bab 6 [kita saudara kan?]

253 31 0
                                    

Kamu terus melangkah walau pijakan itu penuh duri,
Kamu berteriak di ruangan kedap suara,
Hingga suatu saat nanti kamu tercekik dengan sendirinya

.
.
.
.
.

Sore ini bian sudah duduk di ruang keluarga, menonton acara televisi. Rumah sama seperti biasanya sepi, ia merasa bahwa hanya ia yang tinggal dirumah ini, rumah besar ini begitu sunyi. Niat ingin berkumpul dengan teman-temannya ia urungkan. Begitu mengetahui bahwa mereka mempunyai urusan masing-masing.

Ali harus bekerja dicafe, Radit juga harus mengikuti les, begitu juga dengan panji yang memiliki acara dengan keluarganya. Lama lama fokusnya mulai kabur, tatapan matanya mulai kosong. Pikirannya pun melayang entah kemana.

Mana yang lebih baik? Lelah hidup karena kesepian atau lelah hidup karena keributan. Tapi bagaimana bisa memilih jika ia merasakan keduanya?

"Enak ya Lo, keluarga lengkap. Ga kaya gue tunggal, yatim lagi, gue jadi hidup kesepian."

"Enakan juga Lo, jadi tunggal. Ga brisik. Ga kaya gue yang tiap hari denger keributan."

Ia melihat ke arah televisi yang menayangkan sebuah drama, dua teman yang sedang mengadu nasibnya, memandang orang lain hidup dengan baik, dan merasa bahwa diri sendiri itu begitu menderita. Padahal toh sama saja bukan?

"Manusia itu aneh, giliran udah jadi kaya pengin jadi orang sederhana, giliran jadi orang sederhana mau jadi kaya. Yang ga populer pengin jadi populer, yang udah populer pengin punya privasi." Bian mulai bergumam sendiri, ia mulai berbicara pada dirinya sendiri. "Manusia emang ga pernah ngerasa cukup, contohnya gue." Bian mengakuinya, ia tak merasa cukup akan hidupnya, bian merasakan kurang pada hidupnya, walau disisi lain dia begitu bersyukur dengan apa yang ia rasakan. Contohnya mempunyai orang tua lengkap dan ekonomi yang baik.

Derap langkah kaki membuat bian menoleh, abangnya pulang? Ia tak salah lihat bukan. "Bangg? Pulang kok ga ngabarin si? Gue ga siapin apa apa."

Jendra melewati bian begitu saja tanpa sepatah katapun terlontar dari bibirnya. "Eh bang? Udah makan? Gue masakin dulu ya?"

"Ga usah sok perhatian ke gue, gue kesini cuma mau ngambil baju. Dan berhenti panggil gue abang, Lo bukan adik gue," sarkasnya, jendra melangkahkan kakinya menuju lantai atas dimana kamarnya berada.

"Bukannya kita saudara ya? Perasaan gue ga ada salah apa apa deh, orang orang rumah ini kira kira pada kenapa si? Padahal tiap hari udah gue bacain doa, tetep aja nih rumah gini, kebanyakan setan kali ya." Bian terkekeh ringan, sambil menggelengkan kepalanya, tak mau mengambil hati perkataan pedas yang tadi ia dengar, anggap lah sebagai angin lalu.

Bian mencoba menyusul jendra ke kamarnya. "Kenapa di beresin si bajunya? Terus kenapa dibawa semua si bang?" Bian benar benar selalu bersikap layaknya saudara, pandangnya melihat lemari abangnya yang mulai kosong.

Jendra menghembuskan nafas kasar, juga memberhentikan tangannya yang memasukkan baju ke dalam koper. Dia menatap sang adik. "Gue ga bakal balik lagi ke rumah ini."

"Kenapa?" Pertanyaan parau itu terlontar. "Kenapa Lo ninggalin gue sendirian bang?" Bian tak habis pikir, ia merasa tak mempunyai siapa siapa. "Gue berusaha buat bertahan, kenapa Lo malah nyerah?" Kini emosi bian mulai labil, ia takut sendiri.

"Siapa yang nyerah, ngapain bertahan sama sesuatu yang ga bisa di pertahanin? Lo mau sampai kapan ga mau sadar si?" Jendra bangkit, ia berdiri didepan sang adik. "Gue lebih bisa hidup kesepian, dari pada hidup penuh keributan setiap malem. Gue masih mau waras."

"Tapi kan, apa harus ninggalin gue juga? Kita saudara bang, gue juga butuh lo, kenapa Lo selalu pergi ninggalin gue."

"Karena lo egois, Lo keras kepala. Buat ngurusin diri sendiri aja gue udah susah, apalagi ngurusin lo. Bukannya waras gue bisa tambah gila. Mending Lo pergi dari sini yan, Lo dateng cuma bikin suasana hati gue semakin buruk." Jendra kembali ke tempat dimana ia sedang mengemasi pakaiannya.

seribu topeng berbalut lukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang