bab 11 [belajar minta tolong]

230 34 7
                                    

Seberat apapun masalah lo jangan pernah coba ngelangkahin takdir tuhan, kematian lo bukan keputusan yang bisa lo buat sendiri
~radit
.
.
.
.
.

Jam pelajaran terakhir, dimana jam kosong, mereka bertiga duduk memutar di meja. Radit kembali lagi ke sekolah, ia hanya mengantarkan bian, walaupun sempat berbicara panjang.

"Lo tadi nganter bian ke gurun sahara kah? Lama banget anjir," celetuk ali.

Radit menoleh, ia tadi sibuk pada ponselnya, sekarang mulai meletakannya diatas meja. "Tadi gue ngobrol sebentar si sama bian."

"Jadi gimana keadaannya baik baik aja? Orang kok bego banget ya, baru pulang dari rumah sakit malah sekolah, keras kepala banget anaknya, jadi sakit kan," gerutu panji.

"Baik baik aja, cuma kurang istirahat." Bohongnya, ia masih belum percaya dengan apa yang tadi terjadi dirumah bian.

Panji dan ali, mengangguk. "Tapi tadi parah banget masa cuma kecapean, dan yang kemarin dirumah sakit juga bukan faktor kecapean, gue yakin seratus persen." Ali mengingat kejadian dimana bian yang terkapar dirumah sakit, hatinya begitu tak tenang. Dia begitu khawatir dengan kondisi fisik bian.

"Bian itu ga pernah nyeritain dirinya sendiri, walaupun cengengesan gitu, dia anaknya tertutup, gue ga tau, harus apa? maksa orang buat cerita juga ga mungkin, orang punya hak masing-masing, kalo ga cerita juga dia ga bakal ngomong, posisinya serba bingung." Panji mulai berfikir. "Mungkin gue ga tau ya, entah ini gue doang yang ngerasain atau emang lo berdua juga ngerasain, gue rasa bian bener bener nyembunyiin banyak hal dari kita."

"Setuju, dia itu suka banget mikul apa apa sendiri."

Mereka bertiga larut dalam pikirannya masing-masing, begitu juga radit yang malah kembali pada apa yang terjadi tadi di rumah bian.

"Mas tolong temenin mas bian dulu ya, bibi mau telfon dokter."

"Iya bi, tenang aja bian sama saya."

Kamar bian begitu luas, begitu rapi, terlihat begitu monoton dan membosankan untuk dilihat. "Sorry ya dit, jadi ngerepotin lo gini."

"Ngomong apa si lo, gue itu temen lo udah sepatutnya saling membantu."

Bian bersandar disandaran kasur, rasa sakitnya sudah mereda. Wajahnya masih terlihat kacau, juga cukup pucat, jejak air mata masih terlihat jelas dipipinya.

"Bian? Maaf, tadi orang tua lo kan?" Radit bertanya hati hati, takut menyakiti bian, walau ia tidak tau apa yang terjadi tadi.

Bian mengangguk lemah. "Yang perempuan mama gue, yang cowo itu selingkuhan mama."

"Bokap lo kemana?"

"Papah kerja, pulang malem, pagi, atau bahkan ga pulang."

Radit diam, dia tak tahu harus membalas seperti apa. "Dit, jangan cerita cerita ya." Pesan bian.

"Cerita kejadian ini?"

"Iya, yang lain jangan sampe tau, keluarga gue baik baik aja, selamanya baik baik aja. Yakan?" Bian bertanya, iya bukan keluarganya itu baik baik saja bukan?

seribu topeng berbalut lukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang