Hari ini masih tetap sama seperti tiga hari yang lalu. Sosok itu masih terpejam erat dengan berbagai alat medis yang menempel pada tubuh kurusnya. Seorang wanita berhijab yang masih duduk di samping sosok itu juga tidak pernah berhenti merapalkan doa untuk kesembuhan si bungsu.
Jemari lentik Bunda enggan berhenti untuk mengusap ujung kepala anaknya yang sudah tidak dipenuhi rambut sehelai pun. Takut jika kasar sedikit saja, putranya akan dalam keadaan bahaya.
"Udah empat hari ini adek tidur terus. Gak kangen ya sama Bunda? Padahal Bunda kangen banget sama adek. Kangen suara adek, kangen senyuman adek, kangen manjanya adek juga. Pokoknya Bunda kangen banget sama adek" ujar Bunda.
Ada setetes liquid bening yang terjatuh dari salah satu manik indah sang Bunda. Disusul dengan tetesan lainnya hingga menjadi aliran yang turun perlahan sampai mengenai tangan sang anak.
Beberapa menit berlalu hanya diisi oleh bunyi alat pendeteksi jantung yang dihubungkan dengan tubuh Rahsya. Hingga tiba-tiba jemari kurus itu bergerak-gerak kecil, serta kedua matanya perlahan terbuka.
Kedua mata Bunda melebar dengan senyum yang terlukis di bibir ranumnya. Dengan cepat wanita itu memencet tombol emergency yang berada di sebelah brankar Rahsya untuk memanggil dokter.
"Sayang, adek hebat" ujar Bunda sambil menciumi tangan Rahsya yang masih berada dalam genggamannya.
Kedua mata Rahsya masih terlihat sayu dan belum sepenuhnya fokus pada apa yang anak itu lihat. Tak lama kemudian dokter beserta dua perawat masuk ke dalam ruangan itu. Langsung saja Bunda berjalan keluar ruangan agar mereka dapat memeriksa anaknya tanpa terganggu.
"Bunda kok di luar? Adek kenapa Bun?!!" Tanya Ayah yang baru saja sampai di rumah sakit bersama putra sulungnya.
Bunda masih terdiam lantas memeluk tubuh tegap Ayah. "Adek udah bangun, adek udah sadar Yah".
Pria itu langsung mengucapkan syukur berkali-kali serta semakin mengeratkan pelukannya pada sang istri.
Al pun sama. Mulut anak itu terus bergumam mengucapkan syukur dan berdoa agar suatu hal yang buruk tidak menimpa adek kesayangannya setelah ini.
o0o
"maaf, Rahsya benar-benar mengalami amnesia. Dia tidak mengingat hal apapun." Terang dokter Rafi kepada Ayah dan Bunda.
Kedua tangan Ayah mengepal kencang. Ia merasa kecewa dengan dirinya sendiri. Mengapa justru ini yang terjadi? Anaknya selalu mendapat cobaan yang berkali-kali lipat. Dan sekarang anak itu mengingat apapun lagi bahkan termasuk dengan keluarganya sendiri.
"Sorry Thir, gue kira hal ini gak akan terjadi sama Rahsya. Tapi ternyata--" dokter tampan itu tak bisa melanjutkan kalimatnya. Bahkan setetes air bening juga terlihat jatuh dari kelopak matanya.
"Ini bukan salah Lo Fi. Ini udah takdir" balas Ayah diiringi dengan lelehan air mata yang mengalir dari kedua matanya.
"Amnesia ini gak bersifat permanen Thir. Suatu saat pasti Rahsya bakal inget lagi".
Sang Ayah hanya mengangguk mantap. Lalu kedua orang tua Rahsya berpamitan undur diri untuk menemui Rahsya yang sudah dipindahkan ke ruang rawat.
o0o
Laki-laki yang masih duduk di sebuah kursi samping brankar rumah sakit itu masih setia mengusap lembut puncak kepala botak adeknya. Sedari tadi anak itu masih terdiam dengan pandangan bingung. Bahkan ucapan kakaknya itu juga tak ada satupun yang dibalasnya.
"Dek, ini kakaknya adek. Kal Al, adek inget?" Tanya Al memandang lekat kedua manik sayu Rahsya.
Rahsya hanya menggeleng pelan. "Ma-af" balas Rahsya terbata. Anak itu juga sedikit mengalami kesusahan berbicara sehingga hanya mampu berucap dengan singkat.
Al lalu menggeleng brutal. "Enggak, adek gak salah. Kakak sayang sama adek, makasih ya udah mau bertahan buat kita semua".
Ceklek.
Seorang wanita berhijab itu masuk ke dalam ruang rawat sang anak bersama suaminya. Setelah mengucap salam, keduanya bergegas menghampiri Rahsya yang masih memandangi mereka dengan tatapan bingung.
Sang Bunda langsung menerjang si bungsu dengan pelukan yang sangat erat. Rahsya yang masih tidak mengerti hanya terdiam dan membiarkan wanita itu memeluk erat dirinya.
"makasih ya dek" ucap Bunda dengan menciumi kening Rahsya berkali-kali.
"S-si-apa?".
Senyum Bunda langsung kenyal ketika mendengar pertanyaan Rahsya yang membuat hati wanita itu terasa diremas kuat.
"Dek, ini Bunda. Terus ini Ayah, orang tua adek" bukan Bunda ataupun Ayah yang menjawab, melainkan Al. Ia sebisa mungkin menjelaskan dengan perlahan terkait sesuatu yang sudah tidak teringat lagi dalam memori Rahsya.
Rahsya lalu mengangguk perlahan dengan kerutan halus yang masih tersemat di keningnya. "Ma-af, aku gak i-nget".
"Gak papa dek, yang penting sekarang adek udah bangun." Balas Bunda yang sudah duduk di atas brankar menghadap putra bungsunya.
Bunda lalu memeluk erat tubuh Rahsya yang masih terbaring di atas tempat tidur. Mencium aroma khas putra bungsunya yang membuatnya tenang. Berharap sosok itu selalu bisa bersamanya dan tidak akan pernah meninggalkannya.
o0o
Tiga remaja laki-laki berseragam putih abu-abu itu terlihat berjalan tergesa-gesa menuju ruang rawat VIP bertuliskan angka 20A. Mereka datang ke tempat itu untuk menjenguk Rahsya yang telah sadarkan diri koma sejak kemarin.
Setelah pintu ruangan itu dibuka oleh Bundanya Rahsya, mereka langsung menghampiri Rahsya yang masih duduk bersandar di atas brankar rumah sakit.
"Rahsya!!!" Panggil Gibran lalu dirinya langsung menerjang anak itu dengan pelukan yang sangat erat.
"Kamu siapa?".
Perkataan itu langsung membuat pelukan Gibran sedikit merenggang. Dipelasnya dekapan itu lalu dirinya menatap lekat kedua mata Rahsya yang masih nampak sayu.
"L-lo gak inget sama gue?" Pertanyaan Gibran yang hanya dijawab dengan gelengan pelan oleh Rahsya.
"M-maaf, aku gak inget" balas Rahsya pelan dengan kepala yang menunduk.
Mereka saling pandang dengan tatapan yang sama-sama bingung. Mereka langsung berasumsi bahwa sesuatu yang dikatakan Al waktu itu ternyata menjadi kenyataan. Rahsya amnesia dan tidak mengingat apapun lagi termasuk persahabatan mereka.
Gibran mengirup oksigen yang justru membuat dadanya terasa sesak. "Gak papa Sya, ya udah kita kenalan lagi aja ya. Kenalin gue Gibran, temen sebangku Lo waktu di kelas".
Rahsya lalu mengangguk dan tersenyum. Ada perasaan bersalah yang menghinggap di dadanya ketika matanya menatap tiga pasang mata di depannya yang terlihat sendu.
"Oh iya, kenalin juga gue Angga. Temen sekelas Lo juga, tapi beda bangku. Tapi kalo ke kantin kita pasti sebangku loh" ujar Angga yang membuat bibir Rahsya terangkat membentuk senyuman.
"Ekhem, sekarang giliran gue. Kenalin gue Irsyad, manusia tampan dan rupawan yang menjadi teman sekelas Lo sekaligus jadi sahabat Lo" ucap Irsyad dengan percaya diri hingga sebuah sentilan kecil mendarat di keningnya dari seorang laki-laki bernama Angga.
"Pede amat hidup Lo!".
Rahsya hanya tersenyum hingga kedua matanya membuat garis seperti bulan sabit. Ia berharap dapat mengingat kembali kenangan masa lalunya bersama orang-orang terkasih, semoga.
o0o