Aku menghela napas untuk kesekian kalinya setelah Pak Ricky mengomel masalah kerjaan yang nggak kunjung beres. Padahal dia sendiri yang meribetkan semuanya. Meminta agar proposal yang akan dikirim ke kolega sesempurna mungkin. Masalah proposal saja ribet, padahal emang SOP-nya kan begini.
Boleh nggak sih nih orang kaya dikawinin aja biar nggak misuh-misuh mulu! Huft! Hobi banget marahin anak buahnya terkhusus diriku yang sedang punya hobi baru ini. Ya, hobi yang anti mainstream. Tahu nggak apa? Meraut pensil! Ya, benar! Wkwk. Entah sejak dua minggu lalu aku suka sekali meraut pensi. Kadang-kadang hobi meraut pensil membuat stresku hilang sejenak.
"Saya tunggu 30 menit dari sekarang, kalau masih nggak beres juga, kamu lembur malam ini."
"Lembur?" Aku memasang ekspresi kesal dan setengah sadar ingin menampar wajahnya yang ganteng itu. Ganteng tapi dia selalu hobi bikin emosi, bener-bener nggak menarik deh.
"Ya."
"Terus Pak Ricky nanti di kantor juga?"
"Ya, nggaklah. Ngapain saya di kantor. Nemenin kamu? Enak bener!"
"Saya di kantor sendirian begitu?"
Ricky melirikku dengan tatapan setengah puas. Dia mengangguk kecil.
Sialan emang ini bos! Hobi banget sih ngerusak acara karyawannya nanti malam. Astaga... nanti malam aku dan teman-temanku mau pergi ke pesta teman lama lagi.
"Pak, saya nggak mau lembur. Nanti malam saya ada janji sama Karina dan Sophia. Saya janji sore ini saya seleseiin semua revisi proposal. Pokoknya pasti bisa selesai kok, Pak. Suer deh!" Nyaris saja aku mengangkat jari tengah di depan wajah Ricky. Untungnya, aku masih sadar kalau Ricky adalah atasanku.
"Lagian kamu bikin proposal kaya gini aja nggak becus!" Katanya dengan nada angkuh sembari melempar proposal buatanku.
Apa tadi dia bilang? Nggak becus? Kalau bukan karena hutang alamarhum orang tuaku mungkin aku akan resign sekarang juga. Semua pekerjaanku selalu dibilang nggak becus. Cih!
"Kalau yang gini aja nggak becus apalagi ngurus suami."
"Eh? Maksud Pak Ricky gimana ya?" Tanyaku heran pada cara berpikir seorang bos kaya Ricky ini.
"Iya, kamu hal-hal kaya begini aja nggak becus apalagi nanti kalau kamu ngurus suami."
"Nggak ada sambungannya, Pak, bikin proposal sama ngurus suami."
"Adalah. Semua terlihat dari cara kamu ngurus pekerjaan."
Kayaknya semua yang aku lakuin itu salah deh di mata si Ricky ini. Semuanya serba salah. Kalau aja aku ini keturunan penyihir udah aku kutuk deh nih orang. Udah songong, sombong, banyak tingkah. Sok ganteng dan sok apa lagi ya...
"Lagian juga nggak ada yang mau sama kamu kan?" Ricky tersenyum miring.
Ngejek banget ya!
"Pak Ricky kok nyerang personal saya sih?"
"Siapa yang nyerang, kamunya aja yang baperan."
Kalau bisa sih aku jitak kepalanya.
"Emang Pak Ricky sendiri punya pacar?"
Dia menatapku.
"Kalau emang sendirinya juga single yaudah sih jangan ngejekin saya." Aku berkata dengan nada rendah dan mata yang menatap ke lantai bawah.
"Saya ini bos kamu loh, Fitri."
"Nama saya Davina, Pak."
"Nama kamu kan Davina Fitri. Saya lebih suka manggil kamu, Fitri."
"Ya, tapi saya lebih suka dipanggil Davina."
"Fitri."
"Davina."
Hening.
Kami saling menatap seolah sedang menyusun strategi agar menang dan mengalahkan satu sama lain.
"Haduh! Udah dong, Pak, Dav, kita ini orang-orang dewasa bukan anak kecil." Karina meletakkan berkas ke atas meja. "Dari tadi nungguin malah makin kaya kucing dan tikus."
"Kamu lagi ceramahin saya?" Ricky menatap tajam Karina.
"Hehe, ya nggaklah, Pak. Saya lagi ceramahin Davina." Karina menunjuk dengan jari telunjuknya ke kepalaku.
Aku mengambil proposal di atas meja. "Saya permisi, Pak, saya mau revisi proposal ini biar nanti malem bisa pergi ke pesta." Aku memberi tekanan pada kata 'pesta' biar Ricky tahu kalau aku bertekad kuat untuk nggak lembur nanti malam.
"Lihat saja, kamu nggak bakal bisa pergi ke pesta."
"Tapi, Pak, nanti..."
"Nggak ada tapi-tapi." Kata Ricky menegaskan.
Aku dan Karina saling pandang.
***
"Mungkin Pak Ricky pengen ikut." Ujar Shopia saat kami makan siang di kantin.
"Ngaco kamu, Shop. Nggak mungkinlah Pak Ricky mau ikut sama kita-kita. Dia kan emang sensi kalau sama Davina." Karina menghempas argumen Shopia.
"Apa sih alasan sebenarnya dia sensi sama aku?" Aku bertanya heran pada diriku. "Salahku apa?" Aku menatap Karina dan Shopia secara bergantian.
Mereka mengangkat bahu secara bersamaan.
"Mungkin kamu mirip mantannya Pak Ricky, Dav." Shopia menyantap nasi goreng seafood yang baru disajikan pramusaji.
"Nah, bisa jadi." Karina mengangguk setuju.
"Seharusnya kalau aku mirip mantannya aku diistimewakan dong!" Aku makin heran apa Pak Ricky itu disakitin mantannya gitu makanya dia benci sama aku?
"Nama mantannya tahu nggak, Dav?" Karina menyendok gado-gado dan memasukkannya ke mulut yang masih berisi sisa-sisa telur rebus. Mungkin Karina sedang kelaparan level tinggi.
"Nggak. Emangnya beneran mirip sama aku?" Aku menatap Karina dan Shopia secara bergantian.
"Namanya Lidya." Shopia berkata dengan mulut yang masih dipenuhi nasi goreng.
"Lidya Putri Narana Wijaya." Lanjut Karina.
"Ayahnya pemilik salah satu perusahaan batubara yang harga sahamnya lagi turun drastis."
"Oh ya?"
"Kasus suap." Karina ini seperti media berjalan yang tahu banyak hal soal hidup orang. Tapi, soal hidupnya sendiri. Entahlah. Dia mengikat rambut warna ash grey yang baru dua bulan lalu diwarnainya itu.
"Gosipnya sih Lidya hamil. Tapi, nggak tahu itu anaknya Pak Ricky atau bukan?"
***
Cerita baru nih ^^ Happy reading :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Possesive Boss
RomanceAdult Romance 21+ !!!Kayaknya semua yang aku lakuin itu salah deh di mata si Ricky ini. Semuanya serba salah. Kalau aja aku ini keturunan penyihir udah aku kutuk deh nih orang. Udah songong, sombong, banyak tingkah. Sok ganteng dan sok apa lagi ya...