Di ruangan serba putih, seorang remaja terbaring dengan mata terpejam erat. Bahkan suara seorang wanita berhijab yang sejak tadi memanggil namanya tak ia hiraukan.
Satu hal yang membuat wanita cantik itu kecewa dengan putra bungsunya. Ingkar janji, Rahsya yang sudah berjanji dengan Bunda, Ayah juga dengan Al untuk tidak bermain basket lagi. Kalau saja keadaannya tidak seperti ini, mungkin Ayah dan juga Bunda telah marah besar pada Rahsya.
"Adek udah bangun?" Tanya Bunda yang hanya dibalas Rahsya dengan genggaman pada jemari Bunda.
Lalu, ketiga orang itu bergerak mundur ketika seorang dokter berserta suster datang untuk memeriksa Keadaan Rahsya.
"Nafas kamu masih sesak. Jadi harus pakai nassal canula dulu, jangan banyak pikiran ya Sya." Ucap Dokter Rafi seraya mengacak lembut rambut Rahsya. Dokter spesialis penyakit dalam itu merupakan sahabat Ayah semasa kuliah. Tiga tahun yang lalu, anak laki-lakinya juga mengidap penyakit yang sama dengan Rahsya namun berakhir pergi. Dan sekarang, ia bertekad untuk dapat menyembuhkan Rahsya bagaimanapun caranya.
"Iya Om." Balas Rahsya sangat pelan bahkan hampir seperti bisikan.
Setelah Dokter Rafi pergi, lalu Bunda maju terlebih dahulu menghampiri Rahsya yang tengah tersenyum kepadanya.
"Adek, suka banget bikin Bunda khawatir." Ucap Bunda lalu mencium kening Rahsya yang hangat.
"Maaf" jawab Rahsya pelan. Aku ia memalingkan wajahnya ketika Al berdiri disebelah Bunda.
"Dek." Panggil Al lembut lalu memegang tangan Rahsya yang langsung ditepis oleh sang empu meskipun dengan lemah.
"pergi!" Ucap Rahsya datar tanpa mengalihkan pandanganya untuk menatap Al.
"Dek, kakak mau minta maaf." Saat dirasa kedua putranya memerlukan waktu sendiri, Bunda dan Ayah beranjak dan memilih duduk di sofa yang berada di pojok ruangan.
"Pergi!" Tolak Rahsya sekali lagi dengan kilatan tajam mengarah pada kakaknya.
"Dek, tolong maafin kakak." Ucap Al mencoba menggenggam tangan adeknya namun segera ditepis oleh Rahsya.
"Pergi! Pergi! Kakak jahat! Pergi!!" Balas Rahsya yang sudah mulai memberontak, Bunda dan Ayah langsung menghampiri dan menenangkannya.
"Dek, hei ssstttt tenang yah. Kakak udah pergi, ini Bunda sayang" ujar Bunda lalu mendekap tubuh bergetar Rahsya dan Al sudah beranjak keluar dengan sang Ayah.
"Bu-bundaa." Balas Rahsya dengan suara bergetar.
"Iya ini Bunda. Adek istirahat aja yah, Bunda ada disini sama Adek." Ucap Bunda sambil membaringkan kembali tubuh lemas Rahsya.
o0o
"Ayah, maaf. Maafin Kakak" kedua laki-laki beda usia itu tengah duduk disebuah kursi panjang depan ruang rawat Rahsya.
Ayah hanya membalasnya dengan helaan nafas kasar. Lalu membawa tubuh putra sulungnya kedalam pelukannya.
"Gak perlu minta maaf sama Ayah, yang penting kakak bisa dimaafin sama adek. Kakak ingetkan kata Dokter Rafi?"
"Penderita kanker biasanya cenderung lebih sensitif. Ia akan mudah tersinggung. Maka dari itu kita harus membuat dia merasa senyaman mungkin dan juga jangan sampai dia memikirkan hal yang tidak-tidak".
Al ingat, ia ingat betul ucapan dari Dokter Rafi. Namun kekhawatirannya malah membuat adeknya tertekan dengan segala sifat overprotektive nya.
o0o
"Dek, makan dulu." Bunda berucap setelah melihat Rahsya hendak memejamkan mata.
Lalu anak itu hanya menggelengkan kepala tanda ia tak ingin menyuapkan makanan itu ke dalam mulutnya.
Bunda hanya menghela nafas kasar, ia meletakan kembali mangkuk berisi bubur itu. Kemudian tangannya terangkat mengusap dahi sang putra yang penuh keringat.
"Maaf" ucapan singkat itu keluar dari mulut mungil Rahsya dengan pandangan sayu menatap sang Bunda.
"Gak usah minta maaf dek, Bunda cuma mau adek makan. Habis itu minum obatnya," wanita itu masih setia mengelus kening putranya. Mengusap keringat yang terus menerus keluar dari kulit pucat Rahsya.
"Maaf kakak." Bukan pertanyaan Bunda yang ia jawab, justru permintaan maaf kepada kakaknya yang sekarang tidak berada di ruangan itu.
Lalu Bunda menggenggam jemari Rahsya dengan sangat erat. "Adek mau ketemu Kakak?" Tanya Bunda yang langsung dibalas anggukan oleh Rahsya.
"iya, abis ini kakak bakal ke sini. Tapi adek makan dulu ya" Bunda masih berusaha untuk membujuk.
"Gak ma--".
"Kakak disini dek".
Balasan Rahsya untuk Bunda langsung terpotong oleh ucapan Al yang baru saja membuka pintu diikuti oleh Ayah.
Ketika Al dan Ayah hendak membuka pintu, mereka mendengar suara si bungsu yang menolak untuk makan dan malah menginginkan untuk bertemu kakaknya. Tanpa pikir panjang, keduanya itu masuk ke dalam ruangan tempat dimana Rahsya dirawat.
o0o
"Maaf" ucap Rahsya dengan kedua tangan memilin ujung selimut yang menutupi sebagian tubuhnya dan pandangan ke arah benda itu.
Kemudian Al duduk di pinggiran brankar dan membawa kedua tangan Rahsya untuk digenggamnya.
"justru Kakak yang harusnya minta maaf. Kakak udah gagal jaga adek, maaf. Kakak benar-benar minta maaf." Genggaman itu semakin erat dirasakan oleh Rahsya dan setelahnya ia merasakan matanya panas seperti akan ada cairan bening yang keluar.
"Hei kok nangis sih, kenapa dek? Ada yang sakit?" Tanya Al bertubi-tubi dengan tangan yang bergerak mengusap air mata adeknya.
Rahsya hanya menggelengkan kepala lalu tangannya membalas genggaman Al dengan seulas senyum tersemat di bibir pucatnya.
"Maaf" ucap Rahsya sekali lagi lalu katanya mengerjap polos. Kemudian tubuhnya dibawa Al ke dalam pelukan hangatnya.
Bunda dan Ayah yang melihat interaksi kedua anaknya itu tersenyum hangat. Mereka selalu bersyukur memiliki dua jagoan yang saling menyayangi. Al dengan sifat tegas namun lembut dan Rahsya terkesan cuek tetapi selalu dapat menghangatkan suasana.
"Ya udah sekarang adek makan dulu ya, kan udah ada kakak." Suara Bunda mengalihkan kedua remaja itu dari keheningan yang baru saja terjadi.
"besok Adek gak mau makan bubur. Rumah sakit gak pernah punya garam" tutur Rahsya dengan membenarkan letak nassal canula yang sedikit bergeser akibat pelukannya dengan Al.
"Terus mau makan apa jagoan?" Ucap Ayah yang sedari tadi diam sambil menghampiri putra bungsunya dan mencium gemas pipi Rahsya.
"Pizza." Balas Rahsya semangat dengan menampilkan deretan gigi putihnya.
Ayah, Bunda dan Al hanya menggelengkan kepala lalu Al tersenyum jahil dan kedua tangannya terangkat untuk menggelitiki perut remaja enam belas tahun itu.
o0o