The Key

71 46 118
                                    

Tandain jika terdapat Typo^^

Don't Forget to Like & Komen serta Follow sebagai dukungan untuk penulis 
Happy Reading

---

"Shh... Semuanya akan baik-baik saja, Aya, "

Alaia yang kini masih menangis sesenggukan di dada Gara semakin menangis kencang tatkala Gara mengatakan hal tersebut. Gara hanya bisa menghela nafas panjang.

Lelaki itu bingung cara menenangkan Kakaknya yang kini tengah menangis setelah mendapatkan berita kematian tersebut. "Gak ada yang bisa memprediksi ini, setop nangisnya...,"

Tangannya membelai pelan surai panjang Alaia. Alaia mengangguk namun, tidak menghentikan tangisnya. Ia benar-benar dibuat terkejut akan semuanya.

Mulutnya terbuka. Tampak ingin mengatakan sesuatu, "A.. Aku.. Hiks... Mau cerita.. "

Gara menatap lekat kedua bola mata hazel Alaia dan mengangguk. Mereka duduk berhadapan. Selagi Alaia menceritakan kejadian sebelumnya diiringi tangisan kesedihan dari gadis itu, Gara mengangguk-angguk paham. Ia merekam semua yang dikatakan Alaia dan mengelus punggungnya pelan.

Ia angkat bicara, "Kau yakin itu bukan hanya mimpi?, soalnya, malamnya kau ada di kamar ini. " Tanyanya dengan raut penasaran.

Alaia agak terkejut. Ia menggeleng pelan. "Aku... Sudah hilang kesadaran sejak pagi, setelah Liandi berangkat dan Altharey masih tidur, begitu terbangun, aku ada di tempat yang aku ceritakan. Tapi... Pemandangan kotanya bukan kota ini." Terangnya panjang lebar.

Gara tersenyum simpul dan mengangguk.

"Apakah sekarang lehernya masih sakit?," Alaia menggeleng. "Aku buka aja, ya? Kamu keliatan gak nyaman. "

Alaia awalnya berpikir sejenak, hingga kemudian gadis itu mengangguk dan memunggungi Gara agar lelaki itu membantunya membuka penyangga leher.

Gara tersenyum tipis. Ia membuka perlahan benda tersebut dan menaruhnya di lantai. Tampak lebam keunguan yang kini berubah menjadi agak hijau setelah perawatan. Ia menyentuhnya pelan. "Sakit? " Alaia kembali menggeleng.

Wajahnya didekatkan ke leher sang empu dan meniupnya pelan, membuat sensasi geli menjalar ke tubuh gadis itu. "Gara..!," Rengeknya sambil menutupi lehernya protektif.

"Hehe, bercanda, Ya" Tangannya terangkat membentuk huruf V sebagai tanda perdamaian.

Alaia memanyunkan bibirnya dan menatap Gara lekat. Mata Gara semakin lama semakin mirip dengan Xavier, begitu pikirnya.

"Gar.. "

"Hmm.. " Jawabnya singkat sambil memainkan rambut Alaia.

"Lo tau gak? Ternyata, Ayah kita sama Kak Xavier dan Artinya beda, lho.. " Lirihnya disertai senyuman getir.

Gara terdiam sejenak dan menganggukkan kepalanya pelan. "Udah tau, dari lama. " Ia mengembalikan rambut Alaia ke tempat semula dan menyatukan tangan dengan Alaia.

Alaia menaikkan sebelah alisnya heran. "Tau dari mana?, Kok gak pernah ngasih tau? Kok aku sama Al baru tau waktu itu?," Pertanyaan beruntun membuat Gara terdiam sekali lagi.

Gara tak berniat menjawab sama sekali membuat Alaia geram, "Kenapa diem? Jawab, Gar. " Air mata mulai membanjiri mata Alaia.

Gara tidak menjawab. Alih-alih menjawab, lelaki itu hanya memeluk tubuh Alaia erat dan membiarkan bahunya dibasahi oleh air mata gadis tersebut.

Bukan kita yang beda... Tapi mereka...

---

Liandi mengusap wajahnya gusar ketika proses evakuasi dan pemadaman api telah selesai. Tak ada satupun tanda-tanda keberadaan Altharey disana.

Ia mengetuk-ketuk dashboard mobilnya gusar. Ia memikirkan segala kemungkinan terburuk dan terkecil. Masalahnya..., tak ada bukti yang menunjukkan bahwa Altharey masih hidup. Tak ada sisa kehidupan disana.

Mayat-mayat korban lainnya sudah ditemukan semua ketika matahari hampir terbit. Pukul 04.56. Lelaki itu berdiam di kantornya melihat berkas yang belum diselesaikan.

Matanya tertuju pada mading kasus didepannya yang penuh dengan petunjuk dari kasus keluarga Andakara.

Ia melihat ke tulisan yang ia pajang disana :

Clue dari Shine ; X dan B

Ia tak mengerti. Tebakan yang ada di pikirannya mustahil. Yang satu telah menjadi meninggal dan yang satu terlalu baik untuk dijadikan pelaku.

Berdasarkan semua bukti tersurat yang ada pada setiap kasus bersangkutan merujuk pada orang 'itu'.

Ketika ia mulai memijat pangkal hidungnya pusing, Liandi tanpa sadar menemukan sesuatu di laci mejanya. Tangannya merogoh ketika ada suara dering bergetar dari dalam sana.

Tak ada.

Lelaki itu menunduk untuk mencari benda yang menimbulkan bising itu. Tuk. Ketemu.

Ia membawanya naik ke permukaan mejanya dan mendapati sebuah handphone dengan retak di layarnya sedang membunyikan alarm pukul 05.00.

Entah kenapa ia tak pernah menyadari hal ini sebelumnya. Tangannya mulai menggeser layar membuat Alarm tersebut dimatikan. Ia mencoba mengingat bagaimana benda itu ada disana.

Ia tau dan yakin bahwa benda itu adalah handphone milik sahabatnya, Gara.

Entah bisikan setan darimana, ia penasaran apa isi handphone tersebut, pertama, ia membuka sandi yang terpasang di handphone itu entah sejak kapan.

Setaunya, sahabatnya itu tak pernah memberikan sandi pada semua handphone miliknya. Ketika ia mencoba ulang tahun lelaki itu, ulang tahunnya, tanggal lelaki itu lulus dan lainnya. Gagal.

"Shh.. Apa sih" Ia mulai kesal. Ketika dengan asal ia memencet '1234' barulah terbuka yang membuatnya menatap datar handphone kecil ditangannya.

Ia beralih ke apa saja aplikasi yang ada disana.
Nihil. Tak ada apapun. Bahkan YouTube saja tidak ada. Hanya ada satu aplikasi yaitu galeri dan g-foto.

Ia membuka galeri.

Penasaran dengan Aib apa saja yang ada di handphone milik sahabatnya.

Alisnya nyaris bertautan ketika tak ada satupun file lain selain 4 file foto dan video disana. Ketiga foto itu tampak seperti coretan diatas kertas dan 1 video lainnya berdurasi lumayan panjang.

Ia membuka foto pertama.

"Loh? Ini 'kan alamat kebakaran.. "

"Ini... Alamat korban pembunuhan berantai... Sebelumnya... "

Matanya meneliti semua clue yang susah disimpulkan oleh sahabatnya dan menyadari satu fakta. Ia tau sekarang.

Namun, tampaknya ini tidak masuk akal jika dipikirkan dengan logika. Bagaiman mungkin orang yang sudah mati menjadi pembunuh dan dalang dibalik semua ini?.

Matanya terbelalak ketika menyadari satu fakta baru.

Ia ingat sekarang.

"Apa jangan-jangan—" Ucapannya terpotong ketika panggilan telepon memasuki telepon kantornya. Ya..., ia akan menyelesaikannya nanti. Lagipula, alamat rahasia itu berhasil tersampaikan padanya.

---

Satu Yang Tersisa [TAHAP REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang