10. Pijat Memijat

91.5K 1.7K 14
                                    

Jenny tengah berada di dalam mobil dengan kelelahan. Semua keluarga pulang dan acaranya selesai di pukul 10 malam.

Beruntungnya tidak sampai tengah malam.

"Lo mau makan dulu?" Tomi juga terlihat lunglai.

"Kalau lo?" Jenny bertanya balik dengan lesu.

"Gue tanya lo," balas Tomi santai lalu tersenyum mengejek usil.

"Ga usah nyebelin!" Jenny menatap Tomi kesal.

Tomi menyelimutkan jaketnya ke tubuh Jenny yang masih memakai gaun pengantin yang terbuka.

"Lo yang nyebelin," balas Tomi.

Jenny menatap Tomi kesal tanpa ingin membalas lagi. Tomi sedang usil, pasti hanya ingin membuatnya emosi saja.

"Makan dulu ga?" Tomi menyenggol lengan Jenny.

Jenny mendelik kesal. "Iya! Kalau bisa gue makan lo sekalian!" semprotnya.

"Waduh, udah menjurus ke malam pertama nih,"

Jenny mengetatkan rahangnya kesal. Jenny pun memalingkan wajah, dia malas membalas lagi. Dasar Tomi menyebalkan!

"Jadi, gimana? Mau makan gue atau makan-"

"Lo mau gue gigit? Cakar? Cubit apa tonjok?" potong Jenny dengan aura serius yang siap menerkam.

"Canda, kita makan aja.." Tomi membenarkan jaket yang membelit Jenny dengan senyuman yang di mata Jenny sungguh menyebalkan.

Tidak bisa! Jenny ingin menggigitnya!

Jenny menggigit lengan Tomi hingga si empunya menjerit dan kapok mengusili Jenny yang tengah kelelahan itu.

"Gue kesel!" Jenny menyeka air matanya.

"Ck! Serius amat sih, kita bukan di desa gaib itu lagi, jangan terlalu seriuslah," Tomi menyeka air mata itu walau Jenny menepis dengan memalingkan wajahnya.

***

Jenny merayap di dinding kamar di apartemen yang Tomi sewa sebelum pernikahan yang disetujui olehnya juga.

Jenny tidak bisa menahan sakit di kakinya yang pegal. Berdiri menyambut tamu dengan sepatu tinggi memang tidak mudah. Begitu menyiksanya.

"Tom, hiks.. Gue ga sanggup, nyut-nyutan kaki gue," Jenny mengeluh dengan rengekannya yang cempreng.

Tomi hanya melirik, dia memilih merapihkan banyaknya koper yang dibantu oleh penjaga di apartemen ini.

"Makasih, pak.." Tomi pun menutup pintu, setelahnya masuk ke dalam kamar.

Suara merintih dan mendesis sakit terdengar. Jenny sepertinya memang sangat kesakitan.

"Kenapa sih?"

Jenny mendelik kesal. "Pikir aja! Siapa suruh nikahnya sehedun itu!" cerocosnya ketus.

"Lo yang iyain," Tomi mendekat untuk menjitak manja kepala sang istri.

Tomi menghela nafas berat nan panjang membuat Jenny menatapnya lagi dengan fokus penuh.

"Berat banget kayaknya bebannya nikah sama gue," sindir Jenny sewot.

"Bukan itu," Tomi memasang wajah serius dengan alis bertaut.

Jenny memicingkan matanya aneh dan bingung. "Apa sih?!" sewotnya.

"Kita harus making love loh, lo mau emang? Gue sih- iya.."

Jenny mendatarkan wajahnya lalu melempar bantal hingga mengenai muka Tomi saking kesal. Sungguh suami yang tidak peka!

Sudah tahu kakinya berdenyut, bahkan seluruh tubuhnya jadi ikutan pegal.

Tomi malah cekikikan menyebalkan sambil balas melempar bantal itu hingga menutup wajah kesal Jenny.

Jenny menggeram lalu menyingkirkan bantal itu. Dia akan menerkam Tomi. Jenny berdiri namun apes, dia malah terjatuh karena kakinya belibet.

Tomi melotot kaget menatap Jenny yang telungkup jatuh tanpa bisa dia bantu dengan sigap. Hanya kurang beberapa detik membuat tangkapan Tomi meleset.

Jenny menggeram dengan dua tangan terkepal seolah akan ngamuk namun perkiraan Tomi salah.

Jenny menangis pecah antara marah, jengkel dan sakit di kakinya yang terus berdenyut karena banyak berdiri dengan hak tinggi.

"Haaaaa! Huaaa.. Gue benci.. Huaaaa.."

"Ck! Lo pikir kita masih di hutan? Diem nyet!" Tomi mengangkat Jenny, menyelipkan lengan di setiap sisi ketiak Jenny.

Tomi membawanya untuk ke kasur lagi.

"Gue benci!" Jenny mencubit lengan Tomi dengan memelintirnya.

Tomi meringis dan menarik lengannya cepat. Tak lama lagi pasti akan membekas.

"Sakit!"

"Gue juga sakit, ga peka banget sih!" semprot Jenny.

"Yaudah buka semuanya!" Tomi mengusap bekas cubitan itu.

"APANYA YANG BUKA?!"

"Ck! Mau gue pijit ga? Gue udah rasain semua ya!"

***

Tomi menelan ludah. Rasanya beda seperti saat di desa kutukan itu. Alias desa gaib. Dia bisa melihat jelas, merasakannya dengan nyata bagaimana miliknya menggeliat melihat kulit tubuh Jenny.

Jenny tengah telungkup dan Tomi pijat tubuhnya dari kaki hingga kini berakhir di punggung.

Lebih bahaya lagi sebelumnya. Di kaki. Tomi selalu melirik bongkahan pantat berisi yang dibalut CD tipis berenda.

Tomi samar membayangkan dan melihatnya. Apakah wangi dan rasanya sama? Tomi gelisah merasakan betapa keras miliknya.

"Oh astaga.." Jenny meringis saat pinggangnya di pijat. Itu sakit. "Lo bener bisa mijit?" tanyanya ragu dan meringis lagi.

"Gue suka pijit kakek sama nenek, mereka baik-baik aja, tandanya gue bisa," Tomi memasukan jemarinya ke dalam CD untuk memijat pinggang dan hampir menyengtuh belahan gemoy itu.

Jenny menggigit bibirnya agak gelisah. Pijatan Tomi memang enak dan mengurangi pegalnya namun tetap saja. Membuatnya meremang.

"Lo basah, Jen.." Jenny melotot dan menahan nafas mendengarnya.

"Mau gue pijit yang lain?"

Jenny menelan ludah, kenapa suara Tomi berubah serak. Apa dia sedang ingin. Jenny melotot lalu menoleh ke belakang.

Tomi sedang mengendus dan mengecupnya ringan.

Jenny hendak membalikan tubuhnya namun Tomi tahan.

"Apa gue salah? Kita sama-sama mau?"

Jenny terdiam dengan wajah memerah. Tidak bisa di bohongi. .

"Diem berarti iya,"

Jenny meremas bantal. Matanya terpejam dan desahnya lirih saat jemari itu menyelinap ke dalam, membelainya naik turun.

"Basah banget," bisik nakal Tomi di belakang kepala Jenny.

Tomi mengukung tubuh telungkup itu. Jenny menjadi kian berdebar tak karuan dibuatnya.

Kutukan Cinta; Making Love (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang