Jenny keluar kamar mandi, menatap Tomi lalu menggeleng. Menyerahkan test kehamilan itu pada Tomi.
Jenny mulai gelisah, apa dia tidak akan pernah sembuh dan terus di ganggu oleh makhluk tak kasat mata?
Apa dia memiliki masalah? Kenapa tidak kunjung hamil padahal dia dan Tomi sering berusaha sesibuk apapun kuliah.
"Apa harus periksa? Mungkin—" Jenny menjeda sejenak. "Gue ada masalah," cicitnya.
"Bisa aja gue," Tomi menyimpan beberapa test itu di kotak yang berisi tumpukan bekas test beberapa minggu yang lupa dia buang.
"Kalau gitu ayo, gue mau sembuh.. Gue ga bisa kalau setiap malem di ganggu, parno,"
Tomi mengusap bulatan hitam di bawah mata Jenny yang kini muncul semakin jelas. Jenny memang jadi susah tidur, makanya Tomi jadi terbawa karena memutuskan untuk berusaha agar syarat terakhirnya terwujud.
Dengan hamilnya Jenny. Kata si mbah, semua kutukan dari desa gaib itu bisa saja akan musnah sepenuhnya.
Semua bisa menjadi normal kembali. Harapannya begitu.
Tomi dan Jenny pergi ke dokter, banyak ilmu yang mereka dapat. Dan keduanya dinyatakan sehat, mungkin hanya belum waktunya.
"Gue akan berusaha, yang kuat ya, Jen.." candanya mencairkan suasana.
***
"Belum," Jenny telungkup di atas kasur, mengabaikan rambutnya yang masih basah. Lagi-lagi test kehamilan itu negatif.
Tomi menindih punggung Jenny dengan sebagian tubuhnya, dia ndusel di bahu Jenny yang wangi.
"Belum waktunya, kok jadi ngebet, gue seneng jadinya," kekeh Tomi dengan semakin menindih Jenny hingga protes kesal.
"Lo berat, argh! Tom! Minggir ga! Geli," Jenny menggeliat antara kesal dan geli.
"TOMI!"
Barulah Tomi menyerah, menampar pantat Jenny gemas lalu rebahan di sampingnya. Melihat itu Jenny balas tampar perut Tomi.
"Agh!" Tomi memeluk perutnya.
"Lo jadi suka tampar-tampar!" kesalnya lalu mendudukan tubuhnya di samping Tomi yang rebahan menatapnya.
"Tapi lo malah desah," usil Tomi sambil membelit perut Jenny agar duduk merapat dengan dirinya yang rebahan.
Jenny mendengus, menyandarkan setengah punggungnya di perut Tomi yang tidak buncit namun tidak berotot juga. Bisa di bilang ototnya samar, malu-malu meong.
"Kok gue ngalamin kayak gini ya? Ingatan bisa acak-acakan, masuk ke dunia di luar nalar," Jenny menatap lurus tembok kamarnya yang berisi foto random dia dan Tomi jika sedang jalan-jalan karena bosan.
"Mungkin itu cara alam jodohin kita," respon Tomi asal dan sekenanya, dia asyik modus mengendus perut Jenny yang memang hanya memakai kaos crop top tanpa lengan.
Jenny tidak merespon, dia diam mengusap rambut Tomi tanpa kegelian. Tubuhnya mulai menerima sentuhan Tomi walau kadang geli namun tidak parah seperti awal.
"Ntar lo buncit, isinya anak gue.. Kok gue seneng ya?" Tomi mendongak, manatap Jenny yang balik menatapnya.
"Iyalah! Lo pasti seneng karena prosesnya," sinis Jenny lalu mengulum senyum samar dan kembali menatap jajaran foto yang di tempel.
Ternyata dia dan Tomi sudah melalui banyak hal berdua tidak sebentar, dia jadi lupa kapan mereka seakur itu walau debat sering terjadi.
Tomi tertawa pelan mendengar respon Jenny lalu mengulum senyum sambil menatap betapa beningnya Jenny di matanya kini.
Dulu di matanya Jenny memang cantik namun hanya terhalang kelakuannya membuat Tomi melihat Jenny seperti monyet liar. Monyet liar yang cantik dan menarik.
"Wah, gue kayaknya mulai ga beres," celetuk Tomi setelah keduanya cukup lama diam.
"Ha? Apa kerasa efek—"
"Gue kayaknya cinta deh sama lo," potong Tomi dengan tampang serius. "Gue lagi jujur nih, ga becanda kayak biasanya,"
Jenny menganga refleks. Tiba-tiba membahas perasaan setelah sekian lama hanya usil dan di waktu yang tidak pas? Jenny hanya bisa mendengus walau jiwanya ketar-ketir.
"Gue serius, yang.."
Jenny mencapit bibir Tomi. "Ga usah ngadi-ngadi, fokus aja ke hamil dulu, soal cinta bahas udah sembuh aja, bikin kaget tahu ga!" sebalnya dengan pipi merona.
Tomi menatap Jenny geli, lucu sekali pipinya. Padahal sedang tidak memakai riasan, tapi semerah itu.
"Apa liat-liat!" galak Jenny lalu bergegas turun dan memilih mengeringkan rambutnya.
"Lucu banget sih, mau diajak main lagi kasihan, baru keramas," kikik Tomi.
***
"Tom, jendela kok ke buka.." Jenny melepas pelukannya agar Tomi bisa turun dan menutupnya.
"Gue udah tutup," Tomi memberanikan diri, jika tidak di tutup mereka bisa masuk angin.
Tidak ada apa-apa.
Tomi menguncinya lalu mulai kembali ke kasur, memeluk Jenny lagi.
"Lo tidur, mata lo udah kayak panda,"
Jenny menahan tangisnya. Sampai kapan dia dihantui kejadian-kejadian menakutkan. Rasanya Jenny stress.
"Inget kata dokter, jangan stress kalau mau cepet hamil," bisik Tomi yang membuat Jenny terisak tak tertahankan lagi.
Jenny merasa tertekan, dia berusaha menahannya berbulan-bulan, melampiaskannya pada Tomi dengan mengajaknya berdebat, meresponnya ketus dan sebagainya.
Malam ini Jenny ingin mengeluarkan semua yang dia telan.
"Sstt.." seperti biasa, Tomi akan mengalihkan fokus Jenny dengan bercinta. Bukan modus, dia hanya ingin Jenny fokus pada rasa nikmat.
"Jangan nangis," bisik Tomi dengan terus mengecup bibir, pipi lalu bibirnya lagi lama.
Tomi membelitkan selimut ditubuh mereka, dia mulai menjelajah dan Jenny perlahan mulai terbuai dan mendesah.
"Tom.."
"Hm?"
"Takut, di dalem aja," Jenny mengeri saat Tomi fokus pada badannya, dia tertinggal menatap langit-langit sendirian.
Tomi mengecup bibir Jenny sekilas lalu melebarkan selimut untuk membalut mereka sampai seluruh tubuh.
"Ga pengap?" bisik Tomi.
Jenny menggeleng lalu terpejam saat Tomi kembali menyatukan bibir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kutukan Cinta; Making Love (TAMAT)
Roman d'amour#dewasa Apa mungkin terdampar di pulau terkutuk yang mengharuskan mereka menikah dan harus melakukan making love selama 30 hari setiap malamnya yang penuh syarat bisa membuat jatuh cinta? Mereka kan tidak pernah akur? Tomi dan Jenny akan menjawabny...