bab 21 [rumah itu luka]

242 27 0
                                    

Bayangkan saja, rumah yang seharusnya menjadi tempat beristirahat malah menjadi tempat bersarangnya luka, rumah yang bertanggung jawab sebagai rumah meninggal tanggung jawabnya, membuat kita tak tahu arti rumah itu bagaimana?
.
.
.
.
.
.
.

Biantara lingga, namanya pemberian dari sang kakek, adalah nama yang menjadi harapan besar. Biantara lingga yang berarti pria yang berkuasa dan pemberian.

Ayah dari hendra yang menamai putra bungsu hendra. Harapan besar tersemat untuk bian, kakek ingin bian menjadi pion yang sempurna untuknya, namun semua nya salah semuanya sirna, bian tumbuh menjadi anak yang biasa biasa' saja.

Kakek, yang melihat pertumbuhan bian secara jauh, tanpa bertemu secara langsung, malah mendapat kekecewaan karena cucunya hanyalah anak biasa, tidak mempunyai bakat atau sisi yang bisa di banggakan.

"Ternyata anak cacat, padahal sudah saya tunggu selama bertahun-tahun, dia tumbuh menjadi anak yang cuma bisa ketawa sana sini, udah kaya ga punya masa depan." Sosok angkuh dengan balutan jaz berharga puluhan juta, celana hitam bahannya dengan harga yang fantastis itu adalah sosok yang gila akan kuasa, gila akan uang. Sosok berumur itu hanya bisa memandang manusia dari sisi kekuasaan.

"Anak cacat itu, ternyata ga berguna, padahal namanya udah saya kasih bagus bagus, tapi ya harapan saya terlalu jauh, jalan satu satunya, cuma hendra dan anak sulungnya, jendra yang masih bisa menjadi pion saya, mereka akan menjadi sosok hebat dan menjadi sosok tinggi di kalangan rakyat kecil," ujarnya tertawa remeh, tawanya benar' benar sangatlah meremehkan, tawanya berhenti dengan ketukan jari yang mulai terdengar lebih cepat.

Matanya tetap fokus pada layar cctv di depannya yang sedang memantau sang putra, sosok hendra yang berkerja tanpa kenal waktu itu juga adalah karena tuntutan.

"Jadilah hebat hendra, jadilah sosok yang saya impikan, kamu hebat anak papa." Senyumnya sangat lebar, terlihat begitu mengerikan. Sosoknya yang menyandang gelar orang tua itu adalah sosok yang begitu buruk dalam mendidik, dan ada cinta yang terselip didalamnya, semuanya dibutakan oleh impian kekuasaan yang tiada batas.

Kira kira bagaimana jika bian tau mengenai hal ini? Bian tak pernah mengerti apapun, bian hanya tau keluarganya yang hancur, bian tak mengenal kakek neneknya, bahkan keluarga orang tuanya, kecuali Bayu, yang memang mendekat dan mengenalkan diri kepada bian, selain itu bian tak mengenal siapapun, seakan dia tidak berhak mengenal atau memasuki ruang lingkup tersebut, hanya karena bian sosok yang cacat.

"Jen? Adik kamu bukan anak yang cacat," pembicaraan penuh luka menjadi pembukaan awal,  antara ayah dan anak. Atap perusahaan menjadi tempat mereka untuk berbalas kalimat, dengan senja yang ikut menyertai suasana mereka.

Jendra menatap lamat, langit jingga didepannya. Mendengar sang ayah menyebut bian sebagai adiknya malah membuat jendra terkekeh miris, rasanya tak pantas untuk dirinya menjadi seorang kakak, adik seperti bian malah mendapat kakak yang seringkali menyakitinya. "Cacat dari mananya? Bodoh namanya kalo bian itu di bilang cacat."

"Kakek kamu bodoh jen?"

"Pake tanya, jelas, adik aku kok di bilang cacat, rabun kali si tua itu ya." Nada terkesan datar, sedikit menyeduh membuat jendra larut dalam pikirannya.

Hendra juga tak jauh beda, sama sama tenggelam dalam jingga, ia berlarut bersama kerumitan yang tak kunjung terurai. "Adik kamu udah pulang dari rumah sakit? Dia sakit apa jen?"

seribu topeng berbalut lukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang