Tomi menatap tukang kebun rumahnya yang tengah mengurus rumput liar yang tumbuh. Dia sedang gabut menunggu Jenny bangun.
Jenny tidur membuatnya tidak ada yang bisa dia usili.
"Sudah berapa lama kerja di sini, mang? Baru lihat soalnya," Tomi memang baru ngobrol hari ini walau sudah cukup lama tinggal numpang di sini.
"Udah dari non Jenny kecil, den.. Cuma mungkin cukup lama tugas mang di ganti sama anak mang dulu karena sakit sebelumnya,"
"Oh gitu.." Tomi mangut-mangut.
"Saya juga udah lama belum lihat non Jenny, ini hari pertama saya kembali bekerja, biasanya non Jenny ikut bantu tanam bunga.."
"Ha? Seorang Jenny yang bar-bar begitu bisa berurusan dengan bunga?"
Mang udan tertawa pelan. "Non hanya aktif, den.." belanya.
Tomi mendengus geli mendengar pembelaan tukang kebun itu walau tidak ada salahnya.
"Ini, salah satu bunga yang di tanam non Jenny waktu SMP,"
Tomi jadi terus mengikuti tukang kebun itu, mengobrol dengannya soal Jenny kecil dan remaja.
"Mang Udan!" Jenny berlari namun meringis, dia lupa soal miliknya yang masih agak lecet walau sudah Tomi olesi obat.
"Panjang umur, non.."
"Mang udah mulai kerja lagi?" serunya senang. Dia jadi bisa menanam lagi jika itu mang Udan, dengan yang lain rasanya canggung.
"Iya, non.. Baru hari ini mulai masuk kerja lagi,"
"Ga percaya gue," celetuk Tomi. "Cocok juga lo jadi tukang kebun," candanya.
"Biarin," sewotnya.
Mang Udan tersenyum melihat pengantin baru itu. "Selamat atas pernikahannya ya, non.. Mamang masih belum percaya non udah besar dan punya suami sekarang," kekehnya.
"Sama, mang.. Apa lagi modelan kucing," Jenny mengajak mang Udin lebih dulu.
Tomi mendengus melihat ke akraban pria tua yang masih bugar itu dengan istrinya. Tomi mengekor sambil menatap langkah Jenny.
Tomi membelit pinggang Jenny dan menariknya agak selangkah dengannya. Mang Udin tidak mempermasalahkan itu, dia terus bercerita selama dia sakit sesuai keinginan Jenny yang memang ingin tahu soal sakitnya.
"Masih sakit, bukannya diem di kamar!" bisik Tomi mengomel.
***
"Bunda ga mau ceritain? Kenapa semua akses ditutup, ga boleh datang ke reuni," Jenny jadi kesal.
"Belum saatnya, kamu sama Tomi masih proses diobati, nurut sama bunda, kalau kalian sembuh baru bunda lepas, kalian bebas.."
"Kita masih di obati, bun?" Tomi menautkan alis.
"Bunda masih sering ngobrol sama mbah dukun yang obatin kalian, orang itu masih coba buat narik Jenny ke dunia lain.. Makanya bunda ga mau lengah.."
Jenny terlihat semakin kesal. "Kalau gitu jelasin! Udah tahukan anak bunda itu nekad?"
"Jadi kamu ga mau nurut sama bunda?" Julia jadi terpancing emosi.
Sudah tahu dia sangat cemas akan keselamatan Jenny. Kenapa Jenny tidak patuh saja? Kelak jika urusan selesai, dia akan menceritakan semuanya.
"Bun.." Jenny terdengar frustasi. "Aku cuma mau tahu, siapa dan kenapa!"
"Tunggu sampai kamu hamil aja, bunda akan cerita janji,"
"Apa?!" Jenny semakin kesal. "Setelah nikah, aku harus hamil gitu? Terus nanti apa lagi?! Kenapa sih! Ada apa sebenernya!" amuk Jenny lalu beranjak pergi.
Tomi menatap kepergian Jenny.
"Tom, bujuk Jenny untuk nurut.. Dia bahkan belum boleh kuliah.. Dia masih butuh waktu buat sembuh sepenuhnya," isak Julia.
"Bunda tenang aja, Jenny akan nurut sama aku.." yakinnya.
***
"Ga boleh gitu sama bunda," Tomi menyimpan es krim dalam kotak besar itu ke bantal yang ada di pangkuan Jenny.
"Apa susahnya cerita?" kesal Jenny dengan masih terisak kesal.
"Mungkin itu syaratnya, ga boleh banyak cerita dulu.." Tomi membuka es krim coklat itu agar Jenny mengalihkan fokusnya.
Jenny menerima sendok itu dan mulai memakannya. Air mata pun mulai surut, es krim kesukaannya memang selalu enak dan bisa mengembalikan moodnya.
"Minta,"
"Engga!"
"Pelit! Atau oh iya.. Mau lewat mulut ke—"
"Nih!" Jenny menjejalkan es krim satu sendok sampai Tomi belepotan dan terbatuk pelan saking kaget.
Jenny terkekeh puas.
Tomi menatapnya tajam, berusaha menghabiskan dulu es krim di mulutnya.
Jenny mengulurkan lidah lalu menyeka bibir belepotan Tomi dengan cengengesan, di tatap tajam bukannya takut malah geli. Dasar Jenny!
Tomi diam, menatap lekat Jenny yang ternyata cakep juga. Tomi ikut menyeka bibir Jenny yang belepotan juga.
"Jangan gitu lagi ke bunda, bunda sama kesulitan kayak kita.. Dia dihantui kehilangan lo terus," nasehat Tomi mulai serius lagi.
"Apa gue penasaran salah?"
"Lo pikir gue engga?" Tomi menerima suapan Jenny lagi.
Keduanya asyik ngobrol sampai entah siapa yang mulai. Keduanya sudah saling tumpang tindih dan berciuman di atas kasur itu.
Mengabaikan Es krim yang sedikit lagi itu meleleh.
***
"Ha? Pindah? Terus kuliah lo?" Jenny sangat terkejut mendengar kabar itu dari Tomi.
"Keluarga gue udah setuju, bunda bahkan lebih setuju.. Kalau lo mau bebas, kita harus pindah.. Gue mau lo cepet sembuh, ralat! Kita sembuh!"
"Kemana?" Jenny terlihat berat untuk pindah.
"Ke rumah gue," Tomi asyik dengan laptop, mencari tiket untuk berangkat nanti.
"Ha? Ga mau, malu!"
"Ntar juga kenal, kan udah ketemu waktu nikah, oh iya, ga serumah sama ortu juga kok.." santai Tomi.
"Tapi,"
"Cepet beres-beres! Minggu depan kita pindah,"
"Ck! Selalu mendadak,"
"Gue juga ga tahu, yang.. Bunda sama papa, mama yang nyuruh,"
Jenny mendelik, lagi-lagi panggilan yang namun dia memilih bodo amat. Tomi memang seenak jidat.
"Ga usah manyun, kita baru beres making love! Jangan mancing,"
"Dih! Dasar kucing n*fsuan!"
"Yakin? Ucapan itu do'a!" Tomi beranjak, menatap Jenny seperti menatap mangsa.
Jenny melotot waspada lalu bergegas lari namun di tahan Tomi dengan gesit.
"Lo masih ga pake apa-apa! Mau keluar!" kesal Tomi karena kecerobohan Jenny yang bisa saja ada orang di luar.
Jenny mendengus sebal. "Yaudah lepas!" sewotnya.
"Engga! Gue masih mau liat tubuh—"
"Ihhh!" Jenny menggeliat sekuat tenaga lalu lari ke kamar mandi.
"Wow... Goyang semua," seru Tomi usil lalu terkikik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kutukan Cinta; Making Love (TAMAT)
Любовные романы#dewasa Apa mungkin terdampar di pulau terkutuk yang mengharuskan mereka menikah dan harus melakukan making love selama 30 hari setiap malamnya yang penuh syarat bisa membuat jatuh cinta? Mereka kan tidak pernah akur? Tomi dan Jenny akan menjawabny...