ac

2K 274 37
                                    

"Kata-kata terakhir?"

Sosok dengan wajah lebam penuh luka di tengah ruangan sontak mendongakkan kepala seakan menantang keras pandangan membunuh Seungcheol yang kini dengan santainya mengganti senjata. Mengisi peluru satu per satu. Tak melepas mata pada manusia rendahan di kakinya.

"Kau pikir.. aku akan mati?
Kau pikir aku akan rela pergi ke neraka menyusul orang yang pernah ku cinta?
Aku lebih suka bertahan hidup untuk memastikan orang-orang mendapatkan takdir cinta yang sama seperti ku ketimbang menyusuli cinta masa lalu yang tidak ada gunanya!"

"Aku tidak tanya pada mu."

"Persetan kau-!"

"Aku tanya pada Mei."

"..."

"N-ne?"

"Mei ada kata-kata terakhir untuk Papa mu?"

"..dia bukan Papa."

"Singkat. Padat. Jelas.
Ku rasa ini saatnya bilang selamat tinggal."

"Papa?"

Keberanian dari mana seorang Peter untuk menolehkan kepala atas panggilan selembut itu?

Tentu saja suara tersebut ditujukan pada Seungcheol. Makanya sebelum Peter menoleh sempurna ke arah Mei, kaki tuan Choi sudah lebih dulu mendarat pada ujung kepalanya. Memaksa pria itu tersungkur dan mencium tanah tanpa bisa melihat putri kandungnya berjalan pelan ke arah mereka.

Kedua tangan mungil menengadah pada Seungcheol, meminta sesuatu yang sedari dulu ia idamkan.

"Berikan pistolnya.
Mei mau bunuh Papa."

Semua bergerak serentak dalam sedetik.
Jeonghan berdiri di antara Mei dan Seungcheol.

Soonyoung menarik tangan Mei hingga berbalik menghadapnya. Sementara Chan sigap mengamankan senjata dari tangan sosok tertua.

Tentu saja Seungcheol tidak bereaksi.

Ia tau Mei punya niatan seperti itu dulu, bahkan Mingyu juga pernah mendengarnya langsung, tapi..

..sungguh?

Apa mereka benar-benar akan membiarkan anak perempuan membunuh ayahnya sendiri?

"Mei. Lihat Papa Soon.
Tidak bosan kamu, Papa ceramahi bahwa kekerasan itu tidak baik?"

"...."

"Kita pergi dari sini.
Jihoon-!"

"Mama..

Kalau itu Mama..

Mama pasti rela pergi ke neraka dengan orang yang dicintainya."

Memang kaki Seungcheol masih bertengger pada kepalanya, tapi.. apa ini?

Apa yang tiba-tiba menampar pipinya secara kasat mata?

Realita? Perasaan cinta? Omong kosong belaka?

"Papa.
Cinta itu.. ketika kalian merasa tenang juga senang saat mendengarnya bersuara, kan?"

"Bukankah Papa juga ajarkan kalau cinta tak selamanya tentang suka? Dua bahu ada diciptakan untuk berbagi duka."

"Bahkan marah pun merupakan tanda cinta yang tak semua orang bisa terima."

"Cinta yang berubah, cinta yang terpaksa, cinta dibentuk dari penyesalan.
Semua Mei kenal dari Papa tiga belas."

"..."

"Ne, Papa.

Semua yang Mei sebutkan..

Papa tak pernah rasakan, benar?"

13 Papa [Seventeen MxM]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang