bab 27 [perihal siapa yang akan mati terlebih dahulu]

210 31 10
                                    

kepingan luka yang tertoreh, kepercayaan yang kian sirna, ego yang menjadi penguasa, bagaimana jika mereka disatukan? Bagaimana jika sesosok manusia berbalut luka, harus berhadapan dengan sosok egois penuh ambisi akan kekuasaan?
Mereka tak menyatu, ingat! Mereka tak akan menyatu! Mereka saling melawan, satu melawan untuk bertahan satu lagi melawan untuk menyerang. Tapi akankah mereka benar-benar tak akan menyatu?

.
.
.

Badai telai dimulai, puncaknya mulai membara, namun bodohnya mereka tak saling menyadari.

"Ehhh, pak maaf, saya- saya ga sengaja," ujarnya sesal. Bian merasa tak enak hati, pada sosok di sebelahnya. Ada getaran aneh pada hatinya saat melihat manik tersebut, melihat mata pria paruh baya tersebut, seperti mengingatkan nya pada seseorang. "Maaf? Bapak gapapa?"

"Bang, kita balik ke ruangan ya," tutur reynan, pamit pada bian. Bian menoleh pada reynan, mengangguk kecil.

"Iya, hati hati ya. Cepet sembuh buat kalian, terus semangat okey!!" ujarnya dengan ceria, bian memberikan senyuman manisnya.

Mereka berlima sama sama membalas senyuman bian. Saling melambaikan tangan sebelum akhirnya mereka pergi.

Tanpa di sadari, interaksi kecil itu tak luput dari pandangan sosok pria paruh baya tersebut. Melihat senyuman tulus itu cukup membuatnya terdiam, perasaanya terasa asing, bukan perasaan ini seperti? Terlalu ambigu?

"Maaf pak?" Bian menyadarkan sosok tersebut, melihat raut kebingungan dari sosok di depannya membuat bian bertanya.

"Raut wajah kamu ga asing, apa kita pernah bertemu?" Pria paruh baya tersebut bertanya, wajah sosok remaja didepannya ini terlihat tampak familiar menurutnya.

Bian merasakan hal yang sama, wajah sosok didepannya memang sangat asing, namun tatapannya seperti mirip dengan seseorang, namun siapa?

Bian menggeleng pelan. "Kayaknya engga deh pak, saya belum pernah bertemu bapak di manapun?" Ia ragu, benarkah ia belum pernah bertemu? Atau memang sudah namun ia tak ingat? "Eh ngomong-ngomong, bapak mau kemana? Mau saya antar aja?" Bian basa basi, jujur saja ia malas kembali ke ruangan itu, sendirian hanya akan membuatnya kembali dilanda oleh sepi.

Pria paruh baya itu terlihat menimang perkataan bian, pikirannya jelas menolak, namun hatinya ingin sekali berdekatan dengan sosok didepannya ini. Semuanya terasa tidak biasa dan janggal. "Saya cuma mau jalan jalan cari angin," jawabnya.

"Oh kalo gitu sama dong pak, saya juga cari aing. Bareng aja pak gimana?"

"Iya." Mereka berjalan beriringan, tanpa ada obrolan yang keluar dari keduanya. Hingga perasaan canggung mulai bian rasakan.

"Oh iya maaf, nama bapak siapa? Biar enak kalo misal ngobrol?" Bian membuka suaranya terlebih dahulu, membuka topik memusnahkan suasana penuh kecanggungan ini.

"Jangan panggil bapak, kakek atau opa aja, apa saya keliatan semuda itu?" ujarnya terkekeh ringan, entah kenapa sosok didepannya bisa membuatnya terkekeh? Sosok didepannya begitu misterius untuknya.

"Ehhh? Beneran pak? Eh kek? Opa? Jadi saya harus manggil apa?" Bian tak habis fikir, ia kira sosok didepannya ini masih seperti seorang bapak bapak.

"Panggil opa aja biar keren?"

"Boleh deh, opa?" Jantung pria paruh baya tersebut berdetak tak biasa, mendengar panggilan tersebut membuatnya terasa begitu menggelitik untuknya.

seribu topeng berbalut lukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang