bab 26 [nyatanya tak sembuh]

268 30 9
                                    

Lagi, dan lagi. Rasanya baru saja berlarian dengan bebas di atas pasir, bian malah kembali terbaring di atas ranjang pesakit.

"Kenapa gue harus masuk sini lagi sih? Pulang ke rumah aja, pengin tiduran di kasur kaya biasanya, ga suka disini gue bang." Bian mengeluh, ia tak suka tempat ini, ia membenci tempat ini.

"Gapapa cuma sebentar, kalo udah pulih nanti kita pulang, ga inget tadi kamu gimana pas di mobil?" jawab jendra sambil mengusap punggung tangan sang adik, ingatan jendra kembali berputar pada kejadian tadi. Dimana mereka kembali asik bermain kejar-kejaran, bian terjatuh dengan tiba-tiba, wajah pucat dengan darah yang keluar dari hidungnya membuat jendra dilanda panik. Hendra dan lita juga tak kalah panik, mereka segera membawa bian kembali ke rumah sakit, beberapa kali bian mengerang kesakitan di bagian kepalanya.

Bian mendengus kesal. "Gue udah gapapa nih," ujarnya menyakinkan sang abang. Papa dan mamanya pergi ke ruang dokter untuk membicarakan tentang penyembuhan bian. Hingga hanya jendra yang berada di ruangan menemani bian.

"Disini aja, sampe sembuh, dari pada di rumah. Nurut sama abang, ini demi kebaikan kamu, mau kamu liat abang, mama sama papa panik kaya tadi?" Bian langsung menggeleng panik, ia tak suka melihat keluarga khawatir, dan bersedih. "Iya udah makannya nurut aja, kita pulang kalo udah sehat!" tegas jendra final, ia tak mau mendengar adiknya yang kembali meminta pulang dengan kondisi yang belum membaik.

"Bang lo kenapa dari kemarin disini? Ga kuliah?" tanya bian selidik, bagaimana bisa abangnya terus disisinya? Lalu bagaimana tentang kuliah abangnya?

"Ijin, gampang lah, udah ga usah di pikir, paling besok berangkat, ga enak juga absen terus." Percakapan kakak adik itu mengalir begitu saja tanpa sadar.

Bian mendesah lesu, abangnya akan pergi dari rumah lagi? Abangnya akan pergi ke luar kota lagi untuk melanjutkan kuliah?

"Kenapa lesu gitu?"

"Lo ga akan dirumah lagi dong? Kuliah lo kan jauh bang," ujarnya dengan lesu. Seketika harapan yang mulai muncul dalam benaknya kembali redup. Harapan dimana kelurganya akan berkumpul bersama seperti keluarga keluarga pada umumnya.

"Dirumah, kuliah gue kan deket, ga nyampe satu jam juga."Jendra tanpa sadar berkata dengan jujur, ia lupa bahwa ia membohongi sang adik bahwa ia berkuliah di luar kota. Jendra terdiam beberapa saat saat menyadari ucapannya, apakah ia harus jujur? Atau kembali beralasan? "Abang kuliah di deket sini kok, ga di luar kota. Kuliah di luar kota itu bohong, abang selama ini bohongi kamu bi maaf." Jujur itu pilihan yang bagus untuk diucapkan, walaupun akan menyakiti sang adik, namun jika kebohongan itu diteruskan lebih lama, sakitnya juga akan bertambah lebih besar.

"Kenapa?" Ia di bohongi selama ini? Ia senang abangnya jujur, tapi mengapa sesakit ini? Mengapa sesakit ini di bohongi oleh orang yang ia sayangi? Mengapa pikirannya? Dan kenapa? Apa sebesar itu keinginannya jauh dari keluarga hingga harus berbohong? "Bang? Kenapa lo bohongin gue? Saking ga mau ketemu sama gue?"

"Ceritanya panjang, kamu ga akan ngerti, kamu ga tau apa apa. Tapi bukan itu alasannya."

"Gue ga ngerti apa apa, karena ga ada yang mau ngomong sama gue bang, ga ada yang ngasih tau gue. Gue udah kaya orang bodoh yang ga tau apa apa disini, padahal gue selalu ada dirumah, tapi kenapa seakan gue orang yang paling ga ngerti apapun tentang keluarga gue sendiri?" Bian kecewa, ucapannya bergetar, bian kecewa pada keluarganya. Ia benar benar tak mengerti, ia tak tau mana yang salah, mana yang benar, ia juga tak tau harus melakukan apa? "Apa lo bisa mikir gimana perasaan gue bang? Coba lo mikir kalau lo diposisi gue itu gimana? Keberadaan gue yang selalu disalahkan terlahir di dunia ini, keberadaan gue yang disalahkan karena ga tau apa apa? Bang? Kenapa? Kenapa kalian selalu giniin gue? Apa hidup gue salah didunia ini? Apa gue kesalahan besar karena udah hidup?" Bian terisak, ia sakit, hatinya terasa sesak, ia mencengkram kuat tepian ranjang. Sedikit menggigit' bibir tipisnya menahan tangis yang bisa saja menggelegar di ruangan putih itu.

seribu topeng berbalut lukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang