Bagian 29 : Kumohon ....

277 44 2
                                    

Untuk Choi Jungkook.

Saya pada dasarnya bukan'lah ibu yang tepat untukmu. Saya tahu itu, hanya saja, saya ingin meminta maaf atas penderitaan yang selama ini kau derita. Luka tanpa henti yang selalu saya berikan. Itu tidak mencerminkan peran seorang ibu. Saya yang berkesempatan menjadi ibumu tidak bisa melakukannya dengan baik.

Saya terus menyalahkan setiap keburukan yang terjadi karena kehadiranmu, padahal kau adalah berlian yang dikirimkan Tuhan. Saya yang membuatmu hadir tetapi saya juga yang menelantarkanmu. Terkadang, nyeri ketika mengingat setiap mendengar suara tangisanmu karena hukuman yang kuberikan.

Saya tahu, saya bahkan lebih buruk dari seorang iblis. Setelah kejadian itu, saya dinyatakan mengalami gangguan mental dan berakhir di rumah sakit jiwa. Saya sudah tidak mengharapkan kehidupan apapun lagi, tetapi melihat seorang ibu yang selalu datang pada anaknya, bercerita mengenai manis anaknya yang sedang sakit, saya langsung teringat padamu. Ketika wanita itu bertekad untuk membuat anaknya kembali sembuh dari keterpurukan, saya juga tiba-tiba ingin sembuh agar bisa bersama lagi. Saya sangat ingin memelukmu.

Setiap hari yang berlalu, saya melakukan hal-hal yang diperlukan. Bibi Song juga selalu mengirimkan fotomu, saya memilikinya dan menaruhnya di sebuah jurnal foto yang selalu saya bawa, bahkan jika itu didetik-detik terakhir saya hidup, saya ingin memeluknya hingga ke liang terakhir nanti.

Dan lagi, ketika kau bertanya: apakah aku bisa memanggilmu ibu? Saya pasti akan selalu menolak, tetapi  sekarang, apa kau bisa memanggil wanita yang sudah berada diujung tanduk ini dengan panggilan ibu?

Saya hina, saya memang tidak pantas untuk mendapatkan maaf darimu, tetapi dari lubuk yang paling dalam saya ..., ibu ... meminta maaf untuk semua luka yang ibu torehkan. Ibu berharap kau bisa selalu bahagia dengan keluargamu, Nak.

Dari ibumu, Choi Hanni.

Jungkook langsung mengepalkan kedua tangan setelah membaca isi surat yang sudah mereka selotip—walau tidak terlalu rapi. Jihyo dibuat terpaku, matanya berkaca—surat itu terlalu menyentuh hatinya. Perlahan, Jihyo menoleh pada Jungkook yang pandangannya terlihat kosong. Nyatanya, kedua mata indah itu juga ikut berkaca—bahkan mulai tidak tahan terbendung, satu persatu menetes.

"Aku sama sekali tidak memahami kenapa Tuhan membuat alur hidupku seperti ini. Sialan!" Jungkook memukul meja. Ia langsung bangkit dari kursi sofa, meninggalkan Jihyo yang ikut bangkit dan terkejut melihat suaminya yang tengah mengenakan jaket.

"Senior, kau mau ke mana? Ini sudah larut malam."

Jungkook langsung menghentikan langkah. Ia menoleh pada sang istri yang begitu prihatin padanya, lalu melirik ke arah arloji yang ia kenakan. "Ini sudah larut, tetapi rumah sakit buka selama 24 jam. Aku akan ke sana. Tetaplah di sini—"

"Tidak! Aku mau ikut! Biarkan aku ikut!" Sambil menggelengkan kepala, menahan lengan sang suami yang bergegas meninggalkannya seorang diri. Lagipula, Jihyo juga penasaran, apa yang akan terjadi di sana. Setidaknya, ia harus ada di sisi Jungkook—mengantisipasi tidak ada hal buruk yang terjadi.

Walau sedikit ragu dan khawatir membawa istrinya keluar saat waktu yang sudah larut, Jungkook akhirnya setuju. Mengingat, Jungkook tidak bisa menahan untuk hari besok dan nyatanya, ia harus berbicara dengan penulis surat yang dipegangnya malam ini.

Alhasil, mereka berdua menuju Seoul University Hospital yang dianggap sang ibu ada di sana. Waktu itu mereka bertemu di sana, tetapi Jungkook juga ingin memastikan agar tidak terjadi hal merugikan karena salah tempat. Itulah kenapa Jihyo menghubungi Sohyun dengan ponsel Jungkook, kala sang empu pemilik ponsel tengah menyetir.

My Second LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang