Skydillush Altharey Andakara

49 31 3
                                    

Tandain jika terdapat Typo^^

Don't Forget to Like & Komen serta Follow sebagai dukungan untuk penulis 
Happy Reading

----

3 minggu berlalu...

Sudah 3 minggu semenjak kejadian itu, Altharey dinyatakan menghilang karena mayatnya tidak ditemukan sama sekali di TKP. Bahkan potongan atau robekan bajunya saja tidak ada.

Rasanya Alaia sudah mati rasa.

Semenjak kejadian itu, Gara juga pergi entah kemana, seakan menghindar. Hanya Liandi dan Alaia yang berada di rumah besar itu berdua. Tubuh Alaia semakin hari juga semakin mengecil karena stress yang bertambah, wajahnya tampak pucat.

"Aya..., dont forget to eat, Honey. "

Ia juga kehilangan nafsu makan. "Gak dulu, Li. Belum laper." Ia memandangi halaman belakang dengan tatapan mata kosong. Sebuah kotak di genggamannya juga ia pegang dengan erat seakan kotak itu tidak boleh jauh.

Liandi menghela nafas kasar dan berlutut di hadapan Alaia. "Aya..., i know you Worried about Altharey and Gara. Tapi, gak dengan menyiksa diri kamu begini, Aya.. Mereka gak akan suka liat kamu begini" Liandi menyentuh kedua tangan Alaia yang terasa begitu kecil.

"Kalau kamu terus begini, kita kerumah sakit aja, ya? Biar diinfus. Biar ada nutrisi yang masuk" Alaia menggeleng keras. Genggamannya semakin erat pada kotak di tangannya.

"Dont..., aku gak mau, Li. Oke, aku akan makan" Final Alaia meski air mata tergenang di kelopak matanya.

Liandi tersenyum. Ia mulai mengangkat sendok nasi untuk menyuapkan bubur hangat di tangannya. Alaia melahap suapan itu. Namun, sedetik kemudian, wajahnya berubah pucat seperti orang mual.

Ia langsung berlari menuju kamar mandi dan memuntahkan isi perutnya. Hanya air. Ia belum makan apapun sejak tadi pagi sehingga hanya air yang dimuntahkan.

Rasa mual yang tak kunjung hilang membuatnya terus memuntahkan isi perutnya. "Aya..? " Raut khawatir terbit diwajah Liandi. Liandi memijat tengkuk Alaia dan mengusap punggung gadis itu pelan.

Alaia terduduk lemas disamping keloset. Ia membekap mulutnya. "It's okay, honey. I'm here. What's wrong, hmm? " Alaia menitikkan air matanya.

Hatinya kembali hancur melihat air mata Alaia yang mengalir begitu saja. Ia mendekapnya dengan erat. "Kita kerumah sakit, ya? Cek keadaan kamu ini lho.. " Bujuknya. Namun, kembali ditolak oleh sang empu dengan keras.

"Jangan, Li.. Gak mau"

"Yaudah, aku beliin obat dulu, ya? "

Alaia mengangguk. Liandi mencium kening Alaia sebelum dirinya melenggang pergi dari sana setelah mengangkat Alaia menuju kasur.

Saat Liandi sudah menghilang dari balik pintu. Perlahan, genggamannya pada kotak itu melemah. Ia perlahan membukanya dan menampakkan 5 buah kertas berbentuk strip yang menampakkan 2 garis biru diatasnya.

Sebuah kertas pernyataan dokter juga berada dibawahnya.

"I can't tell him... "

Ia memeluk kotak itu dan kembali menangis. Entah karena perasaan pribadi atau mood swing akibat hormon kehamilannya.

Ya.

Alaia hamil. Gadis itu hamil. Sudah memasuki minggu ke-4 masa kehamilannya. Ia tak berani mengatakannya pada Liandi karena takut lelaki itu akan semakin bertambah pusing karenanya.

Satu Yang Tersisa [TAHAP REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang