Sebanyak apapun luka yang tertuai, jangan biarkan senyum itu sirna, biarlah senyum itu tetap terpancar, sebagai bukti bahwa kamu tak menyerah untuk semua yang sedang terjadi maupun yang telah terjadi.
.
.
.
.
.Lama menyelami malam, bian menoleh mendengar suara ketukan pintu, yang terdengar hingga berkali kali. Bian akhirnya bangkit, ia membiarkan laptopnya tetap menyala, membiarkan layar laptop yang masih kosong, satu kata bahkan belum bian biarkan hinggap membentuk sebuah kalimat. Jalan pikirannya masih terasa buntu, ia masih tak tahu harus menyusun kalimat seperti apa.
Pintu mulai terbuka, bisa dilihat bibi nan yang sedang membawa nampan makanan, sepaket dengan air mineral. "Mas bian, ini bibi bawa makanan," ujarnya lembut, tak lupa bibi nan memberikan senyuman di akhir kalimatnya.
Bian tersenyum simpul, membalas senyuman bibi, ia membuka lebar lebar pintu yang hanya terbuka sedikit. "Kenapa di bawa ke atas bi? Nanti aku turun kok." Alisnya sedikit mengkerut, tumben sekali bibinya mengantar makanan hingga ke kamarnya.
"Di bawah hawanya lagi ga enak mas, mas makan di kamar aja ya?" Bibi nan selalu memerhatikan kondisi bian, bibi nan tak mau bian terluka terlalu dalam.
"Mama papa masih berantem bi? Tapi aku ga denger apa apa." Jika ke-dua orang tuanya kembali beradu ucapan, pasti akan terdengar hingga bilik kamar bian, namun sedari tadi bian tak mendengar suara suara keras itu.
Bibi menggeleng pelan. "Bukan mas, tapi pak hendra dengan mas jendra."
"Ahh gitu ya, eh mama kemana bi?" Mencoba biasa saja mendengar hal tersebut, bian lebih ingin tahu dimana sang mama.
"Mbak lita, lagi ada di kamarnya mas. Jadi mas makan di kamar aja ya mas? Jangan turun ke bawah."
Bian mengambil nampan dari tangan bibi nan. "Iya udah bi, ini aku ambil, terimakasih ya bi, nanti aku makan."
"Iya mas, makan yang banyak, kalo butuh apa apa bisa langsung panggil atau kabarin bibi ya." Bian mengangguk pelan, bibi nan pamit untuk kembali ke bawah.
Kini bian kembali duduk menghadap laptopnya, tak lama tatapannya beralih pada makanan yang sedari tadi hanya ia lihat tanpa minat, ia lapar sungguh, namun nafsu makannya benar' benar tak ada.
"Kira kira apa yang abang sama papa bicarain?" gumamnya, kini di dalam rumah semua keluarganya lengkap, semua anggota keluarganya ada di dalam rumah, namun rasanya sama saja, bian sendirian, bian tetap sendirian di dalam kamarnya.
Tiba tiba panggilan vidio call masuk pada layar beranda laptop bian, sebelumnya bian memang sudah menyambungkan laptopnya dengan wa di ponselnya. Nama radit tertera sebagai pemanggil.
Panggilan vidio itu, terus saja muncul walau beberapa kali bian abai, bian juga tak mengerti kenapa ia memilih untuk abai, hingga akhirnya ia menerima panggilan tersebut, walaupun membutuhkan waktu beberapa menit untuk mengambil keputusan.
Wajah radit terpampang di layar laptop bian. "Assalamualaikum, bian." Salam adalah yang utama, mengawali dengan salam, adalah salah satu percakapan yang bian sukai.
"Waalaikumsalam, kenapa?" Mendengar suara temannya, hatinya terasa lebih tenang, ia juga tak mengerti.
"Gapapa, cuma pengin liat muka lo aja salah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
seribu topeng berbalut luka
Teen FictionRumit, bagian bagian yang saling terikat namun begitu membingungkan. Bian adalah manusia rumit yang tak mengerti akan hidupnya sendiri. Kurang terbuka, enggan menceritakan konflik yang ia alami, yang ia rasakan dan selalu menutup diri. Nyatanya mala...