "Besok Adek mau sekolah".

"Kamu makan dulu ya, kan udah waktunya minum obat." Bunda langsung membalasnya dengan mengalihkan pembicaraan.

Ayah dan Bunda sebenarnya memiliki rencana untuk menghentikan Rahsya dari kegiatan sekolah formal. Mereka hanya tak ingin terjadi sesuatu buruk yang menimpa anak itu mengingat kondisi Rahsya yang semakin hari semakin menurun.

Meskipun ada Al yang bersekolah di tempat yang sama, namun kedua orang tua itu masih tetap mengkhawatirkan si bungsu. Terlebih Al dan Rahsya tidak seangkatan maupun satu kelas. Jadi tidak mungkin kan Al dapat memantau Rahsya selama berjam-jam di sekolah?

Lalu Rahsya mengangguk dan mulai menyendokkan sedikit nasi dengan sayur berwarna Oren kemudian menyuapkannya. Bukan rasa asin atau gurih yang ia dapatkan melainkan hambar yang mendominasi di dalam mulutnya.

Mati-matian ia berusaha untuk menelan makanan itu dan menyuapkannya lagi hingga piring itu tersisa setengah.

"Ini di minum obatnya" Bunda menyodorkan sebuah piring kecil yang berisi beberapa butiran obat untuk menopang hidup Rahsya. Ia sungguh tak tega bisa harus melihat anaknya tumbuh dengan obat yang menemaninya sepanjang hari.

Namun keadaan memaksanya untuk menerima semua kehendak yang sudah direncanakan-Nya.

"Dek" panggil Ayah saat Rahsya sudah mengabiskan seluruh obatnya.

"Iya Ayah".

"Adek home schooling aja ya?".

o0o

Karunasankara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang