bab 7 [mama?]

222 27 0
                                    

Selagi waktu masih berpihak padamu, jangan berhenti untuk hidup, jangan berhenti untuk melangkah demi mencapai sebuah harapan, berjuang lah, badai pasti usai pada waktunya
.
.
.
.
.
.

Entah apa yang merasuki wanita cantik pagi ini, bergelut dengan bahan bahan masakan dipagi hari, menciptakan aroma begitu harum, yang dengan hebat memasuki kamar putra bungsunya.

Bian yang sedang memasang dasi, mulai mengerut kening bingung, siapa yang memasak? Mustahil bukan jika mamanya? Apa mungkin bibi sudah kembali dari cutinya? Memikirkan bahwa bibi sudah ada dibawah bian bergegas merapikan bajunya. Ia merindukan sosok wanita paruh baya yang bekerja dirumahnya.

Bibi nan, adalah asisten rumah tangga yang bekerja di rumah bian, bibi nan satu satunya orang yang paling dipercaya oleh hendra untuk menghendel urusan dapur dan bian, berbeda untuk kebersihan rumah, khusus orang yang membersihkan rumah, jam kerja mereka dari pagi hingga sore, pembersihan sudah termasuk rumah bagian dalam maupun luar, berbeda dengan bibi nan yang sudah seperti menjadi bagian keluarga, dan menetap dirumah hendra, namun ya bibi nan tidak sendiri masih ada dua wanita yang seumuran dengan lita yang menjadi bawahan bibi nan.

Tidak hanya bibi nan yang dekat dengan bian, namun dua asisten bawahan bibi nan juga sangat akrab dengan bian.

Langkah kaki yang cukup tergesa-gesa, dengan semangat menuju dapur. "Bibi nan!!" Bian berseru, semangat saat langkahnya mendekati dapur.

Wajah itu menoleh, mendapati sang putra berada di belakangnya, dengan senyuman begitu lebar, namun saat pandangan bertemu, senyuman itu seketika memudar, berganti dengan raut wajah mematung tak percaya. "Saya bukan bibi nan." Lita seakan gugup sendiri, ia mematikan api, dan meninggalkan masakannya begitu saja. Rasa kecewa muncul dalam benaknya, ia tak paham dengan perasaannya sendiri. Rasa sakit dan kekecewaan itu tiba tiba hinggap tanpa tau apa penyebabnya.

Bian yang masih mematung, tersadar ketika mamanya tak ada lagi didepannya, apa ia membuat kesalahan pikirnya?

"Mau sarapan mas?" Bibi sara, bertanya.

"Eh? Loh bibi udah disini?" tanyanya bingung, bian mulai mendekat, melihat masakan mamanya yang sebentar lagi jadi.

Bibi sara mulai mendekat, ia menyalakan kompor untuk mematangkan masakan yang sebentar lagi selesai. "Subuh tadi bibi nyampe, sama bi ira juga. Kan cutinya udah selesai."

Bian tak tau, artinya rumah ini tak akan sesepi kemarin-kemarin. "Bibi Ira kemana?"

"Mungkin lagi diluar, nyiram bunga mas." Selagi menjawab pertanyaan bian, bibi sara tak berhenti untuk menyiapkan sarapan. "Mau bibi temenin makan? Atau bibi tinggal sendiri? Mas bian kalo mau ngobrol bilang aja."

Bian tersenyum tipis, tiga bibi yang ada dirumahnya begitu baik, itulah mengapa bian bisa bertahan dirumah ini. "Aku kesepian bi, satu minggu tinggal itu ternyata lama banget." Mendengar tutur kata bian, bibi sara terkekeh ringan. "Kenapa bibi nan ga kesini? Kangen bibi nan."

"Mungkin sore nanti, bibi nan udah ada disini mas. Nih mas makan dulu, cobain masakan mba Lita, tadi mba lita semangat banget pas masak, lohh."

"Oh iyaaa bi? Aku cobain,.... bi bisa siapin bekal? Aku mau juga buat makan disekolah, ini gapapa masakan mama aku makan? Takutnya mama bakal marah." Ia mencoba menyuapkan makanan itu, mengabiskan makanan yang dimasak oleh sang mama, walau sepertinya bukan untuknya.

"Nanti biar bibi yang tanggung jawab. Bibi siapin bekal dulu ya." Bian mengangguk mengiyakan.

Bian memakan dengan lahap, tak mementingkan rasa yang ia kecap di indra perasa nya. tanpa sadar lita memerhatikan putranya dari lantai atas, melihat sang putra yang memakan' lahap masakannya.

seribu topeng berbalut lukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang