Tandain jika terdapat Typo^^
Don't Forget to Like & Komen serta Follow sebagai dukungan untuk penulis
Happy Reading---
Melihat mayat sang adik, air matanya tak dapat terbendung lagi. Butiran air sebening mutiara itu membasahi pipinya.
Tangisnya pilu melihat tubuh sang adik tergantung di pohon dengan tali. Keadaan tubuh itu mengenaskan.
Liandi mengelus punggungnya sembari memalingkan wajah ngeri melihat kondisi itu.
Adiknya. Adiknya yang berharga. Ia masih terlalu kecil untuk tau apapun.
"Hiks.. Huaaaaa!!!!! Arton!!!!!"teriaknya pilu.
Ditengah malam, tanpa takut orang orang terbangun, ia berteriak sesuka hatinya melampiaskan emosi. Tangannya mencakar tanah.
"H-HARUSNYA KAU TIDAK MEMBOLEHKAN DULUAN!!! DIA SEHARUSNYA BERSAMA KU!!!"ucapnya sembari menatap penuh benci kearah Bagaskara yang menunduk.
Hal ini diluar kendali mereka.
Gara yang melihat kondisi itu pertama kali hanya termenung diam, memandangi tubuh adiknya yang berlumuran darah.
Bagaskara tau bahwa ia salah satu pencetus masalah ini. Ia mulai bergerak untuk memutus tali pengikat leher yang sudah menganga tersebut, menampakkan daging dan tulangnya.
"JANGAN SENTUH!! JANGAN SENTUH!!!!"Liandi langsung mendekap Alaia erat dan membawanya menjauh. Ia memeluknya begitu erat untuk meredakan amarah perempuan itu.
Tangisnya tak kunjung berhenti. Semakin histeris dan berontak saat tubuh adiknya difoto oleh Bagaskara sebagai bukti.
"Hiks.. jangan... Kenapa harus dia.."ucapnya pilu.
Gara masuk kerumah, menahan para adiknya yang berusaha melihat sumber suara tersebut.
"MASUK KE DALAM RUMAH!! MASUK!!"Bentaknya kasar.
"Apa-apaan sih, Gar?! Awas! Itu ngapa Kak Aya begitu!!"bentaknya tak kalah kencang.
Plak!
"AKU BILANG MASUK!!!"
Altharey menatapnya tak percaya dan memilih masuk kedalam rumah dengan kesal. Gara terduduk frustasi begitu mereka semua pergi.
Bruk!
---
Suara sirene ambulans dan polisi bersatu padu membentuk melodi menakutkan yang tak pernah mereka harapkan untuk di dengar.
Pagi pagi buta. Bahkan sebelum matahari menampakkan keindahan mereka. Keluarga itu sudah ditampar oleh kenyataan bahwa pembimbing mereka, orang tua mereka telah meninggal dunia.
Dengan kondisi mengenaskan.
Mereka dibunuh saat tertidur, begitu terang kakak tertua keluarga itu dalam ekspresi bimbang dan depresi.
Adiknya yang masih berumur 5 tahun berada di dekapannya dengan wajah yang tak kalah pucat darinya. Mereka berdualah saksi pertama kejadian mengenaskan itu.
Begitu pintu kamar kedua orangtua mereka dibuka, bau anyir langsung semerbak dan tubuh tak bernyawa tergeletak diatas kasur dengan mata terbelalak.
"K-kamu juga tak menyangkan hal ini.. ini terlalu cepat"
"Baiklah, kalian akan kami bawa dahulu untuk kerumah rehabilitasi. Tampaknya, mental kalian tak baik"ucap para polisi sembari menepuk bahu guna menguatkan.
Mereka begitu ketakutan. Ke-enam bocah yang sudah dilapisi selimut itu benar-benar bergetar hebat dengan pandangan mata yang kosong.
"Kak.."
Hanya kata kata itu yang bisa mereka gunakan. Hanya sang kakak lah yang dapat menjadi pemandu mereka setelah ini.
Namun, seakan tak memperbolehkan mereka untuk berjalan di jalan yang benar, semesta juga merengut nyawa kakaknya dengan cara yang sama seperti kedua orang tua mereka.
"KAK XAVIER!"
--
"HAH!!"Gadis itu terbangun diruangan serba putih. Bau obat begitu pekat disana.
"Aya?"pekik seseorang begitu ia bangun.
Mereka langsung menubruk tubuh lemah itu dan mendekapnya erat. Ia tak mengerti situasi ini, apakah dia sakit? Tadi itu hanya mimpi? Pikirnya bingung. Ia melihat kesamping dan mendapati ranjang Gara juga berada disana.
Lelaki itu menatapnya sendu sembari mengatakan dengan bahasa isyarat 'semuanya baik baik saja'.
Dia pusing. Semuanya tercampur aduk dalam satu momen.
"Dimana Arton?"mereka yang awalnya bersuka ria saat sang Kakak bangun hanya terdiam.
"Jawab gue, dimana Arton!"teriaknya naik satu oktaf.
"Ala..."lirih Liandi saat baru memasuki ruangan.
Baju Liandi belum diganti sejak kejadian itu sehingga masih meninggalkan noda darah di kaos putih oblongnya. "T-tadi itu mimpi, kan?"tanyanya dengan nada frustasi.
Mereka tidak menjawab.
"Aku tau ini sulit untukmu. Tapi-"
"TAPI APA?!"Teriaknya saat Bagaskara angkat bicara.
"Adikmu sudah tidak ada, dan kini, jasadnya sedang dalam proses otopsi untuk mengetahui penyebab kematian-"
"Siapa?"
"Apa yang.."Mereka semakin terdiam.
"Siapa yang mengijinkan?"tanyanya dengan nada dingin. Menatap ke lelaki yang menurutnya ikut andil dalam kejadian itu.
"SIAPA YANG NGIJININ BUAT DIA DIOTOPSI BANGS*T?!!"Tangisnya pecah disertai teriakan yang membuat hati orang-orang yang mendengarnya tersayat.
"Alaia.."lirih Liandi sekali lagi. Ia mendudukkan diri di kursi samping brankar itu.
"Ini mimpikan, Li?! Ini mimpi kan?"tanya nya. Wajahnya begitu frustasi dan hancur.
Liandi menggeleng sebagai jawaban.
Altharey menggenggam tangan Alaia erat. "Kita akan lalui ini bersama-sama, Ay. Kau ja-jangan merasa bersalah lagi"
Tangisannya semakin kencang saat ucapan itu terlontar. Tangannya meremas dadanya begitu kuat dengan kakinya yang dihentakkan keras.
"NGGAK NGGAK NGGAK!!"
"Alaia..., maafin gue"Bagaskara melangkah keluar dari ruangan itu dengan tergesa. Shine yang melihatnya langsung bergegas mengikuti Pria tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Yang Tersisa [TAHAP REVISI]
Misterio / Suspenso"Kenapa Tuhan, kenapa? HAMBA CUMA PENGEN BAHAGIA, TUHAN!!"-Alaia "Maafin gue, gue gak bisa jaga kalian"-Shine "Aku titip matahari kita ya??"-Liandi. ---- Alaia, gadis biasa dengan kehidupan normalnya. Ya, setidaknya sampai teror belati merah menimpa...