24

579 62 3
                                    

Al tidak melunturkan senyumnya semenjak dokter Rafi mengatakan jika Rahsya sudah sadar. Ia bahkan tak beranjak sedikitpun dari kursi yang berada di samping brankar Rahsya setelah anak itu terbangun.

Sesekali Al menceritakan hal-hal yang terjadi selama adeknya masih koma.

Ting.

Bunyi nada dering pesan yang masuk ke ponsel Al membuat anak itu harus mengalihkan pandanganya dari wajah pucat Rahsya. Namun tangannya yang bebas dari ponsel tetap ia gunakan untuk mengelus puncak kepala adeknya.

Gibran temennya adek.
Kak.
Gimana? Udah ada perkembangan dari Rahsya?
Sorry, pulang sekolah tadi kita lagi nugas, jadi gak bisa ke RS.

Al menepuk jidatnya sendiri ketika membaca pesan dari teman adeknya. Bahkan ia sampai lupa untuk memberitahu teman-teman Rahsya perihal kondisi anak itu.

Rahsya yang melihat kakaknya itu lalu mencoba mengucapkan sesuatu.

"Ke-na-pa kak?"

Al langsung menoleh ketika suara itu terdengar oleh indranya. Lalu senyumnya terbit. "Kakak lupa belum ngasih tau temen-temen adek".

Rahsya hanya mengangguk kecil. Ia tidak melakukan hal-hal berat namun entah mengapa tubuhnya terasa sangat lelah dan lemas.

Sorry gue lupa.
Adek gue udah bangun.

Al membalas pesan itu secara cepat, lalu meletakkan ponsel hitamnya di atas nakas. Ia kembali memerhatikan adiknya yang semakin lama terlihat kurus.

Jemari yang tengah ia genggam juga terasa semakin kecil dan kurus.

Al tersenyum getir dengan pandangan yang fokus terhadap jemari mungil Rahsya. "Dek".

Rahsya memandang lekat kedua mata kakaknya yang saat ini sedang memperhatikannya.

"Jangan tidur lama-lama lagi ya, kakak kesepian".

"Ma-af" suara pelan Rahsya membuat Al lagi-lagi harus mendekatkan telinganya ke lisan anak itu.

"Gak papa, adek gak salah".

Ceklek.

Tepat setelah Al menyelesaikan ucapannya, Bunda dan Ayah masuk ke dalam ruangan itu dengan sebuah kantong plastik di tangan Ayah.

"sayang" Bunda yang pertama kali menghampiri Rahsya dan langsung mencium kening hangat anaknya.

Rahsya hanya tersenyum, ia melihat sendiri kedua mata wanita itu yang membengkak akibat terlalu banyak menangis.

"Kakak makan dulu gih!" Ujar Ayah seraya memberikan sebuah sekotak nasi kepada putra sulungnya.

"Makasih Yah" jawab Al dengan menerima makanan itu lalu menyempatkan diri untuk mengacak rambut hitam Rahsya yang langsung mendapat pekikan dari anak itu meskipun dengan suara lirih.

Bunda menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah putra sulungnya yang suka sekali menjahili si bungsu. Lalu wanita itu beralih menatap wajah pucat Rahsya yang sedang cemberut akibat ulah si sulung.

"Adek makan dulu ya, Bunda suapin" ucap Bunda kemudian tangannya bergerak untuk mengambil semangkuk bubur hambar dengan topping sayuran di atasnya.

Si bungsu menggeleng pelan. "Mual".

Bunda menghela nafas lelah mengembalikan makanan itu ke atas nakas. Kedua tangannya menggenggam tangan Rahsya yang hangat.

"kan adek belum makan. Tuh liat, kakak aja makannya lahap banget".

Rahsya memperhatikan sebentar kakaknya yang sedang menikmati santapannya itu. Namun selera makannya memang sedang turun drastis.

"Atau Ayah aja yang suapin?" Ujar pria itu yang sedari tadi diam.

Tangan kekar pria itu mengambil mangkok tadi dan menyendoknya sedikit lalu menyuapkan pada Rahsya.

Anak itu membuka mulutnya dan merasakan makanan lembek itu yang terasa aneh di mulutnya.

Sudah tiga suapan anak itu terima namun di suapan yang keempat ini dirinya merasa makanan itu akan keluar dari mulutnya.

Hoekkk.

"Adekkk!!!".

o0o

Pagi ini Gibran terlihat sumringah dengan raut bahagia yang tercetak di wajah tampannya. Bagaimana tidak, siang nanti anak itu akan menemui sosok yang sehari-hari menghilang.

Dirinya memasuki kelas yang sudah hampir penuh dengan warganya itu.

"gak panas" Irsyad menggumam pelan setelah menempelkan punggung tangannya di kening Gibran.

Angga mengangkat bahunya acuh ketika Irsyad memandangnya dengan tatapan bertanya.

"Gib, Lo waras kan?" Tanya Irsyad bingung karena sedari tadi Gibran hanya tersenyum tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun.

"Ha?" Gibran mengernyit saat mendengar pertanyaan aneh dari temannya.

"Lo sehat kan? Waras kan? Gak gila?" Tepat setelah Irsyad menyelesaikan ucapannya, sebuah hantaman dari buku biologi yang cukup tebal mendarat di lengannya.

"Enak aja Lo kalo ngomong".

Irsyad memutar kedua bola matanya malas. "Ya terus Lo kenapa?".

"Ehhh, emang kalian belum tau?" Balas Gibran dengan pertanyaan.

Kedua remaja itu hanya menggeleng.

"Rahsya udah sadar, dia udah bangun guys".

"Ha?".

Gibran hanya mengangguk lalu menyengir kuda. Dirinya memang lupa untuk memberitahu mereka perihal kondisi Rahsya. Jadilah saat ini kedua makhluk itu tengah menatapnya dengan tatapan tajam.

Gibran menelan ludahnya dengan susah payah. Ia hanya bisa tersenyum sipit untuk dapat membuat kedua temannya jinak kembali.

"Syad, kayaknya ada perlu dikasih pelajaran nih." Ujar Angga dengan melirik sekilas muka tak berdosa Gibran.

"Langsung aja!" Timpal Irsyad dengan kedua tangan yang siap mengacak-acak tubuh Gibran.

"Selamat pagi anak-anak!" Hampir saja tangan Irsyad akan mendarat di atas kepala Gibran, seorang guru wanita berambut pendek sudah masuk ke dalam kelas itu. Gibran mengelus dadanya pelan.

"Selamet selamet" ucap batinnya.

o0o

Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Namun ketiga remaja itu masih sibuk memasukkan buku-buku pelajarannya ke dalam tas. Kebiasaan dari dulu mereka selalu pulang lebih akhir dari murid yang lain karena tidak ingin berdesakan di koridor sekolah.

"Gib" seorang gadis dengan rambut dikuncir kuda menghampiri Gibran yang sudah akan berdiri dari duduknya.

"Iya La?".

Gadis itu Nala. Tadi pagi dirinya tak sengaja mendengar percakapan ketiga cowok itu tentang Rahsya yang sudah bangun dari koma.

"emmm, Lo mau ke tempat Rahsya?" Tanya gadis itu dengan kedua tangan yang meremat ujung roknya.

"Iya kenapa? Lo mah ikut?" Balas Gibran yang langsung mendapat senyuman dari Nala.

"Boleh?".

"Bolehlah. Ayo kalo mau ikut tapi Lo sendiri?" Tanya Gibran memastikan.

"Enggak. Gue ngajak Adara tuh" balas Nala dengan menunjuk temannya yang sedang duduk di bangku depan.

Gibran mengangguk lalu berjalan keluar kelas diikuti keempat remaja itu. Kebetulan hari ini hanya Gibran yang membawa mobil, jadi mereka bisa ke rumah sakit dengan menaiki kendaraan itu.

o0o

Karunasankara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang