bab 22 [paragraf untuk hari yang manis, ayo sholat berjamaah]

202 27 0
                                    

Proses orang itu masing masing bukan? Jadi berhentilah membandingkan dirimu dengan orang lain.

Manusia terkadang cukup aneh ya? Jika ada orang' yang membandingkan dirinya dengan manusia lain, pastinya ia akan merasa tersinggung, berfikir kenapa harus di bandingkan? Toh manusia berbeda beda, toh prosesnya masing-masing, toh alur hidupnya juga beragam, kenapa harus di bandingkan dengan manusia lain, oleh sama sama manusia? Tapi bukannya tanpa sadar kita juga sama sama membandingkan diri sendiri? Tak mau di bandingkan oleh orang lain, malah membandingkan dirinya sendiri dengan orang lain. Kenapa aku tidak bisa sepertinya? Kenapa aku tidak berhasil sepertinya? Banyak sekali pertanyaan itu muncul dari benak diri sendiri. Dan pikiran pikiran itu selalu berkecamuk dalam sunyi, ricuh dalam diam. Pikiran pikiran itu akan selalu berbisik dan mengusik jiwa kita yang sedang lelah. Jiwa kita yang sedang mencari jati diri.

"Kenapa?" Pertanyaan itu muncul, kenapa rasanya banyak yang ia tidak ketahui, banyak yang ia tidak ketahui tentang keluarganya. Padahal dia selalu ada di dalam rumah, seakan dia bisa menyaksikan semua yang terjadi di rumah itu, namun seperti tidak begitu, nyatanya ia malah seperti tidak pernah tau perihal apapun, selain pertengkaran orang tuanya yang menikah tanpa cinta. "Di pikir pikir kenapa papa selalu gila kerja tanpa kenal waktu? Dipikir pikir kenapa abang lebih milih kuliah di luar kota? Dipikir pikir kenapa mama ga pernah mau sayang ke gue? Di pikir pikir itu kenapa ya?" Bian menundukkan kepalanya, jari jari tangannya saling bertautan, pikirannya begitu berisik di sertai dengan rasa pening yang ikut menemani.

"Gue itu ga tau apa apa, ah iya? Gue kan ga di anggap, makanya ga tau apa apa." Lagi lagi bulir air mata itu jatuh. Bian tak mengerti dengan keluarga yang penuh dengan kerumitan ini. Bian tak mengerti dengan dirinya sendiri. Bian tak mengerti apapun.

Perang ini kapan akan usai?

Bian berbaring di atas kasurnya menatap langit-langit, membayang gambaran keluarga bahagia itu seperti apa?

"Keluarga bahagia itu yang ayahnya pakai kolor, ibunya pakai daster? Anaknya bugil?" Bian terkikik sendiri membayangkan hal tersebut. Sosok ayah dengan kolor hitam yang sedang mencuci mobil dengan ibu yang memakai daster rumahan sambil memasak, dengan anak balita yang tidak memakai baju sedang bermain air kran, menemani sang ayah. "Kira-kira gambaran keluarga bahagia itu gimana lagi?"

"Keluarga bahagia itu? Yang setiap hari di ucapin selamat pagi?" Alisnya menukik sedikit. "Alay ga si? Kaya, pagi? Selamat pagi, aneh lah, dikit. Apa ngucapinnya malah GM familly?"

GM:good morning

Bian akan kembali membayangkan contoh contoh lain gambaran keluarga bahagia. Namun saat akan melanjutkannya adzan isya sudah mulai berkumandang. Lantunan suara adzan membuat bian terdiam, menikmati suara hingga usai.

Bangkit dari tempat tidurnya, mengambil air wudhu.

"Bi? Di dalem?" Belum lama melangkah, suara dari luar, membuatnya membalikkan langkah menuju pintu. Melihat siapa sosok yang memanggilnya.

Sosok dengan rambut lepek, yang sudah basah. Kaki yang sudah di balut dengan sarung berwarna merah maroon, baju koko yang sudah terpakai dengan rapi. Bian cukup tersentak kecil, melihat bagaimana sosok didepannya ini berpenampilan, apa ada sesuatu yang sedang merasuki pemuda tersebut?

"Belum sholat?" tanyanya. Bian tersadar dari lamunannya, ia menggeleng pelan menjawab pertanyaan itu tanpa suara.

"Mau sholat bareng? Ke masjid, sama papah juga?"

seribu topeng berbalut lukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang