bab 8 [berkelahi dengan ego]

260 30 12
                                    

Jangan terlalu tertutup, berbicara dan bercerita juga bisa menjadi sandaran, sandaran bukan hanya meletakan bahu pada dinding, bukan hanya meletakan kepala pada bahu, bercerita apa yang ada dihati mengungkapkan sesuatu agar semuanya tak terasa berat juga merupakan sandaran
......
Bahkan dahimu yang menyentuh sajadah sudah termasuk bersandar
.
.
.
.

Ruangan yang baru saja bian pijak itu tak pernah ia sangka sama sekali, ia bahkan tak pernah terpikir akan berakhir menginjak kaki di lantai ruangan ini, duduk di sofa menghadap wali kelas, di dalam ruang bimbingan konseling, bian duduk dengan pikiran yang kacau.

"Jadi siapa yang mulai duluan?" Pak eja, bersuara. Ketukan tapak sepatunya begitu terdengar ditengah senyap nya ruangan ini. Pak eja, guru bk yang juga menjadi wali kelas, anak anak didepannya. "Ini ga mau ada yang buka suara? Mau jadi jagoan kalian? Tadi saja koar koar, tonjok tonjokan, adu mulut, sekarang kok bisu?" Nadanya mengintimidasi, pak eja tak tahu akar permasalahannya, yang ia tau hanya perkara makanan dengan rasa tak layak.

"Saya nonjok duluan pak, saya emosi, radit dengan gamblangnya bilang kalau makanan yang saya bawa itu ga enak." Bian buka suara, ia memantapkan isi hatinya, ia dengan lantang menyuarakan apa yang ia rasakan. Soal mamanya bian begitu sensitif.

"Yang saya omongin itu bener pak, saya peduli sama bian, kalau makanan yang dia makan itu ga enak dan ga layak dimakan, saya juga takut bian kenapa-kenapa pak, eh malah saya kena pukul." Radit tak mau kalah, ia tak salah bukan, ia itu korban, ia bahkan mengalami luka diwajahnya karena beberapa pukulan dari bian. Robek disudut bibirnya begitu tercetak jelas, ditambah darah kering yang masih tercap apik disudut bibir radit.

Pak eja menimang sebentar, ia harus melihat dari sudut pandang keduanya. Pak eja hafal betul, bian bukan tipikal orang pemarah, bahkan bisa dibilang sabar, tapi ia baru melihat bian bisa semarah itu hanya perihal makanan. "Bian? Kenapa kamu bisa semarah itu? Bisa jelaskan, biar bapak sama radit paham titik kemarahan kamu."

Ia tak mau berbicara, ia bungkam, bibirnya kelu, jari jarinya bertaut, sesekali ia mainkan. "Saya salah pak, saya minta maaf." Bukannya menjawab, bian malah menghindar.

"Jawab saya bian? Kenapa kamu bisa marah?" Pepet pak eja, tatapannya tak lepas dari tatapan bian yang mencoba berlarian kesana kemari.

"Itu masakan mama," lirihan itu terdengar begitu lirih, namun kesunyian ruangan itu, membuat suara lirih bian benar benar terdengar begitu jelas. "Saya ga suka kalau masakan mama di bilang ga enak, saya ga suka masakan mama dibilang muntahan, ga layak dimakan."

Radit diam, di satu sisi ia merasa bersalah, namun disisi lainnya ia membenarkan perilakunya, makanan itu rasanya begitu hancur, ia tak habis pikir bagaimana bisa bian bisa memakan' makanan itu. "Sorry gue ga tau." Banyak pertanyaan yang muncul dalam benaknya, namun ia memilih mengalah, meminta maaf adalah jalan tengahnya.

Radit percaya tak percaya, bagaimana seorang ibu memberikan makanan tak layak untuk putranya? Hidup bian benar penuh teka teki dan misteri, biodata keluarga nya juga tidak pernah diketahui, hidupnya benar-benar begitu private. "Saya ambil jalan damai aja bisa pak? Saya ga mau urusan ini diperpanjang." Radit melirik bian yang diam, dengan ekspresi datar.

Ekspresi itu baru pertama ia lihat, cukup penuh kekosongan. "Saya rasa kita impas, mungkin saya juga paham, itu makanan berharga, dan saya dengan enteng bilang ga enak, saya juga salah. Bisa jalan damai pak?" Radit bernegosiasi, dengan pak eja.

seribu topeng berbalut lukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang