Kita terikat aliran darah, namun tak pernah terikat pada perasaan, salah satunya memilih untuk buta, salah satunya memilih untuk tidak menunjukkan.
.
.
.
.
.
.
.Jendra menyadari sesuatu hari ini, ia menyadari sedikit tentang hubungannya dengan bian, semua memori seperti terlintas begitu saja saat di perjalanan, perjalanan yang memakan' waktu cukup lama untuk sampai ke cafe milik bayu, jendra menyadari ternyata persaudaraan antara dia dan bian hanya terlihat sebatas ikatan darah yang sama, namun tak terikat oleh perasaan, jendra tak tau, kapan bian merasa bahagia, kapan bian merasa sedih, atau bahkan perasaan perasaan adiknya yang lain.
Jendra terlalu buta untuk memahami, begitu juga dengan bian yang enggan menunjukkan. Jendra tahu betul, bahwa bian benar benar pribadi yang sangat sulit untuk ditebak, bahkan rasanya tak ada orang orang yang benar benar tau perasaannya. Bian terlalu rumit, terlalu sulit untuk di pahami. Bahkan rasanya bian juga lelah dengan kerumitan dirinya sendiri.
"Heh! Ga usah bengong gitu, muka lo kaya orang tolol jadinya!" sarkas bayu, setelah selesai membantu urusan cafe, kini bayu ikut bergabung duduk bersama jendra.
"Bacot!" jawabnya malas, niat hati ingin bercerita, malah di sambut seperti ini oleh abang sepupunya.
"Ada urusan apa tiba tiba kesini?" Bayu jelas tau, jendra kesini pasti ada maksud tertentu.
Jendra menggeleng pelan. "Ga, urusan kecil."
Bayu terkekeh pelan, jujur dia tau, omanya mengabari jika sang opa masuk rumah sakit, secara garis besar Bayu tau inti masalah keluarga adik ibunya itu. "Lo udah bebas kan ya? Opa udah ga bisa ngatur dan nuntut hidup lo lagi?" Bayu to the poin, ia juga tak mau basa basi agar bisa membuat jendra berkata jujur tentang masalahnya. Bayi akan memancing secara langsung dan terang terangan.
Sekarang jendra yang balik terkekeh, sebanyak apapun dia menutupi bayu jelas tau. "Kayaknya kalo gue ga cerita pun, lo udah tau duluan."
"Jelaslah gue gitu, kenapa malah ke cafe? Tolol banget, harusnya lo nemuin bian, bangun persaudaraan yang layak." Bayu juga tau betul, bagaimana mirisnya hidup bian selama ini, bian yang selalu memendam lukanya tanpa mau berbagi cerita pada orang lain.
"Emang gue sama bian ga layak?"
"Iya jelas engga lah tolol! Dilihat pun kalian bukan kaya saudara, lo malah keliatan kek musuh bian," ujarnya sedikit miris, melihat persaudaraan sepupunya ini sungguh terlihat memprihatinkan. "Jadi pulang sana lo!"
"Dih! Ngusir, bukannya ngasih semangat, disini malah di tolol-tolol lin mulu," jawabnya malas. "Gue mau nenangin pikiran dulu." Sambil menyesap kopi susu, yang tadi sempat ia pesan.
"Iya serah lo si, gue cuma bisa berharap kalau semuanya belum terlambat." Entah apa yang bayu rasakan, bayu hanya merasa bahwa ini adalah awal yang akan memakan' banyak waktu, ini bukanlah sebuah akhir namun awal baru untuk perjuangan.
Mereka larut dalam suasana, jendra yang sibuk dalam pemikirannya, bayu yang sibuk memantau cafe.
"Bang bayu," seruan itu membuat bayu menoleh ke sumber suara, begitu juga dengan jendra. Sosok yang berseru tadi juga berjalan menghampiri bayu.
"Eh, kenapa ham?" tanyanya, yang tadi berseru adalah irham yang tak lain adik dari ali.
"Ah engga bang, ini cuma mau ngembaliin motor yang kemarin gue pinjem," ujarnya, irham dan bayu sudah cukup di bilang akrab bahkan terkesan sangat akrab, bayu yang suka bergaul, dan Irham yang gampang bergaul, walaupun sedikit malu malu, karena sikap tak enakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
seribu topeng berbalut luka
Teen FictionRumit, bagian bagian yang saling terikat namun begitu membingungkan. Bian adalah manusia rumit yang tak mengerti akan hidupnya sendiri. Kurang terbuka, enggan menceritakan konflik yang ia alami, yang ia rasakan dan selalu menutup diri. Nyatanya mala...