Prolog

363 63 7
                                    

Tandain jika terdapat Typo^^

Don't Forget to Like & Komen serta Follow sebagai dukungan untuk penulis.

Happy Reading

---

Manusia itu makhluk rapuh yang bahkan jika di genggam keras sedikit saja akan menangis atau kesakitan. Makhluk tak abadi yang pasti akan merasakan kematian. Namun, berbicara tentang kematian, apa kalian pernah merasakan kematian orang tersayang?

"Jangan lari-lari, Liam," ucap seorang gadis berusia sekitar 20 tahun-an kepada anak kecil yang tengah melewati banyaknya batu nisan. Pemakaman. Tempat terakhir manusia beristirahat.

Hal yang dialaminya beberapa tahun silam membuat luka besar yang tak akan pernah sembuh secara sempurna. Namun, kehadiran kedua anak ini seakan pengganti dari semua penderitaan sebelumnya.

Anak kecil itu terkekeh dan berlari menghampiri sang gadis dan saudara perempuannya. "Sorry, Mommy"ujarnya sambil menyunggingkan senyum manis.

Gadis itu tersenyum kecil.

Ia berjalan mendekati batu nisan yang bertuliskan nama kedua orang tuanya yang meninggal belasan tahun yang lalu, tak pernah ada bulan terlewat tanpa Ia mendatangi makam-makam itu.

Tempat keluarga dan orang tersayangnya beristirahat.

"Mommy, kenapa kau tidak pernah menangis sih setiap kemari? Padahal kan, Daddy, dan om-om serta teman-teman Mommy sudah tidur di sini semua" tanya anak yang lebih muda beberapa menit dari sang kakak kepada gadis itu.

Tak lama, seorang lelaki mendatangi mereka membawa payung. Ah, ternyata langit hampir menurunkan butiran-butiran beningnya. Lagi.

"Jangan lama-lama, masih ada banyak tempat yang harus kita hampiri"Ingatnya.

Gadis itu mengangguk. Tak menjawab pertanyaan anaknya dan hanya tersenyum kecil kemudian menggendong kedua anaknya. " Yosh, ayo kita lanjut"

Zrash.

Untunglah lelaki itu cepat tanggap dan segera memayungi dirinya dan anak-anaknya.

Ia tersenyum pahit. "Tanggal berapa sekarang?" tanyanya pada lelaki itu.

"19 Februari" jawabnya.

"Pas sekali dengan hari itu ya... "

~-~-~-~-~-~

"Hiks.. huaaaa Mama Papa!!!!"Suara jeritan seorang gadis begitu menyayat hati beradu dengan derasnya hujan mengguyur permukaan. Lelaki disampingnya mengepal menahan perasaannya sendiri.

"Aya.."

Orang-orang datang dan pergi hanya untuk menaruh karangan bunga atau bahkan memberi kata-kata penyemangat agar keluarga yang ditinggalkan tegar dan kuat.

"Kenapa?! Kenapa?! Papa udah janji untuk jadi wali Aya saat Aya nikah nanti padahal!!"Air mata kian deras. Jatuh membasahi tanah yang baru saja menimbun tubuh kedua orang tuanya.

Tidak ada lagi yang bersuara disana. Ketiga pria itu hanya diam menunduk dengan wajah muram yang juga sedang menangis dalam diam.

Satu Yang Tersisa [TAHAP REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang