Possessive Boss - 6

729 67 2
                                    




Kami melewati telaga biru, para pedagang dan sumber mata air sebelum sampai di atas bukit dan memasang tenda. Kami membuat 4 tenda. Satu untuk aku, Shopia dan Karina. Satunya untuk Novi, Mitha dan Dhea. Satunya lagi untuk Ricky, Aldy dan Jefry. Satunya lagi tenda khusus untuk masak mie instan. Selama di tempat camping ini sepertinya yang kami konsumsi hanya mie instan.

"Mommy!" Elsa berteriak padaku dengan mata melebar hingga semua orang yang sedang sibuk menyiapkan tenda menatap ke arahku.

"Mommy?" Mitha melihatku heran.

"Ada ulet di sepatu mommy." Elsa menunjuk ke arah sepatuku. Ulat hijau sedang bergerak-gerak di atas sepatuku.

Dengan santai aku mengambil ranting kayu dan menyingkirkan ulat itu dari sepatuku. "Thank you, Elsa."

Elsa tersenyum ke arahku. Aku melihat Mitha, Novi dan Dhea menatapku dengan tatapan nggak suka. Ah, aku udah biasa ditatap kaya begitu sama mereka.

***

Pukul 7 malam kami bersiap menyantap mie instan yang dibuat Karina dibantu aku dan Shopia dan juga Elsa yang menyiapkan bumbu-bumbunya di mangkok. Kami duduk memutar di atas tikar. Elsah duduk di sampingku. Aku rasa dia memang udah nyaman sama orang asing yang dipanggilnya 'mommy' ini. Aku nggak tahu apa ini semacam keajaiban atau semacam kutukan menjadi ibu dari ponakan bos macam Ricky.

Dhea duduk di samping Ricky. Dan dia menatapku sesekali dengan tatapan yang seolah berkata, 'aku benci kamu, hei!' ya, itu tatapan yang aku tangkap dari mata Dhea. Dia naksir Ricky sepertinya. Setiap kali Ricky menoleh ke arahnya, Dhea tampak manis. Mirip seperti saat aku memergokinya mengintip Ricky dari balik jendela.

Bener-bener orang nggak ada kerjaan sih sampai-sampai ngintipin Ricky. Aku mah ogah!

"Elsa itu ponakan, Pak Ricky?" Tanya Dhea dengan nada suara lemah lembut. Entahlah. Modelan suaranya emang begitu apa khusus saat ngobrol sama Ricky aja. Aku tentu aja nggak akan bisa ngobrol dengan nada lemah lembut sama Ricky.

"Iya." Jawab Ricky singkat.

"Kenapa Elsa manggil Davina mommy?"

Ricky sempat menatapku sebelum menjawab pertanyaan Dhea. "Elsa lihat aku bawa Davina ke rumah jadi Elsa pikir Davina mommynya."

"Ke rumah?" Dahi Dhea mengernyit. Semua mata kini tertuju pada Ricky.

Dengan agak kikuk Ricky mengangguk. "Ya," dia kembali menatapku. "Ada berkas yang mesti dibawa Davina dan saya menyuruh Davina pergi ke kantor lagi sendirian."

Bohong! Jelas-jelas kita ke kantor barengan. Oke, selain sombong Ricky juga agak lumayan bisa berbohong. Tapi, kayaknya nggak ada yang percaya deh sama jawaban Ricky.

"Usttt," Shopia menyenggol lenganku.

"Apa?"

Matanya mneyipit ke arahku. "Udah pernah main ke rumah Pak Ricky?" Bisiknya.

"Rumah orang tuanya."

"Kalau ke sana lagi ajakin gue dong!"

"Ogah!" Aku menjulurkan lidah dengan kilat.

***

Aku membantu Karina yang mencuci piring. Tiba-tiba Mitha datang dan nimbrung di antara kami.

"Hai, Mith." Aku menyapanya. Terakhir kali menyapanya mungkin sebulan yang lalu karena tiap kali kami papasan dia selalu buang muka.

"Ya. Eh, boleh nggak sih kalau ruangan gue dipindah ke ruangan Pak Ricky. Maksudnya berdampingan gitu sama ruangan Pak Ricky. Soalnya kan gue sering banget tuh minta tanda tangan Pak Ricky, gue ngerasa ruangan gue jauh banget kaya dari planet bumi ke pluto kalau ruangan gue masih tetep di sini."

"Lah, bilang aja sama Pak Ricky sendiri kenapa bilangnya ke gue. Emang gue bisa pindahin ruangan lo. Gue bukan hulk ya." Sembur Karina yang emang udah lama nggak suka sama Mitha dan Novi.

"Gue bukan ngomong sama lo. Gue ngomong sama Davina."

"Ya terus hubungannya apa sama Davina? Davina bakal mindahin ruangan kerja lo gitu? Kan yang sekretarisnya Pak Ricky elo itu artinya lo lebih deket dengan Pak Ricky dibandingkan Davina yang staf biasa."

"Betul!" Aku setuju dengan ucapan Karina meskipun fakta di lapangan aku lebih dekat dengan Ricky dibandingkan Mitha. Bahkan Ricky lebih sering minta bantuan aku dibandingkan Mitha.

"Lo pengen Davina yang ngomong masalah ini ke Pak Ricky? Lo sama aja dengan ngebuat Davina dimarahin Pak Ricky. Lo nggak tahu sih sesering apa mereka adu mulut. Gendang telinga gue sering banget bergetar tiap kali denger suara Davina dan Pak Ricky."

Aku terbahak mendengar cerocosan Karina.

Mitha pergi dengan wajah kesal.

"Lo, tuh, ya, emang bener-bener mak lampir."

Karina memonyongkan bibirnya lima senti.

"Kalau lagi ketawa-ketawa begini tuh ajakin gue napa." Shopia protes.

"Lo, nggak bantuin gue cuci piring." Karina balas protes Shopia.

"Eh, daritadi gue liatin cowok yang di sana." Shopia menunjuk ke arah tenda sebelah di mana ada seorang cowok yang duduk di kursi lipat di depan tenda itu sambil membaca buku.

Tunggu! Mukanya kaya nggak asing.

"Kaya kenal deh." Kataku.

"Serius, Dav?" Shopia bertanya dengan mata mencilak.

"Kaya nggak asing mukanya."

"Ayo, kita ke sana. Bantuin gue. Gue pengen kenalan sama tuh cowok. Ganteng banget!"

"Lo, nggak bisa liat cowok gantengan dikit ya. Langsung gatel begitu?" Karina heran sama temennya yang somplak itu. Aku pun heran dengan Shopia. Nggak bisa liat cowok gantengan dikit.

"Bukannya lo suka sama Pak Ricky."

"Ya, gue dikacangin terus sama Pak Ricky. Sekarang saatnya move on."

Cowok itu menatap ke arah kami. Dia tersenyum. Lebih tepatnya tatapan dan senyumannya tertuju padaku. "Davina!" Dia memanggilku.

Aku sempat melongo mendengar dia tahu namaku.

"Dia kenal lo, Dav?" tanya Shopia.

***

Possesive BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang