Tandain jika terdapat Typo^^
Don't Forget to Like & Komen serta Follow sebagai dukungan untuk penulis
Happy Reading---
"Bagaimana hasil otopsinya?" Meski kehilangan mayat Arton, mereka berhasil mengotopsi Arton terlebih dahulu walau tidak maksimal.
"Dia.. mati kehabisan nafas" Ucap seorang perempuannya berjas putih yang menatap hasil otopsi —dengan foto mayatnya— terpampang di laporan media pasien.
"Bagaimana ada pembunuh sekejam ini" Lirihnya ngeri.
Mereka —Liandi dan Bagaskara— masih membolak-balik lembaran kertas itu dan foto-foto yang diambil petugas forensik berupa : memar di sekitaran leher, huruf X yang dibuat mulai dari bahu sampai ke pinggang dan adanya luka dalam dan pendarahan di beberapa pembuluh besar.
"Sama.. seperti pembunuhan orang tua Alaia" Liandi menutup mulutnya tak percaya. Jika mereka tak menjadi mahasiswa kriminologi yang aktif dan tidak mengacak-acak tempat dokumen, mereka tak akan tau tentang hasil penyelidikan orang tua Alaia.
Askara meneguk ludahnya kasar. Ia ngeri melihat foto-foto petugas forensik. 'Bisa ya mereka gak muntah' Batinnya.
Mereka mengangguk dan membawa berkas itu pergi bersamanya. Masuk ke mobil untuk mengabarkan kepada keluarga yang berduka —keluarga Andakara.
"Kayaknya Alaia bakalan marah deh. Secara.. kita otopsi tanpa persetujuan Dia"ucap Askara yang membuat pikiran Liandi semakin tak karuan. Mau Alaia setuju atau tidak, jasad itu tetap harus diotopsi.
Tininit.
Dering telepon menggemai mobil yang hening. Suara itu berasal dari telepon milik Askara. "Permisi" Izinnya dan langsung mengangkat telepon tersebut.
"Kak, ini kak Askara kan??" Tanya seseorang dari sebrang sana.
"Iya"
"Fyuuh... Syukurlah~"
"Ini Shine? Ada apa?"
"A-ada belati merah di TKP. Dan tadi, saat aku menelpon ke nomor Kak Lian..."
"Ada apa, Shine? Jangan membuatku penasaran"
Terdengar suara ludah yang tertelan karna gugup. Suaranya semakin kecil.
"Bukan Kak Lian yang jawab... Apakah Kak Lian ada disana?"
---
Alaia benar-benar tak mau makan. Bahkan sampai mereka bertemu kembali dengan rembulan, tak sebutir nasi pun ia sentuh. Begitu melihat nasi atau makanan, bahkan air putih, ia langsung mual dan pergi ke kamar mandi.
Liandi tidak berniat untuk menjenguk Alaia. Ia pikir, membiarkan Gadis bermanik coklat itu sendiri saat ini lebih baik dari pada menunjukkan wajahnya. Tanpa ia tau bahwa Alaia sedang membutuhkannya.
"Aya.."
"Kenapa" Meski respon yang didapat dingin, Gara masih bersyukur sang Kakak tetap dapat berinteraksi. "Ada Kak Lian, mau ketemu gak?" Tanyanya.
"Liandi??" Alaia bergegas bangkit dari kasur. Tubuhnya yang belum terisi apapun sejak kemarin begitu lemah sampai dirinya terjatuh ke lantai. "Kak!" Pekik Gara, mendengar suara jatuh dari kamar.
Alaia tak menghiraukannya lututnya yang memar. Ia langsung bangkit dengan sempoyongan dan —dengan dipapah Gara— dia menuruni anak tangga untuk sampai ke lantai bawah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Yang Tersisa [TAHAP REVISI]
Mystery / Thriller"Kenapa Tuhan, kenapa? HAMBA CUMA PENGEN BAHAGIA, TUHAN!!"-Alaia "Maafin gue, gue gak bisa jaga kalian"-Shine "Aku titip matahari kita ya??"-Liandi. ---- Alaia, gadis biasa dengan kehidupan normalnya. Ya, setidaknya sampai teror belati merah menimpa...