bab 16 [hal yang perlu di perbaiki]

222 29 0
                                    

Sebanyak apapun maaf yang dilontarkan, tak akan bisa menghapus luka yang terbengkalai
Maaf bukanlah obatnya, maaf bukanlah penawarnya
Maaf hanya pereda sementara
.
.
.
.
.
.
.

"Bibi nan, makan malam bian tolong antar ke kamarnya saja ya bi," perintah hendra yang di angguki oleh bibi nan.

Kita sedikit kembali lagi, di malam jendra dan hendra beradu kalimat.

"Sampe kapan?" ujar si sulung, ia lelah dengan semua ini. "Sampe kapan ini selesai? Sampai kapan mama dan bian akan tersakiti?" Wajahnya terlihat cukup frustasi.

"Walaupun aku benci ketika mama selingkuh, tapi semua yang dilakukan mama juga ada penyebabnya. Dan aku tau betul penyebab kelakuan mama selama ini, apalagi papa yang ga pernah bisa ngontrol emosi." Jendra berbicara banyak hal, yang memang perlu dan penting untuk disampaikan.

"Jen, mama kamu ga bisa di ajak bicara, setiap kali mau papa ajak bicara baik baik, mama kamu pasti udah takut, dan mengusir papa lebih dulu."

Kedua laki laki yang saling berhadapan, saling memandang dengan lekat. "Papa kurang berusaha, bian aja sampe rela badannya luka luka gitu, buat nenangin mama, tapi papa? Papa berusaha cuma lewat omongan doang kan? Itupun cuma sebentar, sekiranya emang udah ga bisa di obrolin papa bakal marah, atau papa bakal pergi, tapi bian pah? Dia ngelakuin semuanya dengan tindakan dan ucapannya." Jendra terkekeh miris, setelah berbicara dengan bian, jendra bertanya banyak hal kepada bibi nan, atau bahkan bibi sara. Yang di katakan adik pagi tadi membuatnya tak bisa tenang, padahal bian begitu santai mengatakan semua itu.

"Jujur aku ga tau pa, gimana bisa selama ini bian bisa hidup di rumah ini? Rasanya buat inget semua yang terjadi, aku pengin banget ngehancuriin keluarga papa yang selalu menuntut kesempurnaan itu!"

Hendra diam membisu, mendengar semua tutur kata anak sulungnya, ia tak bisa mengelak, bahwa ini terjadi karena keluarganya.

"Setidaknya kalau emang papa ga cinta, papa seharusnya bisa memperlakukan mama layaknya seorang istri, ga usah seorang istri deh, layaknya seorang wanita aja udah cukup."

"Di mata ku papa itu, laki laki paling bajingan yang aku kenal, tapi nyatanya aku ga jauh beda sama papa, aku ternyata sama- sama bajingan, yang lebih milih pergi dari rumah, ninggalin mama dan bian sendiri, kita sama sama bajingan ternyata ya?" Jendra terkekeh miris, dia benar benar menatap ayahnya dengan tatapan menghunus benci. "Ga bisa jawab kan pah? Kenapa diem aja? Tertampar fakta ya?"

Hendra menggenggam tangannya erat, menyilangkan kakinya, dengan kaki kanannya yang bertumpu pada kaki kirinya. Mengambil satu puntung rokok, lalu menyalakannya dengan korek, menyelipkan rokok itu pada selah bibirnya. Menghembuskan kepulan asap itu hingga mengudarakan ke atas. "Papa akan coba perbaiki semuanya." Satu utas kalimat itu keluar, entah hanya bualan atau sebuah kalimat yang bisa percaya.

Kalimat itu hanya mendapatkan tawa renyah dari si sulung. "Omongan laki laki ga perlu di percaya si, yang perlu di percaya itu tindakannya, jadi ga usah banyak omong pah!" Sarkas si sulung, menusuk. "Selama ini aku udah berusaha buat kuliah yang rajin, biar bisa jadi penerus perusahaan, jadi orang yang bertanggung jawab atas hidup, bangun koneksi sana sini, cari kenalan biar bisa memperluas jaringan bisnis, aku juga belajar gimana caranya menjadi manusia yang sempurna yang selalu orang tua papa itu omongin."

Pandangnya menatap angan-angan. "Konteks jadi manusia yang bertanggung jawab itu gimana si? Terkadang aku udah berusaha untuk bertanggung jawab atas hidup, tapi nyatanya tanggung jawab ku bukan cuma tentang diriku sendiri, tanggung jawab ku ternyata lebih dari itu, contohnya aku harus bertanggung jawab jadi abang yang baik buat bian, tapi sampai sekarang aku lalai pah, aku terlalu fokus sama tanggung jawab yang terlihat begitu hebat dimata orang tua ayah."

seribu topeng berbalut lukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang