bab 28 [masih perihal kebohongan yang tak berujung usai]

216 32 0
                                    

Memaafkan itu mudah, tapi bagaimana dengan ikhlas?
Memaafkan itu mudah, yang berat itu mengikhlaskan.
.
.
.
.
.

"BIANNNN!!" Seruan keras itu membuat bian reflek menoleh ke sumber suara. Pandanganya fokus pada sosok yang tadi berseru. "Gue cariin kemana mana, malahan disini, abang lo udah panik nyari kesana sini." Ia menggerutu dihadapan bian.

"Lah ngapain lo disini?" tanya bian heran, ia cukup heran bagaimana bisa ali mengetahui bahwa bian kembali ke rumah sakit. Padahal seingatnya sebelum pergi ke pantai, bian sudah berworo-woro di gc gengnya bahwa ia akan pulang setelah dari pantai. Ia belum mengabari kembali bahwa ia malah kembali ke rumah sakit.

Ali melirik sosok pria berumur disebelah bian sebentar, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan bian. "Gue tadi mau ke rumah lo, mau ngembaliin kamera yang dipinjem sama adik gue, kata satpam rumah lo belum balik, ya gue ke sini lagi."

"Kan gue bilang ga usah di kembaliin, bawa lagi aja sana, kamera udah bener di pegang irham." Dari pada kamera itu dipegang olehnya, yang nantinya juga tak akan ia gunakan, lebih baik digunakan oleh irham, adik dari Ali.

"Itu di bahas nanti aja, ayo balik keruangan, abang lo panik banget tadi." Mendengar penuturan tersebut, bian mengangguk mengerti, ia harus kembali.

"Opa, saya balik ke ruangan dulu ya. Kayaknya besok saya masih di ruangan belum dibolehin pulang, jadi ruangan opa dimana? Biar saya yang kesana jenguk opa," ujarnya, memandang sang opa.

"Ruangan kamu aja biar saya catat."

"Ruangan opa aja sini, ga enak ah, masa opa yang ke ruangan saya."

"Melati nomor 13," jawabnya. Setelah mendapatkan jawaban bian dan ali berpamitan, meninggalkan sang opa sendiri.

"Bian, kalau kamu tau orang yang tadi saya ceritakan itu kamu, apa kamu masih bisa memaafkan saya? Cucu yang saya bilang cacat itu kamu, apa kamu tetap akan memaafkan? Kehancuran keluarga yang kamu ceritakan itu, apakah tetap bisa di maafkan?" lirihnya pelan, melihat siluet punggung bian yang mulai hilang dari pandangan nya.

"Kekuasaan dan harta itu ga akan di bawa mati," gumamnya saat mengingat bahwa ia benar' benar sudah berjalan jauh dari alur yang seharusnya.

~~~~~~
🎭
~~~~~~

"Kemana aja si? Di cari cari ke sana sini ga ada, kalo mau pergi ijin dulu bisa ga si? Bikin orang panik aja," bentak jendra, jendra benar' benar dilanda panik saat sang adik tidak ada diruangan nya. Emosinya naik turun, nafasnya tak beraturan, pikirannya juga berkeliaran memikirkan hal yang tidak ia inginkan.

Ali lebih memilih menunggu didepan ruangan, membiarkan adik kakak itu selesai dengan urusannya.

Mendengar bentakan yang keluar dari mulut jendra, seakan membuat bian kembali pada masa lalu. Sosok jendra yang ia lihat seperti dimasa lalu. Bian menunduk, tak ingin melihat sosok abangnya yang ada pada masa lalu, raut wajah dengan sorot mata tajam selalu membuat hatinya berdesir. Namun tanpa bian sadari, raut yang bian takutkan adalah raut penuh rasa khawatir, bukan raut penuh amarah yang sering bian takutkan.

"Liat Abang bian!" Alih alih mendongak, bian malah memainkan jari jari tangannya, perasaan gelisah takut bercampur menjadi satu. "Bian liat Abang!" Jendra kembali menginterupsi bian agar melihat ke arahnya. Mau tak mau, bian mendongak secara perlahan. Pandanganya yang terus-menerus menghindari tatapan jendra akhirnya berhenti.

seribu topeng berbalut lukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang