27

596 65 4
                                    

Beberapa jam lagi Rahsya akan dibawa masuk ke dalam ruang operasi. Kini anak itu tengah duduk bersandar pada kepala brankar rumah sakit dengan ditemani oleh kakaknya.

Al sengaja tidak berangkat sekolah dan menitipkan surat izinnya kepada Rey. Ia tak mungkin tenang ketika di sekolah saat adeknya akan berjuang sendiri di ruang operasi.

"Kak" panggil Rahsya pelan.

Al langsung menatap kedua mata adeknya yang terlihat lebih sayu. "Iya kenapa dek?".

Tangan Al bergerak untuk menggenggam telapak tangan Rahsya yang terasa dingin.

"Takut" cicit Rahsya pelan bahkan hampir seperti bisikan.

Raut wajah Al seketika berubah menjadi lebih khawatir. "Takut apa? Kan ada kakak, ada Bunda, ada Ayah".

Rahsya menggeleng pelan lalu kedua telapak tangan meremat udara untuk melampiaskan rasa takut yang tiba-tiba datang.

"Adek sayang sama Kakak" ujar Rahsya yang membuat dahi Al mengernyit. Adeknya itu jarang sekali bahkan tidak pernah terang-terangan mengatakan bahwa ia menyayangi Al. Dan sekarang anak mengatakan sesuatu yang membuat Al semakin dilanda ketakutan.

"kakak juga sayang sama adek. Sekarang istirahat lagi ya dek, nanti kakak bangunin kalo om Rafi udah dateng." Balas Al lalu menyelimuti adeknya hingga sebatas dada.

Al senantiasa mengelus pelan kening adeknya yang terasa hangat, berbeda jauh dengan telapak tangan Rahsya yang sangat dingin. Mungkin memang adeknya tengah ketakutan, begitupun dengan dirinya. Al takut jika Operasi itu gagal dan adeknya tidak mau berjuang lagi. Al hanya takut kehilangan.

Lalu Al mencium kening Rahsya cukup lama dan membisikkan sesuatu pada telinga Rahsya. "Kakak sayang banget sama adek. Adek pasti bisa!".

o0o

Kedua tangan Gibran terlihat sedang meremat satu sama lain. Bibir tipis anak itu juga tengah berkomat-kamit tidak jelas dengan sesekali mengecek ponselnya.

Ia bersama kedua temannya kini sedang berada di kantin sekolah setelah mengikuti ulangan dadakan matematika.

Mereka memang termasuk siswa yang pintar, namun untuk saat ini predikat tersebut tidak tersemat dalam diri mereka. Karena tadi ketiga siswa itu mengerjakan dengan asal-asalan bahkan hampir mengarang.

Penyebabnya tidak lain adalah Rahsya. Ketiga remaja itu masih memikirkan tentang anak itu yang sekarang masih berjuang di ruang operasi. Mereka ingin membolos lalu datang ke rumah sakit untuk menemani keluarga Rahsya yang tengah menunggu kepastian kondisi anak itu. Namun bukan itu jalan satu-satunya sebagai sahabat. Rahsya pasti tidak akan suka jika teman-temannya membolos karena dirinya.

Kak, Rahsya gimana?
Udah selesai operasinya?

Sedari tadi Gibran menatap layar ponselnya yang masih tetap menampilkan hal yang sama. Tidak ada balasan dari Al dan itu cukup membuat ketiga siswa itu mengerang frustasi.

"Rahsya..." Gumam Gibran pelan namun masih bisa didengar oleh kedua temannya.

"Pesan makan aja gih, gue tau Lo pasti laper." Ujar Angga.

Gibran menggeleng pelan dengan fokus yang masih setia kepada layar ponselnya.

"Kalian aja, gue gak laper." Tolak remaja itu.

"Gak masalah. Tapi nanti kalo maag Lo kambuh, kita tinggal dan gak bakal ngajak Lo ke rumah sakit jenguk Rahsya." Balas Angga lalu berjalan ke salah satu stand makanan seorang diri.

"jadi makan gak?" Tanya Irsyad yang akan menyusul Angga.

"Lo udah tau jawabannya." Jawab Gibran tanpa menatap temannya itu.

Irsyad tersenyum lalu cowok itu sedikit berlari menuju tempat Angga memesan makanan.

o0o

Senyum Al masih terus terpatri di wajah tampan itu setelah mendengar penjelasan dari dokter Rafi satu jam yang lalu. Proses operasi itu berjalan lancar, namun kondisi Rahsya masih harus tetap dipantau sehingga anak itu ditempatkan di ICU.

Laki-laki itu menepuk jidatnya pelan ketika telah mengingat sesuatu. Dirinya lupa tidak memberitahu kepada teman-teman Rahsya perihal kondisi anak itu. Lalu tangannya bergerak untuk mengambil ponsel dari saku celananya.

Gibran temennya adek.
Kak, Rahsya gimana?
Udah selesai operasinya?
Kak.
Kak Al.
Gimana?
Lancar?
Woiiiii!! Bales!!!

Al tersenyum melihat beberapa pesan dari orang yang sama. Ia merasa sangat senang karena banyak sekali yang menyayangi adek kesayangannya.

Udah.
Tapi lagi di ICU.

Alhamdulillah.
Kok di ICU?

Masih harus dipantau terus sama dokter.

Okee.
Otw gueee.

Laki-laki itu tidak membalas lagi pesan dari Gibran. Ia berdiri dan mengintip sosok Rahsya yang masih berada di dalam ruang ICU melalui jendela kaca. Kondisi anak itu masih belum stabil sehingga orang lain tidak diperbolehkan masuk kecuali dokter dan perawat rumah sakit.

o0o

Gibran berserta keempat temannya sampai di rumah sakit sekitar pukul 15.20 WIB. Ketika akan menuju parkiran sekolah, mereka berpapasan dengan Nala dan Adara. Jadilah kedua gadis itu ikut ke rumah sakit untuk melihat kondisi Rahsya.

"Bunda, om" Gibran terlebih dahulu mencium tangan Bunda dan Ayah yang masih duduk di luar ruang ICU. Lalu diikuti oleh keempat temannya.

"Maaf ya, Rahsya nya belum boleh dijenguk kata dokter." Ujar Bunda menatap satu persatu teman putranya itu.

"Gak papa Bunda. Oh iya, gimana operasinya?" Balas Gibran.

"lancar, tapi kata dokter masih ada kemungkinan buruk yang akan menimpa Rahsya akibat pembedahan itu dan salah satunya adalah amnesia." Jawab Ayah dengan suara yang lirih di akhir kalimatnya.

Kelima remaja itu terkejut mendengar penuturan dari Ayah. Bagaimana jika kemungkinan itu benar terjadi? Apakah Rahsya akan melupakan semua kenangan yang sudah terekam bersama mereka?

"Itu baru perkiraan dokter. Kita berdoa saja semoga semua itu tidak terjadi." Imbuh Ayah dengan merangkul dan mengusap-usap bahu istrinya.

"Semoga gak akan om. Angga yakin Rahsya gak akan amnesia" balas cowok itu.

"Kapan Dateng?" Ujar Al cepat ketika sudah menginjakkan kakinya di depan ruangan Rahsya.

"Lumayan tadi, Lo dari mana kak?" Balas Gibran.

"Abis cari angin" jawab Al singkat lalu memberikan sebuah minuman kepada sang Bunda.

"Eh sorry, gue cuma beli satu buat Bunda. Gue gak tau kalian udah dateng" ucap Al merasa sungkan dengan teman-teman Rahsya.

"Gak papa kali. Santai aja" balas Gibran yang diangguki oleh keempat temannya.

"gue kesana dulu ya" pamit Nala lalu anak itu mencoba melihat dari jendela kaca. Di dalam ruangan itu terdapat seseorang yang selama ini diam-diam ia sayangi. Jemari lentik gadis itu menyentuh kaca transparan itu seakan-akan ingin menggapai Rahsya namun tak mampu.

"Cepet bangun ya Sya, gue sayang sama Lo" ucap Nala pelan yang ternyata hal itu tidak sengaja terdengar oleh Gibran.

o0o

Karunasankara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang