prolog

980 48 6
                                    

jika lukamu sebesar lautan biarkan ikhlas mu membentang seluas langit
.
.
.
.
.
.
.

   Suara adzan mulai berkumandang, sosok pemuda yang tadinya duduk tenang menikmati senja yang beberapa menit tenggelam, kini mulai bangkit melangkahkan menuju masjid terdekat. Sebelum memasuki masjid bian terlebih mengambil sarung yang biasa ia simpan di bagasi motornya.

   Tetesan air wudhu mulai mengalir, bian melakukan wudhu, ngusap wajahnya dengan air yang mengalir sambil menggumam niat wudhu.

   Langkahnya mulai memasuki bangunan masjid, "mas, mau komat?" seorang bapak bapak yang cukup umur mempersilahkan bian untuk komat.

   "nggih pak," ujar bian, langkahnya mendekat ke arah tempat imam, badannya menghadap kiblat, ia mulai memasukan kedua anak jari ke dalam telinga.

اَللهُ اَكْبَرُ ،اَللهُ اَكْبَرُ

Allaahu Akbar, Allaahu Akbar.

أَشْهَدُ اَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّااللهُ

Asyhadu allaa ilaaha illallaah.

اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ

Asyhadu anna Muhammadar rasuulullaah.

حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ

Hayya ‘alash shalaah.

حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ

Hayya ‘alal falaah.

قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ ،قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ

Qad qaamatish shalaah, qad qaamatish shalaah.

اَللهُ اَكْبَرُ ،اَللهُ اَكْبَرُ

Allaahu Akbar, Allaahu Akbar.

لَاإِلٰهَ إِلاَّاللهُ

Laailaaha illallaah

   "monggo pak," Bian mempersilahkan bapak bapak tadi, untuk mengimami sholat magrib yang akan berlangsung, dan mundur beberapa langkah untuk memasuki saff pertama.

   Setelah sholat selesai bian berdiam diri di masjid, hingga jamaah lainnya mulai beranjak pergi. Hatinya mulai tenang, doa doanya tetap sama setiap saat, doa doa tak pernah berubah, jika bertambah pun ia hanya mengucapkan kata syukur atau hidup ini.

   Benda di sebelah lutut bian mulai bergetar, layarnya menyala terdapat sebuah telfon masuk. Bian beranjak terlebih dahulu keluar dari masjid sebelum mengangkat telfon tersebut. "Assalamualaikum, ada apa li?" tanya bian.

   "oh ini yan, bisa kesini sebentar ga? motor gue mogok nih tiba tiba, kalo bisa panggilin montir sekalian bisa? Lo ke sini sama montir," jawabnya dari sebrang telfon, itu adalah teman bian, Ali namanya, teman satu bangku di sekolahnya.

   "Salamnya dijawab dulu Li."

   "Eh iya astaghfirullah maaf, waalaikumsalam yan, jadi bisa bantu gue ga yan?" tanyanya.

   Bian tanpa berpikir panjang mengiyakan, masalah pulang bisa nanti, toh ada yang membutuhkan. "Iya bisa li, share lock aja, ini gue kesana, kalo ada apa apa kurang apa apa chat aja, gue tutup assalamualaikum." Bian mematikan sambungan telfon setelah mendengar jawaban dari Ali.

   Namun saat hendak melajukan motornya yang berada didepan gerbang masjid, ia malah melihat siluet mamanya yang sedang bersama pria lain ditaman kota, letak masjid benar benar berhadapan dengan taman kota. Bian hendak menyusul, bertepatan dengan tatapan mereka yang bertemu, yang mama sudah menatap tajam bian dari kejauhan, seakan melarangnya untuk mendekat.

   Hatinya enggan mendekat, namun raganya ingin sekali menarik mamanya untuk pulang. Ia bergelut dengan pemikirannya sendiri. Hingga tanpa sadar mamahnya sudah tak terlihat dari jangkauannya.

   "Sampai kapan mama kek gini ma?" gumamnya, bian menyusuri jalanan kota, beberapa kali ia gagal fokus untuk melihat jalanan, terkadang pikirannya selalu memikirkan keluarganya.

   Keluarga lengkap benar benar hanyalah sebuah formalitas semata, ayahnya yang selalu lembur tanpa mengenal pulang, ibu nya yang kesepian mencari belaian pria lain, mereka menikah tanpa cinta, hanya pernikahan karena sebuah perjanjian bisnis. Sekalinya sang papa pulang, bian akan menjadi sasaran kemarahan ketika melindungi mamanya yang ketahuan selingkuh. Abangnya memilih pergi dari rumah, dan tinggal sendiri. Abangnya kabur meninggalkan dirinya yang terus terkurung didalam rumah.

   Di saat pikirannya mulai kacau, fokusnya pun mulai kabur, pandangnya kian memburam, tepat di lampu lalu lintas selang beberapa detik, bian ambruk seketika. Entah apa yang terjadi pada tubuhnya, ia merasakan sebuah hal yang aneh. Bian sedikit bisa melihat beberapa orang mulai mengerumuninya, riuh suara panik juga sedikit terdengar di pendengarannya, beberapa kali ia mencoba bertahan untuk tetap sadar, bian nyatanya kalah. Padahal ia harus membantu ali, ia harus menyusul ali. "Maafin gue li, gue ga kuat." lirihnya, hingga tak lama matanya benar benar tertutup sepenuhnya dengan kesadarannya yang ikut hilang.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
TBC

  


  






seribu topeng berbalut lukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang