bab 19 [menjenguk bagian dari luka]

258 32 0
                                    

maaf itu tak sulit, maaf itu ringan, maaf itu mudah, namun sangat sering kali disepelekan, dan di anggap percuma

"Untuk apa meminta maaf, jika nyatanya tak merubah apapun?"

Memang tak merubah, namun bukannya lebih baik terucap, dari pada tidak terucapkan? Siapa tau maaf itu benar benar bisa merubah, atau bahkan bisa meredakan, walaupun tidak selalu bisa menyembuhkan.

.......

.
.

.

.

______________

Tertutup, menyembunyikan luka, tak mau berbicara, tak mau membagi sakitnya, hanya ingin sendiri dan selalu merasa bahwa ia bisa sendiri. Tangannya mencengkram kuat bedcover, bibirnya juga mulai bergetar, sayup sayup matanya sudah mulai berair, tubuhnya limbung.

"Sa-kit, mama." Nama sang mama selalu terselipkan pada setiap rintihan rasa sakitnya, ia mengadu pada sang mama bahwa ia merasa sakit, ia tak kuat. Memanjatkan doa, meminta pada sang kuasa agar rasa sakitnya cepat mereda.

Ruangan berupa kamar tidur, salah satu remaja yang sedang terkulai lemas itu, adalah ruangan yang menjadi saksi bisu, setiap rintihan lara. Rintihan berderai air mata yang selalu tercipta di setiap harinya.

"Lo itu manusia, ga salah kalo mau cerita, lo itu manusia, ga salah kalo mau marah, itu manusiawi kali."

"Jadi orang jangan tertutup banget bi, sikap lo yang kaya gini malah bikin susah orang lain, banyak orang yang mau jadi pendengar lo bi, lo ga sendirian."

"Okey gue paham, cerita itu memang ga semudah dan segampang itu, lo harus mengingat kejadian itu, tapi rasanya dengan cerita kerumitan yang selalu bersarang di otak lo itu bakal terurai, makanya di coba ya? Jangan tertutup ke kita."

Suara suara temannya terngiang-ngiang, mereka semua menasehati bian, bahwa jangan menjadi manusia yang tertutup, semua itu hanya akan menyakiti diri sendiri, kamu hanya akan tumbang dengan sendirinya, tertutup dan enggan meminta tolong hanya akan membuat langkahmu semakin berat, kamu hanya akan menyiksa diri sendiri. Tepat setelah teman teman bian pulang, tubuh bian mulai kembali drop, ia memasuki kamarnya yang ternyata sudah kosong, mungkin abangnya sudah kembali ke kamarnya sendiri, sekarang sudah hampir sepuluh menit lamanya, remaja itu merintih kesakitan tanpa ada yang mendengar, ia kelu untuk berteriak tolong, bahkan rasanya lebih baik terkapar hingga tak sadarkan diri dari pada harus bertindak melontarkan kata tolong.

"Sakit," rintihannya, kepalanya terasa sangat nyeri, bahkan mimisan di hidungnya tak hentinya mengalir, bian lelah, bian kehilangan harapannya.

Semua nya kacau, semuanya berantakan, semua sia sia, ia benar dihancurkan dengan telak, ia tak punya pijakan.

Ia ingin pulang, pulang ke sisi yang paling indah itu.

"Bian, mau pulang," rintihan terakhir nya, hingga akhirnya tubuh itu tumbang, terkapar di atas lantai.

"BIANNNN!" bian tak mendengar seruan itu, bian kehilangan kesadarannya. Sosok yang berteriak itu, langsung mengangkat bian, bergegas mencari pertolongan.

seribu topeng berbalut lukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang