bab 15 [dekap aku mama]

238 29 0
                                    

Terkadang tak perlu obat untuk pulih, tak perlu Isitirahat untuk meredakan lelah, keduanya bisa diganti dengan duka kata ini, dekapan mama
.
.
.
.

"Mama kapan bisa peluk bian?" Angan-angan yang seperti nya terus terbang ke udara. Bian jarang sekali menjadi manusia yang akan dipeluk, namun ia akan selalu menjadi seseorang yang memeluk, ia akan memeluk luka mamanya yang entah kapan akan sembuh, ia membiarkan lukanya sendiri terbuka dengan lebar tanpa ada yang mengobati, bahkan dirinya sendiri tak tau cara mengobati lukanya. Ia sendiri tak tahu penawar untuk lukanya.

Kapan keluarga ini akan terbentuk layaknya keluarga? Derai air mata terus berjatuhan, baru tadi pagi keluarganya melaksanakan sarapan bersama, walau hanya hawa dingin yang terasa, bian merasa cukup. Tak lama setelah selesai sarapan, ke-dua orang tua bertengkar, lalu malamnya papahnya dan abangnya yang bertengkar, kini saat malam mulai larut mamanya berteriak kencang, trauma mamanya kambuh.

Bian mendekap punggung sang mama erat, membiarkan sang mama mencengkram lengan tangannya dengan kuat, membiarkan kuku kuku itu menancap hingga kulit tangannya, rasa sakitnya bukan lah apa apa di bandingkan sang mama, itu yang selalu ada dalam pikirannya. "Ma? Gapapa ya, ada bian disini, mama jangan takut, mama boleh sakitin bian, tapi mana ga boleh sakitin diri mama sendiri ya? Kalo mama sakit bian juga sakit."

"Bajingan itu, bajingan itu, saya benci dia, dia ga pernah ada buat saya, dia ga pernah pulang, pulang pulang cuma maksa saya buat menuhin nafsunya, saya takut, saya takut sekali." Racauan yang terdengar begitu menyedihkan.

"Iya ma, iya jangan takut, ada bian disini, bian lindungi mama, bian ga akan biarin orang itu masuk." Bian sengaja memanggil papahnya dengan sebutan orang itu, mamanya bisa semakin marah jika bian memanggil papanya dengan sebutan yang benar.

"Saya takut, saya takut, saya ingin disayang layaknya wanita wanita lain, saya hanya ingin diberikan kata kata yang lembut," ujarnya dengan menatap wajah bian, lita melepaskan pelukan itu sepihak, ia bertanya pada sang putra, tatapan matanya bergetar, ia hanya ingin kasih sayang.

Bian tersenyum simpul, ia mengusap surai sang mama dengan lembut. "Iya, ma, jangan takut ya? Bian ada disini sayang sama mama, bian berikan kasih sayang bian untuk mama." Bian kembali memeluk sang mama, mendekapnya erat, membiarkan derai air mata sang mama membasahi bajunya. Tak henti hentinya bian mengusap punggung rapuh sang mama.

Luka bian tergores dimana mana, mulai dari pergelangan tangan yang terluka karena kuku dari lita, dari barang barang yang tak sengaja' lita lempar karena ketakutan, dahinya pun mengalir darah kental, ia juga sempat didorong keras oleh sang mama untuk menjauh, belum lagi tamparan yang beberapa kali mendarat pada pipi kanannya, perjuangannya begitu besar untuk menenangkan mamanya, perjuangan begitu besar agar bisa mendekap sang mama dalam dekapannya.

"Kamu baik banget ya? Kenapa selalu manggil saya mama? Saya belum punya anak, eh ada satu, tapi saya lupa namanya, dia udah kuliah." Ingatan mamanya yang sering kali berantakan ini, akan menoreh luka untuk bian. Bian sering kali terlupakan keberadaan nya, bahkan saat terlihat pun hanya akan di abaikan.

"Mama cape kan? Sekarang isitirahat aja ya? Bian mau beresin kamar mama dulu." Kalimat yang terlontar ini seperti sihir, lita melepaskan pelukan dari bian, ia mulai mendekat ke arah kasur, mengambil selimut menyelimuti tubuhnya. Memejamkan matanya untuk terjun ke dalam alam mimpi. Melihatnya bian tersenyum hangat.

Bian bersandar di tepi kasur sang mama, melihat mamanya yang tertidur begitu nyenyak. "Bian sayang mama, bian selalu sayang mama."

seribu topeng berbalut lukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang