Memang sesuatu hal yang sudah berlalu harus dibiarkan berlalu, jangan terus dibawa pada masa masa yang tidak seharusnya, jika itu terjadi maka hanya belenggu masa lalu yang akan tercipta
.
.
.
.
.
.
.Bian tak mengerti, pandangan tajam sang papa yang layangkan untuk sosok paruh baya di hadapannya ini. "Papa kenapa?" Pertanyaan itu terlontar, aura yang di keluarkan sang papa lebih menyeramkan dari biasanya.
Hendra menoleh pada si bungsu, kenapa? Bukannya ia yang harusnya bertanya, bertanya bagaimana bisa sang putra mengenal sosok dalang kehancuran keluarganya?
"Saya tunggu tunggu loh diruangan, kok ga dateng?" tanya sosok tersebut seperti tidak memperdulikan suasana yang terjadi.
"Saya, saya tadi kecapean opa, jadi ga bisa keruangan opa."
"Ngapain anda disini?" Suara penuh penekanan itu, menandakan bahwa sosok pria berumur lanjut usia itu tidak seharusnya datang ke ruangan tersebut, hendra masih menatap tajam akan kewaspadaan. Manusia licik, itu yang ada dipikirannya. Otaknya terasa terus bekerja berfikir apa maksud kedatangan dan motif sang ayah datang ke ruangan putra bungsunya.
Lingga rai dicky, atau sering di sebut dengan nama tuan Ling, adalah sosok yang cukup disegani dikalangan dunia bisnis, sosok tegas berjiwa pemimpin yang hebat. Sesuai dengan arti kata namanya yang begitu mencerminkan sosoknya.
Lingga, yang berarti lambang kekuasaan, rai adalah kepercayaan, dan yang terakhir dicky adalah seorang pemimpin. Nama dari semuanya adalah ciri khas tuan ling. Ia berhasil, ia berhasil dalam memimpin dan menjadi orang kepercayaan dalam dunia bisnis, menjadi pengusaha yang namanya sudah mendapatkan panggung dimana mana, ia berhasil menjadi sosok pemimpin. Namun ketiga arti nama tersebut tidak akan berguna didalam keluarganya.
Sosok berkuasa itu memang benar didalam kelurganya, namun kepercayaan tidak bisa ia dapatkan, begitu pula pemimpin yang gagal didalam rumah. Gagal memimpin rumah tangga, juga gagal menjadi ayah.
Ling menatap pandangan sang putra, menatapnya sedikit lamat untuk bisa memahami seberapa benci sang putra kepadanya. "Jenguk," jawabnya, ia sendiri tak takut pada putranya, namun ia malah merasa sakit melihat tatapan itu mengarahkan padanya. Entah kenapa baru terasa sakit saat ia menyadari kebencian sang putra kepadanya, walaupun dulu ia sering menerima tatapan itu dari sang putra, ling tetap merasa biasa saja tak tidak peduli, tapi kenapa saat ini terasa begitu nyeri didalam dada? Apa karena baru menyadari?
Penyesalan adalah sesuatu hal yang terlambat kita sadari sedari awal, bagaimana jika sesuatu itu disadari dengan cepat, maka penyelamat itu tidak ada muncul.
Hendra terkekeh pelan, menjenguk katanya? Apakah satu kata itu bisa dipercaya begitu saja? Kepercayaan yang hilang membuat hendra tidak bisa melihat sisi bohong atau tidaknya sang papa. "Menjenguk siapa? Bian? Ada motif apa anda tiba-tiba menjenguk anak saya?"
"Pah, kenapa dibentak si!" tegur bian, melihat nada tinggi yang mulai dikeluarkan sang papa membuat bian harus ikut andil dalam berbicara. "Ini sebenarnya ada apa?"
Lita yang melihat raut bingung putranya mulai mendekat, mengusap pelan punggung sang anak. "Mas? Bilang aja ya mas? Biar bian juga perlu tau," ujarnya lirih, kebohongan itu sampai kapan harus di kubur rapat rapat. Semakin lama bian hanya akan semakin tersakit karena menjadi sosok yang tidak tau menahu perihal apapun.
"Ga Lita! Saya ga akan biarin bian kenal orang brengsek kaya dia!" penekanan suara dengan jari telunjuk yang mengarah pada tuan ling, raut kebencian yang tidak bisa disembunyikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
seribu topeng berbalut luka
Teen FictionRumit, bagian bagian yang saling terikat namun begitu membingungkan. Bian adalah manusia rumit yang tak mengerti akan hidupnya sendiri. Kurang terbuka, enggan menceritakan konflik yang ia alami, yang ia rasakan dan selalu menutup diri. Nyatanya mala...