Cinta Semesta 02

157 9 1
                                    

"Kamu memberiku bahagia sebanyak luka yang dihadiahkan semesta

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kamu memberiku bahagia sebanyak luka yang dihadiahkan semesta. Lalu aku berpikir–cukup adil rasanya ketika aku terus menerus terluka dan kamu terus menerus ada."

Song recomendation - Here With Me by D4vd

***

"Lansung mandi terus istirahat," titah Arsenio begitu Bulan turun dari motornya. Mereka sampai di rumah hampir pukul sepuluh malam. Setelah menghabiskan waktu berhujan-hujan di taman, keduanya lanjut mengelilingi kota dan singgah di beberapa tempat.

Bulan mengangkat telapak tangannya miring di depan kepala, membentuk sikap hormat seperti seorang ajudan kepada pimpinannya. "Aye aye captain!" ujar Bulan lantang.

Arsenio terkekeh, sebelum pergi ia sempatkan dulu untuk mengusap lembut puncak kepala sahabat kecilnya itu. "Gue pulang dulu, ya?"

"Bye bye Arsen!"

Bulan melihat Arsenio mulai beranjak memasuki gerbang bangunan samping. Kediaman mereka bersebalahan dengan hanya dibatasi oleh sebuah tembok setinggi kurang-lebih 2 meter saja.

Setelah lelaki itu benar-benar hilang dari pandangan barulah Bulan berbalik. Saat sampai di teras rumah, gadis itu menghela nafas berkali-kali. Dalam hati ia berharap kedua orang tuanya sedang tidak berada di rumah.

Namun, harapannya pupus begitu ia masuk. Di ruangan lapang beraroma summer breeze itu Irfan dan Miranda telah menunggu kedatangannya dengan ekspresi dingin mereka.

"Ma, Pa," sapa Bulan gugup, dia melirik takut-takut ke arah tangga. Seandainya bisa, Bulan ingin sekali berlari ke sana dan segera masuk ke kamar lalu mengurung diri sampai pagi.

"Dari mana saja kamu jam segini baru pulang?" tanya Irfan datar namun berhasil membuat jantung Bulan berdegup keras.

"Main sama Arsen, Pa," suaranya mencicit ketika pria tinggi itu kini berjalan mendekat. Bulan menundukkan pandangan menatap lantai, ia sudah bersiap jika pecut berbahan rotan di tangan ayahnya itu segera melayang dan menghempas tubuhnya.

Plak Plak Plak!

Sesuai predikisi.

Suara pecut berdesing ketika dihempaskan ke bagian kaki Bulan secara brutal. Gadis itu menggigit bibir menahan rasa perih menjalari betisnya.

"Dasar telinga batu! sudah berapa kali papa melarang kamu untuk tidak keluyuran, hah?!" bentak Irfan tepat di depan wajah putrinya.

Plak Plak Plak!

Lebih keras.

"Kerjaanmu hanya bermain dan bermain. Pantas saja peringkatmu di kelas tidak pernah beranjak dari peringkat tiga sialan itu."

Apapun jenis pelanggarannya, makiannya selalu sama dari waktu ke waktu. Tentang peringkat kelas.

Plak Plak Plak!

Cinta SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang