ITP persisten, itulah yang sekarang diketahui oleh keluarga bian. Bian masih tak sadar diri, bian kini tertidur setelah diberikan penanganan.
"Tiga sampai dua belas bulan? Bian pasti sembuh!" Hendra yakin, anaknya itu kuat, hendra bersyukur sang putra belum memasuki tahap kronis. Bagaimana mungkin ia sanggup mendengar bahwa anaknya akan merasakan sakit seumur hidup? "Seperti yang di bilang dokter tadi, bian juga harus Terapi Farmakologis, untuk rangkaian penyembuhan."
Setelah sampai dirumah sakit, bian diberikan penangan dengan segera, bian melakukan pemeriksaan fisik, juga pemeriksaan tunjangan.
Hingga hasil tes nya keluar. Hendra dan lita mendengar penjelasan sang dokter dengan serius, mereka bahkan tak mengalihkan pandanganya barang sedetik. Jendra bertugas menjaga didepan ruangan sang adik.
"Kalian belum sarapan kan? Aku beli sarapan dulu, untuk saat ini fokus ke bian," ujar lita, sebelum melangkah pergi. Lita harus bisa melangkah maju untuk melewati masa lalu, ia sudah menyesal, ia tak mau kembali menyesal dikemudian hari.
Hendra dan jendra mengangguk dengan serempak. Mereka berdua bersandar pada dinding, sama sama duduk didepan ruangan sang adik, tak ada yang berani masuk, mereka hanya tidak bisa melihat wajah pucat sang adik. Rasanya begitu sesak didalam dada.
"Kenapa anak sebaik itu harus punya keluarga kaya kita?" tanya jendra, tanpa menatap sang papa.
"Takdir jen, kalo bisa milih papa juga pengin bian lahir di keluarga yang baik, di sayang dengan baik, di perhatikan."
Jendra terkekeh dengan jawaban itu. Jendra jadi teringat sesuatu. "Aku jadi inget, di note kecil di meja bian waktu aku masuk ke kamar bian, tulisannya gini pah kalau kamu ga bertemu orang baik dalam hidupmu, maka jadi salah satu dari mereka, jika tidak bertemu orang baik, maka jadilah orang baik, Aku ngeliat note itu, pas pertama kali akhirnya aku pulang ke rumah."
"Disitu pas aku ijin, ijin masuk ke kamar adik aku, bian sempet tanya. Dia tanya adik aku siapa? Kenapa harus minta ijin dulu, kalau masuk kamarnya, sampai akhirnya dia sadar kalau, adik aku cuma dia, dia kayaknya sempet kaget karena aku anggap adik kali ya?" nadanya parau, jendra menangis' mengingat hal itu, mengingat betapa tidak dianggapnya bian selama ini. Mengingat bian yang berjuang sendirian dalam hidupnya.
Hendra menepuk bahu si sulung itu beberapa kali, ia juga sama lemahnya, andaikan saja ia lebih berani mengambil keputusan, andaikan ia lebih bisa melawan sang ayah, pasti bian tak akan seperti itu.
Rasanya untuk menyalahkan orang tuannya pun hanya akan membuang waktu, ayahnya yang sudah sakit sakitaan itu sudah tak bisa mengancam hendra juga jendra. Hendak membalas dendam pun juga tak mungkin, itu hanya akan menimbulkan masalah masalah baru.
Lita yang melihat hal tersebut, dari kejauhan memelankan langkahnya. Dua sosok laki laki itu saling menguatkan satu sama lain.
Sebenernya lita sudah memahami semuanya, tepat kemarin sore ibu mertua nya mendatangi nya menjelaskan apa yang terjadi. Rasanya untuk menyalahkan suaminya juga tak bisa, sifat sifat itu datang karena didikan keras dari orang tua suaminya.
"Lita maafkan saya ya? Maafkan saya dan suami saya, maaf membuat kamu tidak bahagia, kamu bisa mencari laki laki lain jika ingin, saya benar benar memohon maaf." Saat itu, ibu dari Hendra benar benar meminta maaf, dia menceritakan masa lalu sang suami yang jauh dari kata baik, bahkan ia juga di ceritakan bagaimana ayah dari sang suami yang sangat membenci bian.
Jujur saja hati lita sangat sakit saat itu, anaknya yang tak pernah ia anggap itu di kata katai tidak berguna dan cacat? Bagaimanapun ia tetaplah seorang ibu, perasaanya begitu perih, lalu bagaimana perasaan bian yang setiap hari ia kata katai? Lita berfikir hingga ke sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
seribu topeng berbalut luka
Teen FictionRumit, bagian bagian yang saling terikat namun begitu membingungkan. Bian adalah manusia rumit yang tak mengerti akan hidupnya sendiri. Kurang terbuka, enggan menceritakan konflik yang ia alami, yang ia rasakan dan selalu menutup diri. Nyatanya mala...