23

580 67 3
                                    

Bel masuk sekolah sesudah berbunyi sekitar lima menit yang lalu. Namun ketiga remaja berseragam SMA itu masih betah duduk terdiam di atas rumput yang berada di taman belakang. Lebih tepatnya melamun, pandangan ketiga siswa itu juga terlihat kosong seperti tak ada nyawa disana.

Semua itu tidak lain karena Rahsya. Remaja laki-laki terkuat diantara mereka. Sosok itu seakan selalu memberi warna untuk orang-orang terdekatnya. Tapi sekarang sosok itu masih berjuang dengan peralatan medis yang hanya bisa membantunya bertahan.

Dua hari yang lalu Rahsya berhasil bangun setelah malamnya anak itu pingsan dan dilarikan ke rumah sakit.

Awalnya anak itu terlihat baik-baik saja sampai siang. Namun ketika jarum jam menunjukkan angka jam 1 siang, anak itu mengalami kenaikan suhu tubuh hingga berakhir kejang-kejang serta mimisan.

Tentu saja hal itu membuat Bunda dan Ayah yang sedang menjaganya kalut. Kedua orang itu memanggil dokter Rafi serta para perawat untuk menolong anak mereka.

Lalu tak lama dokter beserta dua perawat itu masuk ke dalam ruangan Rahsya. Dan mereka juga meminta keluarga pasien agar keluar dari ruang rawat.

"Yah, adek?" Sedari tadi Bunda tak berhenti menangis dengan menggumamkan nama si bungsu.

"Adek kuat Bun, dia pasti bertahan" ucap Ayah lalu membawa tubuh wanita itu kedalam pelukannya.

Setelah kurang lebih satu jam, dokter Rafi nampak keluar dari ruang rawat dengan wajah lelah. Ia menatap satu persatu kedua orang tua pasiennya lalu tersenyum sendu.

"Rahsya koma. Dia masih ingin istirahat dulu, untuk lebih lengkapnya mari ke ruangan saya" ucap dokter Rafi setelah mendapat anggukan dari Ayah dan Bunda.

"Sel kankernya tumbuh semakin besar dan jalan satu-satunya adalah operasi. Tapi kita harus menunggu Rahsya sadar dan kondisinya membaik. Kalau begini, gue gak bisa jamin operasinya bakal berhasil." Ucap dokter Rafi menatap sendu sahabatnya.

Sepasang suami istri itu hanya bisa terdiam mendengar penjelasan dari dokter yang menangani anaknya. Ada sesak yang menjalar di dada mereka kala mendengar penuturan tentang kondisi Rahsya.

Tidak ada yang bisa dilakukan selain menunggu keajaiban datang berupa terbukanya kembali mata indah Rahsya. Dan satu-satunya yang dapat mereka lakukan adalah berdoa.

o0o

"Udah bel dari tadi kok pada gak masuk?" Al baru saja meminjam buku dari perpustakaan dan kedua netranya tidak sengaja menangkap tiga remaja laki-laki yang tengah duduk melamun di taman sekolah. Langsung saja remaja itu menghampiri ketika teman adeknya.

"Kak Al?" Gibran terkejut dengan suara Al yang tiba-tiba terdengar indranya.

"Kenapa?" Tanya Al.

"Rahsya.... Udah bangun?" Balas Gibran lalu menundukkan kepala untuk menyembunyikan kedua matanya yang sudah terlapisi cairan bening.

Al menggeleng lalu ikut duduk di samping Gibran. Masa bodoh dengan mata pelajaran yang saat ini sedang berlangsung.

"Gue tau kalian pasti khawatir sama Rahsya. Tapi gue mohon jangan kaya gini, adek gue pasti gak suka kalo tau kalian kayak gini. Gue tebak pasti kalian bolos kan?" Ujar Al memandang satu persatu teman Rahsya.

Ketiga remaja di hadapannya hanya mengangguk lesu. Mereka sama sekali tidak ingin masuk ke dalam kelas, apalagi mengikuti pelajaran. Pikiran mereka hanya dipenuhi dengan Rahsya.

"Masuk gih! Doain aja biar Rahsya cepet bangun." Ucap Al lalu menepuk pelan bahu Gibran sebelum melangkahkan kakinya meninggalkan tiga teman adeknya itu.

Kemudian Gibran bangkit lebih dulu dan mengajak kedua temannya untuk masuk ke dalam kelas yang pastinya sudah ada guru mata pelajaran.

o0o

Kabar tentang kondisi Rahsya sudah menyebar di kelas bahkan hampir satu sekolah mengetahuinya. Tak jarang dari mereka banyak yang menanyakan tentang perkembangan Rahsya kepada Gibran, Irsyad dan juga Angga.

Ketiga siswa itu masih duduk menunggu pesanan mereka di kantin. Sebenarnya Gibran menolak untuk diajak ke kantin, namun karena paksaan Irsyad akhirnya anak itu luluh juga.

"Gibran" ada seorang gadis yang memanggilnya. Gadis itu terlihat bingung dengan kedua tangan yang meremat ujung roknya.

Gibran mendongak dan melihat sosok yang sudah memanggilnya. "kenapa La?".

"emmm, gimana keadaan Rahsya?" Tanya Nala pelan. Ia tidak tau harus berbasa-basi seperti apa sehingga dirinya langsung saja menanyakan hal yang ingin sekali ia tanyakan.

Gibran mengembuskan napas pelan. "Belum ada perkembangan La, Rahsya belum mau bangun".

Nala mengangguk dengan tatapan sendu. "Mungkin dia masih capek. Tapi gue yakin Rahsya pasti bangun lagi".

Gibran hanya mengangguk lalu tak lama seorang pedagang mengantarkan pesanan mereka. Dan bersamaan dengan itu Nala mengundurkan diri dari hadapan mereka.

"Bangun Sya, banyak yang nungguin Lo" ucap Gibran dalam hati.

o0o

Suara alat pendeteksi jantung terdengar mengalun memenuhi ruangan itu. Sosok yang terpejam masih enggan untuk sekedar  membuka matanya barang sekejap.

Bahkan dadanya terlihat naik turun tak beraturan meskipun sebuah masker oksigen telah bertengger manis menutupi sebagian wajahnya. Tangannya yang terbebas dari infus digenggam erat oleh seorang wanita cantik berhijab hitam.

"Adek".

Sedari tadi hanya ada panggilan tanpa ada balasan serta pertanyaan tanpa jawaban. Wanita itu tak henti-hentinya mencium kening bungsunya yang hangat. Kontras dengan kedua tangan Rahsya yang terasa dingin.

"Adek bangun sayang. Jangan tidur lama-lama, Bunda kangen" ucapnya dengan tetap tanpa ada sekedar kata yang terbalas.

Wanita itu mengelus pelan kening Rahsya hingga ujung kepalanya. Melakukannya dengan perlahan agar buah hatinya tak kesakitan.

"Ini pasti sakit ya dek? Maafin Bunda yang gagal jadi Bunda nya adek" tutur wanita itu dengan lelehan air mata yang mengalir dari kedua kelopaknya.

Hening beberapa menit menyelimuti dua insan itu. Hingga terlihat dada Rahsya yang terlihat semakin naik turun dengan suara sesak nafas yang terdengar pedih di telinga Bunda.

"Dekkk!! Adek bangun!! Adek!!" Dengan brutal Bunda menekan sebuah tombol yang terdapat di samping brankar Rahsya. Berharap dokter dan perawat datang secepatnya untuk menyelamatkan buah hati tercintanya.

"Bunda yakin adek kuat. Bangun dek, bangunnn!!!" Bunda masih terus terisak hingga dokter Rafi berserta dua perawat datang. Dan setelahnya wanita itu dituntun untuk keluar dari ruangan itu.

Sesampainya di luar, Ayah dan Al sudah menunggu dengan tatapan takut serta khawatir. Lalu pria dewasa itu memeluk tubuh bergetar Bunda dan menenggelamkannya pada dada bidang miliknya. Berharap agar Tuhan masih memiliki belas kasih untuk seseorang yang amat disayanginya, semoga.

o0o

Karunasankara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang