jika tak bisa menemukan rumah yang baik, maka buatlah rumah yang baik, jangan buat semuanya semakin rumit dengan pikiran pikiran yang tak perlu, terkadang yang memang sudah tidak bisa dicegah hanya perlu disembuhkan.
.
.Ruangan itu di isi dengan suara tawa yang tak pernah pudar, setiap waktu pasti akan ada saja tawa yang keluar dari mulut mulut dengan humor setipis tisu.
"Ini kita pindah tempat tongkrongan nih? Hari hari nongkrong kok dirumah sakit Mulu, heran ga modal amat." Geleng radit tak habis fikir, setiap kali berkumpul kenapa malah kembali berkumpul di ruang rumah sakit? Dengan bian yang menjadi bintang utamanya.
Ali berdecak malas. "Ga modal? Bukannya emang ga pernah modal kalo nongkrong? Modal modal kalo dompet 17 jutanya di bahas, baru ngeluarin duit."
Panji tertawa keras, lagi lagi dompet 17 juta radit tak pernah absen untuk tidak dibahas. "Dompet iya 17 juta, tapi buat makan mie ayam di warung bu mumun masih suka ngutang."
"Lain kali, bawa cash dit. Biar ga diledek terus!" saran bian, bian tau bahwa radit jarang membawa uang cash.
"Gue nongkrong sama kalian, model bayarnya pake cash mulu, jadi bukannya mau yang gratisan sebenernya, cuma karena ga ada cash aja." Elaknya. "Iya kan bi?" tanyanya pada bian meminta pembelaan.
Bian menggaguk pelan, mengiyakan. Radit yang mendapatkan sekutu pun tersenyum bangga. "Nah contoh tuh bian, sangat mengerti kawan."
Melihat teman temannya yang bergurau bersama, membuat bian merasakan perasaan lain. Perasaan terbiasa juga terbuka untuk bersuara. Berbeda jika bersama keluarganya, bian terkadang akan bungkam, ia tak bisa membalas perkataan keluarganya, dan lebih memilih untuk diam.
"Kenapa lo?" bian tersentak, saat mendapatkan senggolan sikut dari tangan radit. Radit memang berada di sebelah ranjang pesakit bian. Ia memandang bian dengan lamat.
"Kira kira gue bakal hidup sampai kapan?" tanya bian melantur. Suasana sore ini cukup membuat hawa yang begitu syahdu.
Radit menatap awang awang, memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu. "Sampai master limbad buka suara?"
"Konyol banget lo tolol!" Ali menggeplak, kepala panji dengan kesal. "Kalo buka suara besok? Doain bian mati lo hah?"
"Ya sumpel aja pake sempak panji, gampang," cetus radit dengan gamblangnya. Mendengar itu semua tertawa, bahkan panji yang di jadikan objek pun ikut terkikik lucu. "Biar apa? Biar ga jadi mati wkwkwk, ya ga bi?"
"Udah lah gue capek, ga usah bahas mati mati. Mati itu ga ada yang tau, takdir itu ga ada yang tau, kita cukup siap siap aja."
Mereka mengangguk mendengar ucapan Ali. "Penting jangan ngelangkahin takdir aja, orang mati di bulan mei, malah bundir bulan maret, padahal kan kita ga tau? Siapa tau di bulan maret itu bakal dapet uang kaget? Sayang kan uangnya, bisa kita gunain selama dua bulan sebelum dipanggil Tuhan?"
"Ga usah dapet uang kaget, gue udah kenyang uang."
"Iya deh, tuan muda 17 juta," mereka serempak berkata seperti itu, tanpa direncanakan.
Tiga anak sma dengan balutan seragam sma dan satu lagi menggunakan baju rumah sakit. Sama sama memandang luar jendela, dimana senja tampak begitu pekat. Warna jingga bercampur dengan ungu terkesan begitu cantik dan memukau.
KAMU SEDANG MEMBACA
seribu topeng berbalut luka
Teen FictionRumit, bagian bagian yang saling terikat namun begitu membingungkan. Bian adalah manusia rumit yang tak mengerti akan hidupnya sendiri. Kurang terbuka, enggan menceritakan konflik yang ia alami, yang ia rasakan dan selalu menutup diri. Nyatanya mala...